Budaya
adalah kekuatan (daya) dari jiwa dan rohnya (budi) atau hasil, produk
dari jiwa dan rohnya (budi). Budi (Jerman, Geist) inilah
yang membedakan manusia dengan binatang, yang dengannya manusia mengatasi Alam
dan menciptakan entitas-entitas baru, yang disebut budaya (Inggris, culture).
Pemaknaan
budaya sebagai culture yang dilakukan Takdir (Sutan Takdil
Alisyahbana) merupakan reduksi makna budaya. Walaupun pada mulanya Takdir
menggunakan Geist dan Buddha untuk memaknai budi,
tetapi akhirnya pemaknaan itu jatuh hancur saat ia memaknai budaya sebagai culture. Jika
Takdir mau konsisten, seharusnya ia memaknai budaya dengan makna yang berkaitan
erat dengan budi dari Geist dan Buddha.
Dalam tradisi Buddhisme, jiwa dan ruh manusia (budi) berhubungan dengan
kesakralan, bukannya keprofanan, sebagaimana yang hendak diusung oleh Takdir.
Takdir menggunakan konsep budi dan daya untuk menggolkan program modernisasinya
yang sekuler.
“kebudayaan”
berasal dari kata Sanskerta buddhayah, ialah bentuk jamak daribuddhi yang
berarti “budi” atau “akal”… kebudayaan menurut hemat saya antara lain berarti:
keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar,
beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu, maka istilah “kebudayaan”
memang suatu istilah yang amat cocok. Adapun istilah Inggerisnya berasal dari
kata Latin colere, yang berarti “mengolah, mengerjakan”, terutama
mengolah tanah atau bertani. Dari arti ini berkembang arti culture,
sebagai segala daya dan usaha manusia untuk merobah alam.
Budaya
berasal kata dari buddhi, sementara buddhi dimaknai
sebagai akal. Jadi, budaya adalah keseluruhan dari hasil akal dan karyanya,
yang dihasilkannya lewat proses belajar. Budaya dikaitkan erat-erat dengan
pendidikan di sini: transfer sesuatu kepada generasi baru lewat proses belajar.
Namun, lagi-lagi, Koentjaraningrat menghubungkan makna budaya ini dengan culture,
sehingga akal manusia selalu dikait-kaitkan dengan penggunaannya untuk mengolah
Alam, mengubah Alam, mengeksploitasi Alam.
Untuk
mengembalikan makna sakral budaya dari lingkaran makna profannya ini, kita
harus merujukkannya lebih dulu pada makna sakral budi, karena makna sakral budi-lah
yang mendasari makna sakral budaya. Makna sakral dari budi dapat ditemukan
dalam tradisi sastra spiritual asli kita dengan sebutan ‘Sastra Suluk’.
Dalam Serat Centhini, kita menemukan definisi budi yang sangat sakral:
Budi,
dalam Serat Centhini, dimaknai sebagai manifestasi Wujud Ilahi yang
memperantarai Wujud-Nya yang non-existent dengan
Wujudnya yang existent. Budi adalah ‘Yang Ilahi’-sebagai-Ide, dan
sebagai Budi, maka ‘Yang Ilahi’ berwujud sebagai Ide-Ide,
Pengetahuan-Pengetahuan, tapi sekaligus juga ‘Yang Mengetahui’. Yang Ilahi
sebagai Yang Maha Tahu masih belum memisahkan diri-Nya dari Pengetahuannya.
Orang yang amat menyadari bahwa Budi adalah manifestasi Ilahi disebut orang
Jawa ‘ahli ing budi binudi kang budiman’, ‘orang budiman’. Budi dalam
pengertian sakral ini adalah serupa dengan pengertian t
Jika Budi telah dipahami
dengan makna aslinya yang sakral, maka implikasinya terhadap makna Budaya
sangat signifikan. Budaya, dalam makna sakralnya yang terkait dengan makna
sakral Budi, berarti segala ciptaan manusia yang memanifestasikan Yang Ilahi.
Budaya berarti peradaban spiritual-sakral yang memanifestasikan Sang Sakral di
bumi, yang mengimanenkan Sang Transenden. Dengan makna sakral ini, nampaklah
perbedaan antara makna budaya yang profan dan yang sakral. Bahwa budaya kini
dimaknai dengan makna profan, mendorong kita yang sudah dari sononya
berperadaban spiritual untuk ‘memungut kembali’ makna spiritualnya, sehingga
makna budaya tidak direduksi dan dimanipulasi Modernisme dengan semata-mata
makna profannya saja.
Kebudayaan
menurut hemat saya antara lain berarti: keseluruhan gagasan dan karya manusia,
yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi
dan karyanya itu, maka istilah “kebudayaan” memang suatu istilah yang amat
cocok. Adapun istilah Inggerisnya berasal dari kata Latincolere, yang
berarti “mengolah, mengerjakan”, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari
arti ini berkembang arti culture…
Perbedaan antara adat dan
kebudayaan itu adalah soal lain, dan bersangkutan dengan konsepsi bahwa
kebudayaan itu mempunyai tiga wujud, ialah: (1) wujud ideal; (2) wujud
kelakuan; dan (3) wujud fisik. Adat adalah wujud ideal dari kebudayaan. Secara
lengkap wujud itu dapat kita sebut adat tata kelakuan, karena adat itu
berfungsi sebagai pengatur kelakuan. Suatu contoh dari adat ialah: aturan sopan
santun untuk memberi selembaran uang kepada seseorang yang mengadakan pesta
kondangan. Adat dapat dibagi lebih khusus dalam empat tingkatan, ialah (i)
tingkat nilai budaya, (ii) tingkat norma-norma, (iii) tingkat hukum, (iv)
tingkat aturan khusus.
di Arab
kata Adat yaitu al-`âd
at, yang berarti ‘sesuatu
yang dilakukan berkali-kali dan terus menerus’ atau ‘sesuatu yang selalu
dilakukan kembali’. Sedangkan kata al-`âdat itu sendiri
merupakan derivasi dari kata kerja `âda-ya`ûdu(pulang kembali ke
tempat sebelumnya) dan dari kata benda al-`ûdu(kepulangan atau cara
kuno). Kata ini dipinjam oleh masyarakat asli bersamaan dengan pengislaman
mereka oleh penyebar-penyebar Islam. Ketika mazhab yurisprudensi Syafi’iyyah
dianut oleh Muslim-Indonesia, maka kata al-`âdatyang semula
bermakna semantik, berubah ke makna terminologis. Menurut mazhab Syafi’iyyah, ‘al-`âdat
muhakkamah’ (kebiasaan setempat merupakan sumber pertimbangan hukum
Islam). Jadi, sejak saat itu, seluruh kebiasaan lokal dalam pandangan hukum
Islam disebut al-`âdat, yang sesuaikan penyebutannya oleh lidah
masyarakat asli juga sebagai Adat.
Adat yang sebenarnya adat
ialah adat yang tidak berubah oleh kondisi dan situasi apapun, karena berasal
dari Yang Ilahi. Sedangkan dua jenis adat yang lainnya dapat berubah, karena
dibuat untuk kepentingan sementara oleh pemimpin suku atau hasil musyawarah
masyarakat itu sendiri.
Komunikasi dan penyatuan dengan Yang Sakral yang merupakan inti segala
manifestasi adatlah yang menyebabkan adat jadi abadi. ‘Adat Abadi’ ini sungguh
identik dengan apa yang disebut filsuf Perennialisme sebagai Philosophia
Perennis (Kebijaksanaan Abadi) atau Religio Perennis (Agama
Abadi) atau the Tradition (Tradisi Abadi). Adat, bersama-sama
dengan seluruh tradisi spiritual-sakral yang pernah ada di dunia ini,
berintikan ajaran spiritual-sakral yang serupa dan tunggal: komunikasi dan
penyatuan dengan Yang Ilahi. ‘Adat Abadi’ ini bukanlah ciptaan leluhur, tapi
ciptaan Leluhur Abadi kita, yang disebut dengan beribu nama (Tuhan,
Lowalangi, Deus, Theo, Tiwaz, Pater, Allah, dan lain-lain) tapi
merujuk pada Kenyataan Nan Tunggal. Adat Perennis senantiasa ada di manapun,
kapan pun, bagaimana pun, apapun manifestasinya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar