cris jhon anak gadugan

Di sebuah Restauran keluarga secara tidak sengaja perhatian saya tersedot kepada pertandingan tinju di Houston Texas AS antara Chris John melawan petinju tuan rumah Ricardo Rocky Juarez. Walaupun sebenarnya saya kurang suka melihat pertandingan tinju, tapi karena dalam laga ini melibatkan atlet Indonesia melawan petinju Amerika, keingintahuan saya tergelitik untuk melihatnya.

Begitu bel ronde pertama berbunyi, Chris John dengan lincahnya menari di atas ring sambil menyerang dan mengelak lawannya. Ia begitu gesit menghunjamkan serangan ke sasaran walau ada juga pukulan yang mendarat di wajahnya. Hingga mata kiri Juarez mengalami memar yang terlihat jelas pada ronde ke 3. Sedangkan Chris John hingga ronde terakhir -secara kasat mata- tidak terlihat terluka di wajahnya.

Mungkin karena petinju Indonesia ini bertanding melawan petinju tuan rumah yang secara psychologis diuntungkan oleh dukungan masyarakat tempatnya berasal, pertandingan itu terlihat agak condong menguntungkan pihak tuan rumah. Setiap tangan kiri Chris John menempel pada lengan kiri lawan -ketika mau merangkul/Klins sebagai tehnik menghindari pukulan, wasit selalu menarik tangan Chris John agar tidak menempel pada tangan Juarez. Berkali2 sang wasit melakukan itu. Sedangkan ketika Juarez melakukan hal yang sama, sang wasit tidak melakukan apa-apa.

“Buuuu... Buuuuu”, demikian teriakan penonton mencemooh Chris John ketika melakukan beberapa kesalahan. Dan ketika Chris John mendapat pukulan di daerah kemaluannya –hingga Chris John meloncat-loncat untuk menahan rasa sakit-, penonton justru meneriaki Chris John. Bisa jadi ini karena faktor pembelaan penonton pada petinju kandang sendiri sehingga mereka begitu keras membela atlet nya. Tapi sepengetahuan saya penonton olahraga Amerika adalah penonton yang sportif, mengapa pertandingan itu terkesan seperti laga antara atlet kampungan melawan atlet gedongan?
Yang lebih parah lagi ketika akhir pertandingan dimana hasilnya dinyatakan seri. Pada saat Juarez menjawab pertanyaan presenter TV, penonton berteriak mendukungnya. Sedangkan ketika Chris John yang menjawab pertanyaan itu, kembali teriakan cemooh yang diterima Chris John. “Buuuuu... Buuuuu... Buuuuu!!!”

Jika kita melihat dengan pikiran jernih dan tidak emosional, sebenarnya ada pelajaran yang dapat diambil dari pertandingan tinju antara atlet kampungan yang bernama Chris John dengan Juarez sebagai atlet bertaraf dunia yang bertanding dikandang sendiri itu. Bahwa harga bangsa kita masih belum dilihat oleh dunia. Bangsa kita belum memiliki posisi tawar yang diperhitungkan di mata dunia. Begitu mudahnya anak bangsa diremehkan kemampuannya hingga tak ada satu teriakanpun yang pro kepada Chris John. Jika ini dikatakan sebagai arogansi “Yankees” -sebagaimana bangsa kita juga pernah melakukannya pada kasus yang sama, itu tidak tepat juga. Karena petinju lain yang berasal dari Philipina -seperti Manny Paquiao- justru mendapat sokongan yang meriah ketika bertanding di Amerika, meskipun lawannya adalah Oscar de La Hoya yang notabene adalah petinju yang akrab dengan rakyat Amerika.

Pendiskreditan atlet kita ini bisa jadi muncul karena sikap bangsa kita sendiri yang kurang menghargai Hak Asasi Manusia sehingga nama bangsa mendapat predikat yang kurang baik di mata dunia.
Mudahnya penghilangan nyawa pembela HAM yang ditengarai mengganggu arogansi oknum korps.
Suburnya penganiayaan sekelompok orang yang dilakukan oleh ormas yang justru bertameng agama.
Masih segar diingat ketika pada tahun 1998 kepala negara menandatangani pinjaman dari IMF, sementara direktur IMF -Michel Camdessus- melipat tangan bagaikan juragan yang sedang mengawasi jongosnya yang sedang ambil kasbon.

Mengapa kita tidak saling instrospeksi terhadap semangat persatuan bangsa kita yang sudah mulai luntur?
Mengapa persatuan kita masih mau dikoyak oleh pengkotakan-kotakan menjadi berbagai golongan yang saling bangga dengan golongannya sendiri? Bahkan rakyat sebagai faktor penting pendukung berdirinya negara ini dijadikan sebagai batu loncatan untuk memunculkan golongan-golongan itu.

Sebagai bangsa yang memiliki kekuatan besar, kita tidak semestinya merasa pesimis dengan hal-hal itu. Kita harus tanamkan pada dada kita, bahwa bangsa ini bagaikan harimau yang masih tertidur.
Bangsa ini harus bangun untuk menunjukan ketajaman taring dan kukunya yang membuat bangsa lain merinding melihatnya.
Membuat bangsa lain menggelarkan karpet merah untuk menghormati kedatangan kita.
Bangsa lain akan bersorak gemuruh menyambut atlet kita yang unggul, bertepuk sorai kegirangan walau hanya melihat bekas tapak kaki kita saja.
Bangsa ini akan memimpin dunia, itu pasti.

Bagi mereka yang di nina-bobokan oleh kesenangan sesaat, dibuai oleh gaya hidup yang mengedepankan kematangan materialistik, yakinlah, bahwa itu tidak akan berlaku lama. Keadaan itu akan berbalik pada saatnya. Karena tidak selamanya hari itu adalah malam, tidak selamanya kelam menutupi angkasa. Ia pasti berganti menuju terang. Fajar kemenangan bangsa yang menghapuskan ketimpangan antara langit dengan bumi, mendekatkan antara si kaya dan si miskin. Mengakrabkan antara yang kampungan dengan yang gedongan. Bangsa ini punya potensi yang besar untuk berbicara dikancah internasional, yakinlah itu...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar