05 Agustus, 2013

Tuhanmu bukan tuhanku



Sewaktu membaca dan mempelajari referensi kitab-kitab suci, aku menemukan beberapa hal yang berseberangan dengan kenyataan hidup. Bahasa di dalamnya sarat akan makna yang dalam, akupun pada awalnya tidak menikmati ketika membaca edisi dalam bahasa yang kumengerti. Kebanyakan darinya mengutarakan sebuah idealisme yang seolah jauh dari pemikiran orang banyak, jauh dari kenyataan. Too good to be true- terlalu sempurna untuk menjadi nyata, mungkin begitu yang terbesit dalam benakku pada awalnya.

Kisah-kisah orang terdahulu yang secara eksplisit (tersurat) penuh dengan kejadian-kejadian ajaib. Membanting tongkat menjadi ular, membelah lautan dengan pukulan tongkat, dibakar api tetapi merasa dingin, masuk ke perut ikan raksasa malah tenang berdoa, semuanya menyisakan tandatanya besar bagiku. Tetapi berulangkali pula aku menemukan pernyataan bahwa fenomena-fenomena itu diungkapkan untuk direnungkan oleh manusia agar bisa mendapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal.

Di dalamnya banyak ancaman-ancaman; kalau tidak begini, akan dimasukan kobaran api yang menyala (neraka). Berbuat itu, akan disiksa selamanya. Bahkan ada sebuah hari yang diancamkan akan menjadi moment pembalasan Tuhan bagi manusia-manusia yang melanggar larangan Nya dan melalaikan perintah Nya, hari akhir dari semua kehidupan segala makhluk. Pada hari itu, yang berdosa akan diceburkan ke dalam api yang membara. Yang pahalanya banyak akan duduk di sofa teduh penuh pelayanan.

Lucunya lagi ketika ku baca referensi dari buku lain, ada pendapat yang mengatakan bahwa semua umat manusia masuk neraka dahulu, tetapi yang pahalanya banyak maka tidak berlama-lama di neraka. Sedangkan yang dosanya banyak maka akan mengontrak di neraka berabad-abad. Pertanyaannya: Kalau begitu, buat apa manusia melaksanakan perintah Nya kalau ujung-ujungnya masuk neraka? Pantas begitu banyak koruptor yang merasa tenang mencuri hak rakyat, karena menurutnya telah membuat sarana ibadah sebagai tabungan pahala ketika mati nanti, walaupun itu dari uang hasil mencuri tadi. Langsung kumusiumkan buku lain itu sejajar dengan buku lawakan yang hanya bisa menggelitik perut.

Dikala banyaknya benturan kisah di dalamnya dengan kenyataan, sempat aku berfikir untuk memilah ayat yang masih mungkin diterapkan hari ini. Tiba-tiba kutemukan ayat yang mengharuskan untuk berperang, memenggal kepala orang-orang yang menolak ajaran Tuhan, membunuh orang-orang yang berkhianat pada ajaran Tuhan. Wah-wah… mungkin ini yang ditelan oleh sekelompok orang yang melakukan tindakan destruktif belakangan ini, fikirku. Karena orag-orang beriman yang dikisahkan di dalamnya tidak pernah berbuat demikian. Lantas meniru siapa mereka?

Disisi lain, banyak pula orang yang memilah-milah prinsip yang dinyatakan secara moderat. Yang cocok dengan tuntutan zaman dan tidak destruktif itu dipakai, bahkan dibesar-besarkan. Berbuat baik, saling menolong, bergotong royong, berututur kata santun, dan segala perbuatan yang hari ini dianggap diterima manusia kebanyakan, itu yang dipakai. Sedangkan ayat-ayat yang keras dan tegas serta yang memusatkan pengaturan manusia secara ekonomi-politik-sosial-budaya hanya oleh Tuhan, itu disimpan di atas lemari sebagai penangkal gendoruwo dan kuntilanak. Tapi, bukankah ada ayat yang mengatakan bahwa manusia harus masuk ke dalam prinsip-prinsip yang diajarkan Nya secara menyeluruh?

Lebih unik, banyak orang yang berlomba-lomba melantunkan bunyi ayat-ayat dengan syahdu, dengan harapan mendapat pahala yang banyak. Karena membunyikan 1 huruf saja mendapat ganjaran 10 kali (entah satuannya apa), bagaimana kalau satu surat didengungkan. Tapi, bukankah ayat-ayat itu adalah prinsip hidup yang diturunkan Nya agar diterapkan oleh manusia? Kenapa dilempar lagi kepada yang menurunkan? Jika ada majikan menyuruh seorang pembantunya: “Mas, tolong cuci mobil.” Kemudian sang pembantu mengucapkan perintah yang sama kepada majikannya: “Mas, tolong cuci mobil.” Saya yakin pembantu itu akan dimarahi bahkan bisa ditempeleng karena berlaku tidak sopan kepada majikannya.

Kitab suci adalah kumpulan prinsip-prinsip hidup yang harus diberlakukan oleh manusia sebagai petunjuk agar dapat menebarkan kebajikan kepada setiap makhluk di hadapannya. Maka segala yang termaktub di dalamnya tidak akan berlawanan dengan hukum-hukum alam, karena manusia hidup berwadahkan alam. Jika manusia kelakuannya berlawanan dengan alam, maka ia akan seperti duri yang menyusup dalam tubuh. Manusia akan dikeluarkan secara otomatis dari makro sistim ini. Mengapa kitab itu disebut suci? Karena ia berasal bukan dari pemikiran manusia. Buktinya adalah, prinsip yang diajarkan dapat diuji oleh setiap manusia dari berbagai kalangan, dan harus dapat diterima kebenarannya oleh pemikiran manusia, karena kitab suci itu diturunkan untuk dipergunakan oleh manusia, bukan bagi “Casper” di pohon aren.

Kitab suci banyak menggunakan bahasa yang memerlukan pemikiran ekstra untuk mendapatkan esensinya. Mengapa membutuhkan pemikiran ekstra? Karena otak manusia memang dirancang untuk dapat masuk ke dalam alam bahasa Nya. Tetapi ada pula manusia yang tidak mau meluangkan kesempatannya untuk berfikir tentang ajaran di dalamnya. Prinsip yang dianggap layak diolah dalam kesadarannya adalah hal yang tersurat saja (eksplisit). Padahal ayat-ayat dalam kitab suci akrab dengan bahasa Tersirat (implisit), bahasa yang memiliki arti di balik yang tersurat.

Banting tongkat jadi ular, dianggap tongkat layaknya dijual di Malioboro Yogya. Dibakar tapi aman-aman saja, dianggap layak seperti debus dari banten. Akibatnya, pemahaman yang didapat menjadi dangkal, tak dapat diterapkan pada kehidupan. Padahal berkali-kali Tuhan menantang manusia untuk menggunakan akalnya dalam memahami ayat-ayat Nya.

Karena yang ditangkap hanyalah yang tersurat, dan ayat yang tersirat tidak dapat ditembus, ajaran-ajaran Nya berkuasa hanya di tempat-tempat ibadah saja. Sedangkan ketika bergelut dalam dunia profesional, ia akan kembali menjadi layaknya seekor singa yang menyibakkan keganasan rumbainya, dengan dalih bahwa dunia dan akhirat itu harus seimbang. Dunia adalah sisi gelap yang menggoda, sedang akhirat adalah sisi terang yang menyelamatkan manusia. Pertanyaannya, kalau dunia itu dianggap sisi gelap, dan akhirat adalah sisi terang, apakah Tuhan juga mengajak ke sisi gelap? Tuhan tidak pernah sedetikpun mengajak manusia untuk menghempaskan diri ke sisi gelap, tetapi senantiasa menyelamatkan manusia ke sisi terang dengan konsep hidup yang azasi. Itupun bagi manusia yang mau diselamatkan.

Tuhan tidak pernah mengajarkan sebuah prinsip hidup yang saling bertentangan. Satu sisi memerintahkan untuk melaksanakan kebajikan, satu sisi membolehkan kemungkaran. Tuhan tidak pernah mengajarkan agar manusia sibuk hanya dengan pujian-pujian bahkan ayat-ayat yang dikembalikan kepada Nya. Tuhan tidak pernah mengajarkan untuk menganiaya manusia lain sementara visi dan misi nya belum diketahui oleh umat manusia. Tuhan tidak pernah mengajarkan untuk melakukan bunuh diri bagi munculnya sebuah visi spiritual dogmatis dikala prinsip-prinsip yang diajarkannya hanya diperlakukan sebagai pemanis bibir dalam melakukan ritualisme.

Tetapi Tuhan mengajarkan kepada manusia agar menggunakan ayat-ayatnya untuk membaca alam semesta, termasuk tren psychologis manusia pada masa yang akan datang dengan menggunakan kisah-kisah masa lalu yang diceritakan dalam kitab suci. Manusia cenderung hendak mengambil hak Nya sebagai satu-satunya pengatur bagi kehidupan manusia lain menurut caranya sendiri.

Walaupun mendapat cercaan, hinaan, bahkan siksaan badan, manusia harus tetap teguh untuk menyampaikan apa yang menjadi visi dan misi Nya terhadap umat manusia, tidak terbatas kepada orang-orang yang memiliki istilah penyebutan akan Dia. Sehingga pertikaian dan penganiayaan yang berdasarkan perbedaan penyebutan akan Tuhan, dapat diredam. Tak ada lagi istilah Tuhanmu bukan Tuhanku, tetapi Ia adalah yang memiliki karakter integral (tauhid) dalam segala hal, apapun penyebutan Nya.




28 Juli, 2013

Meninjau Kembali Masa Hidup Rasulullah



Dalam tulisannya seri ke-410, yang berjudul “Muhammad: Umur Nabi Muhammad SAW (570—632 M) Menurut Kalender Miladiyah?” di Harian Fajar, Ustadz H. Muh. Nur Abdurrahman, menulis:

Dalam buku-buku sejarah disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW dilahirkan dalam tahun 570 M dan wafat dalam tahun 632 M. Berarti beliau berumur 632 – 570 = 62 tahun syamsiyah“.

Namun kalau angka 62 tahun dirujukkan pada sumber informasi yang otentik sebagai sumber sejarah, maka akan terdapat perbedaan. Berdasarkan sumber sejarah, menginformasikan : Dari ‘Aisyah RA, Nabi SAW wafat ketika beliau berumur 63 (Shahih Bukhari).

Kita telah pahami, bahwa.satu tahun Syamsiyah (peredaran matahari) terdiri atas 365,2422 hari, sedangkan satu tahun qamariyah (peredaran bulan) terdiri atas 354,5 hari.

Jadi 63 tahun qamariyah jika dikonversi menjadi tahun syamsiyah, akan kita peroleh = 63 x 354,5/365,2422 = 61 tahun syamsiyah. Dengan pernyataan ini, jelas bahwa apa yang tercantum dalam buku-buku sejarah itu tidak benar.

61 tidak sama dengan 62. Alhasil catatan sejarah, masa hidup Rasulullah SAW (570—632 M) perlu ditinjau kembali.

Kalau begitu, kapan Rasulullah SAW lahir?

Untuk merevisi (570—632 M) tidaklah sederhana. Apakah perbedaan 62 – 61 = 1 tahun itu dikoreksi pada angka kelahiran beliau (570 M), lalu menjadi (571—632 M)? Ataukah pada angka wafatnya beliau (632 M), lalu menjadi (570—631 M)? Pemilihan salah satu di antara kedua alternatif itu, adalah tindakan yang ceroboh, sebab tidak ada dasarnya.

Untuk itu, kita perlu mencari data baru yang bersumber dari informasi yang otentik. Dan sekali lagi kita mengambil rujukan dari Shahih Bukhari sebagai sumber informasi sejarah yang otentik. Dari Salman RA, katanya fitrah (zaman antar nabi) antara Nabi Isa AS dengan Nabi Muhammad SAW selama 600 tahun.

Untuk dapat meluruskan kebenaran kelahiran Nabi Muhammad SAW, kita mesti tahu kapan lahirnya Nabi Isa AS. Jadi pertanyaannya, kapan Nabi Isa AS dilahirkan?

Nabi Isa AS dilahirkan tatkala bangsa Yahudi dijajah oleh imperium Romawi di bawah Kaisar Agustus (63 SM—14 M), memerintah (30 SM—14 M). Kaisar ini, yang nama aslinya Gaius Octavius, yang dikenal sebelumnya dengan nama Octavianus. Kaisar inilah yang memerintahkan supaya penduduk dalam seluruh imperium Romawi disensus untuk keperluan pajak.

Di saat sensus yang baru pertama kali diadakan oleh imperium Romawi itu, yang menjadi Gubernur Siria adalah Cyrenius Cyrinus (4 – 1 SM). Maryam melahirkan Nabi Isa AS, disaat sensus diselenggarakan, dimana ketika itu, Herodes Agung menjadi Raja Judea (37—4 SM).

Artinya Nabi Isa AS dilahirkan dalam tahun 4 SM. Karena tahun 4 SM itu merupakan tahun persekutuan antara (4—1 SM)dengan (37—4 SM).

Interval waktu antara kelahiran Nabi Isa AS dengan Nabi Muhammad SAW adalah 600 x 354,5/365,2422 = 582 tahun syamsiyah. Alhasil Nabi Muhammad SAW dilahirkan dalam tahun -4 + 582 = 578 M. Dan beliau wafat dalam tahun 578 + 61 = 639 M.

Apabila Nabi Muhammad SAW, selama 10 tahun qamariyah di Madinah, berarti ketika hijrah umur beliau = 63 – 10 = 53 tahun qamariyah = 53 x 354,5/365,2422 = 51 tahun syamsiyah. Berarti tahun hijrah terjadi dalam tahun 578 + 51 = 629 M, bukan tahun 622 M, seperti selama ini kita ketahui.


Perayaan Maulid Nabi diperkirakan pertama kali diperkenalkan oleh Abu Said al-Qakburi, seorang Bupati Irbil, di Irak (Suriah utara) pada masa pemerintahan Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (1138-1193). Adapula yang berpendapat bahwa idenya sendiri justru berasal dari Sultan Salahuddin sendiri. ..

Peringatan maulid nabi ini oleh Salahuddin dipergunakan untuk membangkitkan semangat Ummat Islam, sebab pada waktu itu umat Islam sedang berjuang mempertahankan diri terhadap serangan-serangan dari luar melawan pasukan Kristen eropa dalam upaya memperebutkan kota Yerusalem pada Perang Salib. Sebagai strateegi besar, bahkan sebagai massapsycholoog besar, artinya orang yang mengetahui ilmu jiwa dari rakyat jelata, Salahuddin memerintahkan tiap tahun peringatilah maulid nabi.

Pada masa itu dunia Islam sedang mendapat serangan-serangan gelombang demi gelombang dari berbagai bangsa Eropa (Prancis, Jerman, Inggris). Yang dikenal dengan nama Perang Salib atau The Crusade. Pada tahun 1099 laskar Eropa merebut Yerusalem dan mengubah Masjid al-Aqsa menjadi gereja, Umat Islam saat itu kehilangan semangat perjuangan (jihad) dan persaudaraan (ukhuwah), sebab secara politis terpecah-belah dalam banyak kerajaan dan kesultanan, meskipun khalifah tetap satu, yaitu Bani Abbasiyah di Bagdad, hanya sebagai lambang persatuan spiritual.

Menurut Salahuddin, semangat juang umat Islam harus dihidupkan kembali dengan cara mempertebal kecintaan umat kepada nabi mereka. Dia mengimbau umat Islam di seluruh dunia agar hari lahir Nabi Muhammad saw., 12 Rabiul Awal, yang setiap tahun berlalu begitu saja tanpa diperingati, kini dirayakan secara massal. Sebenarnya hal itu bukan gagasan murni Salahuddin, melainkan usul dari iparnya, Muzaffaruddin Gekburi, yang menjadi atabeg (semacam bupati) di Irbil, Suriah Utara. Untuk mengimbangi maraknya peringatan Natal oleh umat Nasrani, Muzaffaruddin di istananya sering menyelenggarakan peringatan maulid nabi, cuma perayaannya bersifat lokal dan tidak setiap tahun. Adapun Salahuddin ingin agar perayaan maulid nabi menjadi tradisi bagi umat Islam di seluruh dunia dengan tujuan meningkatkan semangat juang, bukan sekadar perayaan ulang tahun biasa.

Pada mulanya gagasan Salahuddin ditentang oleh para ulama, sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idulfitri dan Iduladha. Akan tetapi Salahuddin menegaskan bahwa perayaan maulid nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang bersifat ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan bid`ah yang terlarang. Ketika Salahuddin meminta persetujuan dari Khalifah An-Nashir di Bagdad, ternyata khalifah setuju. Maka pada ibadah haji bulan Zulhijjah 579 Hijriyah (1183 Masehi), Sultan Salahuddin al-Ayyubi sebagai penguasa Haramain (dua tanah suci Mekah dan Madinah) mengeluarkan instruksi kepada seluruh jemaah haji, agar jika kembali ke kampung halaman masing-masing segera mensosialisasikan kepada masyarakat Islam di mana saja berada, bahwa mulai tahun 580 Hijriah (1184 Masehi) tanggal 12 Rabiul-Awwal dirayakan sebagai hari maulid nabi dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat umat Islam.

Salah satu kegiatan yang diadakan oleh Sultan Salahuddin pada peringatan maulid nabi yang pertama kali tahun 1184 (580 Hijriah) adalah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far al-Barzanji. Karyanya yang dikenal sebagai Kitab Barzanji sampai sekarang sering dibaca masyarakat di kampung-kampung dan pesantren-pesantren pada peringatan maulid nabi.

Ternyata peringatan maulid nabi yang diselenggarakan Sultan Salahuddin itu membuahkan hasil yang positif. Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib bergelora kembali. Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583 Hijriah) Yerusalem direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan Masjid al-Aqsa menjadi masjid kembali sampai hari ini.

Jika kita membuka lembaran sejarah penyebaran Islam di Pulau Jawa, perayaan maulid nabi dimanfaatkan oleh para Wali Songo untuk sarana dakwah dengan berbagai kegiatan yang menarik masyarakat agar mengucapkan syahadatain (dua kalimat syahadat) sebagai pertanda memeluk Islam. Itulah sebabnya perayaan maulid nabi disebut Perayaan Syahadatain, yang oleh lidah Jawa diucapkan Sekaten. (Sekatenan)

Dua kalimat syahadat itu dilambangkan dengan dua buah gamelan ciptaan Sunan Kalijaga, Kiai Nogowilogo dan Kiai Gunturmadu, yang ditabuh di halaman Masjid Demak pada waktu perayaan maulid nabi. Sebelum menabuh dua gamelan tersebut, orang-orang yang baru masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat terlebih dulu memasuki pintu gerbang "pengampunan" yang disebut gapura (dari bahasa Arab ghafura, "Dia mengampuni").

Pada zaman kesultanan Mataram, perayaan maulid nabi disebut Gerebeg Mulud. Kata gerebeg artinya "mengikuti", yaitu mengikuti sultan dan para pembesar keluar dari keraton menuju masjid untuk mengikuti perayaan maulid nabi, lengkap dengan sarana upacara, seperti nasi gunungan dan sebagainya. Di samping Gerebeg Mulud, ada juga perayaan Gerebeg Poso (menyambu Idulfitri) dan Gerebeg Besar (menyambut Iduladha).

Dari cerita sejarah diatas seharusnya kita dapat mencerdasi acara Maulid nabi yang sering diadakan pada tanggal 12 Robiul Awwal sekarang ini, Sehingga kita seharusnya sebagai Ummat muslim berani mengambil kesimpulan dari  sejarah maulid yang kami paparkan diatas.

Bila kita teliti kembali pada saat pembacaan kitab berzanzi maka akan kita dapati di sebagian syair yg di anggap sebagai salah satu shalawat yg berbunyi Allahumma shalli shalatan kamilatan wa sallim salaman tamman ala sayidina Muhammadin alladzi tanhalu bihil uqadu watanfariju bihil kurabu wa tuqdha bihil hawaiju. Atau dikenal dengan shalawt nariyah yg artinyaYa Allah limpahkanlah shalawat dan salam yg sempurna kepada junjungan kami Nabi Muhammad saw. yg karenaya ikatan belenggu terurai dan karenanya malapetaka sirna dan karenanya kebutuhan-kebutuhan terpenuhi. Bukankah itu adalah pujian yg berlebihan karena menyanjung Rasulullah saw. dengan hal-hal yang sebenarnya hanya kekuasaan Allah saja.

Itu adalah  satu contoh tentang keadaan sebagian umat yg melampaui batas dalam memuji Nabinya.Setelah itu ada masalah yg tersisa yaitu bagaimana dengan  acara-acara perayaan dan beberapa perilaku yg dilakukan oleh kebanyakan orang untuk memperingati kelahiran Nabi saw. Apakah hal tersebut termasuk perilaku yang berlebihan dan melampaui batas? Atau merupakan sesuatu hal yang baru yang diada-adakan oleh umat ini? Tentang hal itu marilah kita ikuti komentar Syekh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin ketika beliau ditanya mengenai hukum merayakan maulid Nabi saw.

Beliau berkata Pertama malam kelahiran Nabi saw. tidak diketahui secara pasti tetapi sebagian ahli sejarah menyatakan bahwa hal itu terjadi pada malam kesembilan Rabiul awal bukan pada malam kedua belas. Tetapi justru saat ini perayaan maulid dilaksanakan pada malam kedua belas yg tidak ada dasarnya dalam tinjauan sejarah. (Tuh…… tanggal 9 rabiul awal broo.. tanggal 12 robiul awwal  jadi hari kelahiran siapa tuh..)

Kedua dipandang dari sisi aqidah juga tidak ada dasarnya. Kalaulah itu syariat dari Allah tentulah dilaksanakan oleh Rosululloh Muhammad. atau disampaikan pada umat beliau. Dan kalaulah Rasulullah saw. mengerjakannya atau menyampaikan kepada umatnya mestinya amalan itu terjaga karena Allah berfirman Sesungguhnya Kami-lah yg menurunkan Alquran dan sesunggunya Kami benar-benar akan menjaganya. Qs; 15/ 9

Ketika  hal itu tidak didapati maka bisa diketahui bahwa hal itu bukanlah termasuk ajaran Islam. Dan jika bukan dari ajaran syariat Allah maka kita tidak boleh menjadikannya sebagai bentuk ibadah kepada Allah dan tidak boleh menjadikannya sebagai amalan taqarrub kepada-Nya.

Allah telah menetapkan suatu jalan yg sudah ditentukan untuk bisa sampai kepada-Nya itulah yg datang kepada Rasulullah saw.- maka bagaimana mungkin kita diperbolehkan membuat jalan sendiri yg akan menghantarkan kepada-Nya padahal kita adalah seorang hamba. Ini berarti mengambil hak Allah yaitu membuat syariat yg bukan dari-Nya dan kita masukkan ajaran itu ke dalam ajaran Allah. Maka kami katakan bila perayaan ini termasuk bagian dari kesempurnaan dien tentunya sudah ada sebelum Rasulullah  wafat. Bila tidak ada berarti hal itu tidak mungkin menjadi bagian dari kesempurnaan dien karena Allah berfirman Pada hari ini telah Kusempurnakan utk kamu diemmu dan telah kecukupkan ni’mat-Ku kepadamu dan telah Aku ridhai Islam sebagai dien mu.

Barang siapa yg menyatakan bahwa perayaan maulid adalah termasuk ajaran Islam  maka ia telah membuat hal yg baru sepeninggal Rasulullah ucapannya mengandung kedustaan dan merupakan amalan bid’ah karena Allah dan Rosulnya sendiri tidak pernah mensyariatkan hal tersebut.

Juga yang menjadi pertanyaan bagi kita semua, bukankah maulid yang sudah menjadi tradisi bagi ummat Islam khususnya di Indonesia yang jatuh setiap tanggal 12 Robiul Awwal yang selenggarakan adalah kelahiran darah dan daging, bukankah sebelum usia 40 Tahun Muhammad belum diangkat sebagai Rosul??, bukankah sebelum kerosulan Muhammad mendapat predikat Dholan (Sesat) sebagaimana Qs.93/7 (Dan dia mendapati kamu  sebagai orang yang Dholan kemudian dia memberikan petunjuk. Lantas apa bentuk  ulang tahunya (Maulidnya) Ahmad bin  abdillah itu secara syar’i?


 Pertanyan itu sudah dapat saudara jawab dengan sendirinya bila menggunakan ajaran Kitabullah dan Sunnah Rosul. Namun acara perayaan maulid sekarang sudah menjadi ajang bisnis para  penyair-penyair keledai bahkan dengan sombongya mereka memasang tarif dengan harga selangit. Lantas pelajaran apa yang mereka ambil setelah perayaan maulidnya Ahmad bin abdillah diselengarakan??.. Apakah ada efek positif  bagi hidup dan kehidupan??.. Apakah dengan setelah diadakan perayaan maulid mereka mau mentegakkan Dinullah, sebagaimana pada saat jamannya Salahuddin  Al-Ayubi?? Membakar semangat juang kaum muslimin untuk berperang.

Bila Memang Ummat yang mengaku Islam mencintai Kerosulan Muhammad, seharusnya mereka mau mengulang kembali atau menapak tilasi lagi perjuangan Muhammad Rosul dari pase ke pase dari  awal hingga terbentuknya Khilafah / daulah Islamiyah itulah sebenarnya esensi maulid  Kerosulan. Yaitu kelahiranya  seorang pemimpin untuk memperjuangkan dan mentegakkan din Islam “ AN-AQIMUDDIEN”