Alam diciptakan oleh Sang Pencipta menganut pada
suatu prinsip, yaitu Prinsip Keseimbangan. Dengan prinsip ini alam senantiasa
berjalan teratur tanpa menimbulkan kerusakan ataupun kesusahan. Tidak ada satu
makhluk dalam alam semesta ini yang keberadaannya untuk merusak makhluk
lainnya. Bumi, matahari, air, udara, binatang, tumbuhan, semuanya taat pada
prinsip keseimbangan yang dibuat oleh Sang Pencipta, karena dengan ketaatan
itulah mereka bisa menjadi elemen yang teratur dalam makro sistim ini.
Air juga menganut prinsip keseimbangan. Ia akan menyeimbangkan diri dengan
mencari titik terendah di bumi. Air tidak pernah melawan prinsip ini, dengan
misalnya mencoba naik ke permukaan gunung, itu tidak mungkin terjadi, karena
air adalah makhluk yang taat kepada prinsip-prinsip yang ditentukan oleh Sang
Pencipta. Setiap makhluk pada alam memiliki karakter atau sifat yang mengacu
kepada karakter-Nya.
Banjir yang terjadi bukanlah ulah -dalam konotasi negatif- dari alam, tetapi
ini merupakan karakter dari air yang telah diturunkan melalui hujan, ia mencari
titik seimbang menuju tempat terendah dari permukaan bumi dengan membentuk
sungai sebagai salah satu salurannya. Dikala air yang melimpah itu tidak
diberikan haknya, maka ia akan tetap mengalir dan melabrak apa saja yang
menghalanginya. Tetapi karena manusia kurang dapat membaca karakter ini –dengan
penggundulan hutan, pendirian bangunan pada bantaran sungai-danau, antisipasi
hujan yang minim, kelalaian dalam penanganannya, maka ketika air membuncah ia
akan menerjang apa saja yang menghalanginya. Tidak melihat apakah itu orang
kaya atau miskin, pejabat atau rakyat, pasti air akan menerpa mereka.
Jadi bukan salah alam jika ribuan manusia mengungsi karena meluapnya air dari
sungai atau danau, tapi itu adalah akibat dari ulah manusia yang aktifitasnya
tidak selaras dengan keseimbangan yang ingin dicapai oleh alam dengan
melalaikan karakter dari air. Padahal manusia sesungguhnya harus dapat membaca
karakter alam dan mengantisipasi gerak alam, karena bukan alam yang harus
menyesuaikan terhadap keberadaan manusia, tetapi manusia-lah yang harus
menangkap frekuensi alam. Saya kurang sepakat jika terjadi fenomena alam yang
mengagetkan manusia disebut sebagai Bencana Alam, karena bencana maknanya lebih
bersifat fenomena merugikan. Alam tidak pernah merugikan manusia, tetapi
manusia-lah yang mencoba merugikan alam dengan mengambil haknya, usaha itu
justru akan menghantam manusia sendiri. Lebih tepat kalau disebut dengan
Bencana Manusia.
Kemampuan dalam membaca alam harus dimiliki oleh manusia sebagai anggota dari
semesta untuk menjadi bagian yang harmonis, sehingga manusia dapat menjalankan
prinsip-prinsip dasar sebagaimana yang ditaati oleh alam. Lihat, bagaimana
kawanan gajah dapat mengetahui fenomena Tsunami sebelum terjadi dengan
menghindarinya ke area yang lebih tinggi. Begitu juga kelelawar, tikus, anjing,
dan binatang-binatang lain. Itu disebabkan sikap dan perilaku mereka mentaati
sistim yang diciptakan oleh Sang Pencipta, yaitu karakter-Nya yang mewarnai
karakter alam. Jika kita melihat air mencari titik terendah, itu berarti
karakter Sang Pencipta sedang bekerja pada air. Karena mereka taat, maka
instink mereka dapat menangkap sinyal alam yang akan berlaku.
Dari karakter-karakter alam, sesungguhnya ada pelajaran yang harus diambil oleh
manusia sebagai makhluk paripurna penciptaan. Sang Pencipta sesungguhnya ingin
mengajarkan sesuatu pada manusia dengan perantaraan alam. Dan manusia adalah
makhluk yang diciptakan untuk sanggup menerima pelajaran itu, karena manusia
diberi kelebihan yaitu sarana berfikir untuk memahami dan menyikapi keteraturan
dalam alam. Bahwa penciptaan alam sesungguhnya sebangun dengan penciptaan
manusia dan komunitasnya. Artinya, struktur dalam komunitas manusia harus
ditata selaras dengan struktur dan keteraturan pada alam.
Korupsi, pencurian, perzinahan, pembunuhan, penjajahan, merupakan contoh
perilaku yang tidak selaras dengan penataan alam. Dengan korupsi, maka hak yang
seharusnya diterima oleh rakyat menjadi hilang dicuri oleh beberapa orang atau
golongan tertentu. Ini akan menciptakan ketidakseimbangan pada penataan
komunitas manusia. Seperti syair dalam lagu Rhoma Irama: “Yang kaya makin kaya,
yang miskin makin miskin”. Begitu pula dengan pencurian, perzinahan,
pembunuhan, penjajahan, dimana itu semua akan mengakibatkan penganiayaan oleh
sekelompok minoritas kepada manusia lain secara mayoritas. Padahal Sang
Pencipta tidak pernah menganiaya makhluknya, bahkan kepada seekor cacing-pun Ia
tidak pernah menindasnya.
Rumah-rumah pada bantaran sungai atau di tempat dimana air akan mengalir,
keberadaannya lebih disebabkan karena mereka tidak ada pilihan lain untuk
mencari tempat berlindung dengan modal yang dimiliki. Sulitnya mendapatkan
kesempatan kerja, mahalnya pendidikan, terbatasnya akses untuk memiliki
perumahan layak, adalah sesuatu yang berat digapai oleh mereka untuk dapat
hidup secara manusiawi, hidup yang sesuai dengan proporsi manusia sebagai
makhluk. Jika mereka diberi kesempatan, pastilah mereka tidak akan mendirikan
bangunan pada bantaran sungai-danau, yang pada musimnya mereka sendiri tahu
bahwa akan diterpa banjir. Itu lebih disebabkan karena lemahnya struktur
pengaturan hak hidup rakyat sehingga menciptakan jurang yang semakin dalam
antara yang ningrat dengan rakyat jelata.
Fenomena yang terjadi hari ini menunjukan ketidakmampuan manusia didalam menata
kehidupan yang berdasarkan prinsip keseimbangan yang dianut oleh alam. Hal ini
disebabkan semakin suburnya egoisme yang dipupuk dalam komunitas manusia,
ketidakpercayaan kepada prinsip-prinsip dasar yang ditentukan oleh Sang
Pencipta. Manusia sudah merasa cukup, tidak memerlukan bantuan dari tata-cara
yang dibuat oleh Sang Pencipta. Bahkan manusia sudah merasa bahwa cara yang
dibuat oleh Sang Pencipta sudah tidak up to date lagi dengan zaman yang terus
berubah. Manusia lebih yakin kepada penataan komunitas dengan caranya sendiri,
padahal Sang Pencipta telah berulang kali memberi peringatan baik dengan
datangnya fenomena alam maupun ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam kitab
suci agar manusia kembali kepada software naturalistik yang diciptakan Nya.
Jika manusia mendapatkan akibat yang dikatakan menyusahkan dari keberadaan
alam, itu berarti ada kelalaian pada penataan manusia, ada prinsip yang tidak
ditaati oleh manusia, yaitu pelanggaran prinsip yang selaras dengan prinsip
alam. Dan jika ini tidak disadari, maka manusia akan terus mendapatkan akibat
buruk dari keberadaan alam, karena manusia tidak bisa menyatu dengan gerak alam
yang terus berproses. Banjir, tsunami, longsor, gempa bumi, kebakaran hutan,
hama, adalah fenomena-fenomena yang pasti akan menyusahkan umat manusia jika
tidak menyelaraskan gerak hidupnya terhadap makro sistim pada semesta.
Kekacauan akan menjadi sarapan sehari-hari, saling sikut, saling menindas,
memupuk keserakahan, hipokrit, moral rendah, merupakan buah yang akan dituai
oleh manusia yang telah menyemaikannya dengan alasan kepentingan pribadi maupun
golongan. Dengan seringnya alam menggeliat dan menunjukan hal-hal yang tak
terduga, maka di dalam komunitas manusia pun akan terjadi hal yang sama. Karena
fenomena yang terjadi pada alam adalah sebangun dengan fenomena yang terjadi
pada manusia. Jika terjadi demikian, maka manusia adalah makhluk yang paling
merugi. Merugi karena tidak dapat mengambil pelajaran yang diajarkan Sang
Pencipta dengan perantaraan alam. Merugi karena tanpa kembali kepada cara Sang
Pencipta, maka manusia akan menjadi duri dalam daging yang pasti dikeluarkan
oleh tubuh alam yang maha dahsyat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar