05 April, 2013

“Dan siapakah yang lebih baik perkatannya daripada dia yang mengajak ke fihak Allah dan
        beramal sholeh, dan dia berkata : “Sesungguhnya aku ini bagian dari Muslimin”
“Dan siapakah yang lebih baik perkatannya daripada dia yang mengajak ke fihak Allah dan 
        beramal sholeh, dan dia berkata : “Sesungguhnya aku ini bagian dari Muslimin”

MENYINGKAP PENYALAH-ARTIAN WAHYU

I.      PENDAHULUAN
Sejak berabad-abad yang lalu, manusia telah mengembangkan filsafat untuk memahami hakikat hidup dan kehidupan ini, kemudian mencari-cari bentuk formulasi untuk dapat menata kehidupan ini dengan sistem yang dipandang benar dan membawa manfaat bagi kehidupan manusia itu sendiri.
Berbagai teori produk filsafat di bidang kehidupan sosial manusia muncul ke permukaan dan saling  berebut  dukungan  dan  kesempatan  untuk  diaplikasikan  dalam  menata  kehidupan masyarkat, dan diuji  keampuhannya dalam mengantarkan manusia menuju apa yang dicitacitakannya, yang kemudian disebut “ideologi. “Uji keampuhan” tersebut antara lain tercermin dalam kemampuannya bersaing dengan ideologi-ideologi lainnya, dalam berebut dukungan masyarakat dunia, dan keberhasilannya dalam membangun peradaban manusia.
Di tengah-tengah persaingan ideologi tersebut, muncullah Islam yang sempat dua kali tampil berjaya. Pertama dengan tegaknya “Mulki Sulaiman” di tatar Palestina sekitar enam abad sebelum masehi,  Kemudian  yang  kedua,  tegaknya “Peradaban  Islam”  yang  dibangun  Rosulullah Muhammad s.a.w.   di kota Madinah di jantung tanah Arab. Dari Peradaban Madinah ini, terus berkembang dan menampilkan kejayaan Islam secara menakjubkan dan mempesona dunia, selama  kurun waktu tertentu.
Perjalanan sejarah Islam dan Ummat Islam masa Rosulullah sampai masa-masa para Kholifah sesudahnya, telah cukup menjadi “pengetahuan umum” di kalangan Umat Islam, sebagai catatan tinta emas, dan nostalgia di hati Ummat Islam, menjadi catatan indah yang sampai hari ini belum pernah terulang.
Perjalanan sejarah tersebut tidak akan menjadi pokok bahasan dalam tulisan ini, kecuali sedikit catatan sejarah, yaitu pada zaman kejayaan Islam, cukup tampak secara nyata bahwa Islam itu “Ya’lu wala yu’la ‘alaih” (tinggi dan tidak ada yang melampaui ketinggiannya). Ideologi ideologi produk filsafat itu, tampak kecil tak berarti diperhadapkan dengan Islam. Dunia Barat terkesan “primitif” dihadapkan dengan Islam waktu itu.
Sampai ketika perpecahan demi perpecahan mulai menggejala secara lebih nyata (yang sebenarnya benih-benih perpecahan itu sudah mulai muncul dan terinkubasi sejak wafatnya Rosulullah), ummat Islam semakin lemah dan lemah, sehingga akhirnya hampir seluruh dunia Islam yang terbentang dari Maroko sampai hampir ke Merauke, jatuh tak berdaya dibawah telapak kaki “kolonialisme”, selama berabad abad.
Dalam posisi terjajah, sudah barang tentu Umat Islam tidak punya kemampuan sedikitpun untuk   mengusung Al Islam sebagai sebuah sistem kehidupan dan tampil bersaing dengan sistem produk filsafat  (buatan manusia). Islam tercabik dan tersudutkan pada posisi yang dipandang hanya sebatas sistem kepercayaan dan sistim ritual, dimana kaum penjajahpun tidak keberatan untuk memberinya ruang gerak sebatas itu.
Al Islam itu sesungguhnya sesuatu yang hidup dan “bernyawa” (“Al Muayyad Bi`r Ruhi`l Qudus”). Maka setiap yang bernyawa, ketika ia terpecah-pecah dan tercabik-cabik, pasti mati tak bernyawa lagi. Sehingga tidak heran, ketika Ummat Islam hidup dalam keterjajahan dan tercabik-
cabik, yang hidup di hati mereka adalah rasa penderitaan sebagai sebuah “Bangsa” (“nation”) yang
dijajah oleh bangsa lain, tanah air sebagi sumber penghidupannya dirampas dan dikuasai bangsa
lain.
Sebenarnya  bukan karena  penderitaan “Ummat” yang dijajah  oleh  ummat  lain  yang membuat Sistem Samawi yang mengatur hidupnya tidak bisa tegak sebagaimana tuntutan Imannya. Bukan itu faktornya. Melainkan Karena Ruh Islam sudah tidak ada lagi, bahkan jauh sebelum mereka menjadi bangsa terjajah.
Maka sesungguhnya semangat untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan itupun adalah semangat “Nasionalisme”. Meskipun masih terlihat ada warna-warna “Ruhul Jihad”, namun dalam takaran yang sangat kecil dan rancu, dan tergiling larut dalam semangat nasionalisme tadi. Ketika  kemerdekaan  itu  akhirnya  berhasil  diraih,  Ummat  Islam  sudah  tidak  mengenal  lagi agamanya sebagaimana mestinya. Jiwa dan semangat Nasionalismelah yang menjadi dasar citacita dalam membangun kehidupan bangsa-bangsa yang baru merdeka itu.
Secara perlahan dan tidak begitu terasa, Isme-isme buatan manusia itu telah berhasil “membunuh” Islam.  Tentunya  bukan  berarti  melenyapkan  atau  mengubur  Islam,  melainkan membuat Islam bukan lagi sebagai ajaran yang “hidup” sebagaimana mestinya sebuah ajaran samawi. Islam tinggal cabikan-cabikan atributnya saja, berubah wujud dan sifatnya, dari “Sistem Hidup”  yang kaaffah  dan universal,  menjadi “Agama” atau  “Kepercayaan” yang dianut oleh sebagian masyarakat Nasionalis, dengan ciri “Kitab Suci” dan “uparacara ritual”. Menempati posisi yang  sama  dengan  agama-agama  lain,  sebagai  salah  satu  bentuk (sistem)  kepercayaan masyarakat yang harus “dipelihara” dan dihormati.
Meskipun Ummat Islam masih punya kesadaran bahwa Islam itu bukan sekedar “Agama” seperti dalam pandangan para ahli Antropologi, bahwa Islam seharusnya tegak menguasai dan mengatur manusia, dan meskipun masih ada semangat mereka untuk berjuang menegakkan Islam, namun gambaran tentang Dienul Islam dalam pikiran dan hati mereka selama ini yaitu Islam dalam keadaan “terbaring” dan tidak tegak.
Satu pengertian yang sangat mendasar yang tidak disadari, adalah bahwa Islam itu sesuatu yang hidup. Hidup dengan Ruh dari sisi Allah. Karena pengertian dan kesadaran seperti itu tidak ada, maka perjuangan menegakkan Islam di mana-mana, seperti halnya membangunkan sesuatu yang sedang “terbaring”. Sama dengan memperjuangkan ideologi-ideologi yang lain, yakni dengan bersaing, berebut dukungan dan kekuatan, mengembangkan aksi-aksi sosial, dan sebagainya.
Bentuk perjuangan seperti itu tiada lain diilhami oleh produk filsafat manusia, sebagaimana memperjuangkan sebuah “ideologi”, yang dalam pandangan Allah tiada lain hanyalah “ambisi” (hawahu). Bukan begitu jalan dan cara perjuangan Iqomuddien menurut petunjuk Allah. Cara (petunjuk) Allah itubenar-benar “ekslussif” tidak ada duanya di alam ini, berbeda sekali dengan produk pikiran manusia, tidak berorientasi ke barat atau ke timur (La syarqiyyah wala ghorbiyyah).
Selama Al Islam itu tetap dalam keadaan “mati” seperti sekarang ini dan dibiarkan saja mati, sampai kiamat pun tidak akan pernah bisa ditegakkan lagi, maka tidak akan pernah dijumpai Islam yang sebenarnya, Islam yang “hidup” dan “bercahaya terang”.
Dengan demikian,  memperjuangkan  tegaknya  Dienullah  ini,  adalah  perjuangan  untuk “menumbuhkan suatu kehidupan”. Harus diawali dengan penelitian yang mendalam, berpuluhpuluh tahun, sebelum bisa melakukan sesuatupun. Ibarat para pakar “bio teknologi”, melalui riset puluhan tahun, baru kemudian mampu “membuat” bayi tabung atau melakukan cloning.
Menghidupkan kembali apa saja yang sudah mati, bukan masalah bagi Allah. Namun walaupun demikian, apa yang Allah nyatakan dengan ungkapkan dengan “Kun Fayakuun” itu bukanlah “Sim Salabim”. Melainkan sesuatu yang akan berjalan dan berproses menurut kaidah “Sunnatullah” yang bisa terbaca oleh hati dan fikri yang sehat dan awas, dalam penelitian yang cermat dan mendalam.
Menghidupkan kembali yang sudah mati itu, bukan berarti batang tubuh atau bangkai yang mati (apalagi sudah tercabik-cabik) itu bisa bangun lagi dan hidup. Melainkan memunculkan lagi individu (wujud) baru yang hidup, menggantikan wujud yang sudah mati. Kemudian bagaimana proses munculnya kehidupan atau sesuatu yang hidup itu, Allah cukup menunjukkannya dalam Al
Quran, dan peristiwa nyata yang banyak terjadi di depan mata yang kita sebut sebagai ayat-ayat-
Nya.
Dengan ciri-ciri kehidupan yang tampak nyata diketahui semua orang, maka persoalan yang menyangkut  ihwal  Dienul  Islam  yang  sedang  dihadapi  ini  adalah,  bagaimana  kita  harus mengupayakan  sebuah  proses,  agar  bisa “terlahir  kembali”  Dienul  Islam  yang  hidup  dan “bernyawa” itu. Ibarat petani yang tanaman di kebunnya telah ditebang habis, ingin memenuhi kembali kebunnya dengan tanaman, maka dia akan menanami lagi kebunnya itu dengan benih tanaman yang baru, bukan dengan “membangunkan” lagi pohon-pohon yang sudah ditebang.


 





Mereka berkata : “Aduhai, celaka kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang dzhalim. Maka tetaplah keluhan mereka sehingga Kami jadikan mereka sebagai tanaman yang sudah ditebang dan tidak dapat hidup lagi. (Al Anbiya : 14,15)

Fenomena ummat sekarang ini, ya seperti itulah. Islam tinggal jadi kepingan-kepingan yang tercabik-cabik. Diantara kepingan itu ada yang tampak masih “utuh dan bagus” (yang memang Allah berjanji untuk menjaganya) yakni “Adz Dzikr” yaitu Al Quran dan sholat (amalan ritual). Maka tinggal itu saja yang tersisa, dan hanya dengan kepingan-kepingan yang mati (tanpa ruh) itu, orang merasa beribadah dan beramal sholeh.
Yang menjadi “unsur-unsur utama” dari Dienul Islam yang membuatnya “hidup” (dalam hati dan kehidupan manusia) adalah “Wahyu”, “Al Kitab” dan “Rosul”, yang berinteraksi sedemikian rupa sebagimana interaksi antara benih, media (tanah) dan unsur-unsur hara yang membuat tumbuh dan hidupnya tanaman.
Selama berabad-abad ini, interaksi seperti demikian itu tak pernah terjadi lagi, dan tidak bisa
terjadi.  Ketiga  unsur utama tadi, keberadaan  (tashowwur)-nya di hati manusia telah demikian
amburadul, sehingga bagaimana mungkin bisa hidup dan tumbuh. Ibarat sebutir buah kelapa tua,
tertanam dalam tanah setelah dicincang-cincang, bukannya akan tumbuh tunas pohon kelapa,
melainkan akan semakin membusuk. Inilah persoalan paling mendasar yang harus benar-benar
disadari.
Dalam rangka mengembangkan upaya sungguh-sungguh untuk dapat  “menumbuhkan” kembali  Dienul  Islam  sebagai  sesuatu  yang  hidup,  kita  harus  mampu  meluruskan  dan menjernihkan kembali visi, persepsi dan pemahaman kita atas ketiga substansi inti dari Konsep Samawi  “Dienul Islam” ini, yaitu : “WAHYU”, “AL KITAB” DAN “ROSUL”.
Pada ketiga substansi inti itulah terdapatnya “sel-sel kehidupan” Ajaran Samawi, yang tidak terdapat pada isme-isme buatan manusia yang hanya merupakan sosok wujud yang mati dan tak bernyawa. Oleh sebab itu, betatapapun kita harus mampu terlebih dahulu “menyelamatkan” dan menjernihkan konsep (tashowwur) ketiga substansi inti tadi dalam hati manusia, agar bisa terjadi kembali “konsepsi”, untuk  bisa mencuatkan kembali kehidupan di hati tersebut.
Terdapat dua kondisi atau keadaan yang tidak akan memungkinkan terjadinya “konsepsi” dimaksud, yaitu :
A. Sel-sel kehidupannya mati tak terselamatkan.
B. Terdapat penghalang atau rintangan untuk terjadinya konsepsi tersebut, yang biasa kita kenal dengan sebutan “kontrasepsi”

Untuk mendapatkan sel-sel kehidupan itu, relatif tidak sulit. Kehidupan itu milik Allah yang
Rahman Rahim, dan unsur-unsur kehidupan banyak terdapat pada khazanah Allah yang tak
terbatas.
Yang paling berat adalah menyingkirkan rintangan-rintangan  kontrasepsi  itu.  Kekuatan Syaithoni akan terus menghalang-halangi dengan “memasang” dan menanamkan beraneka ragam dalih di hati manusia untuk mencegah terjadinya konsepsi yang menghidupkan hati.
Allah  mengutuk siapa saja yang menghalang-halangi jalan Allah ini, dan menyebutnya sebagai “penjahat paling besar”.

 











Dan apakah orang-orang yang keadaannya mati lalu Kami hidupkan dan Kami jadikan cahaya untuknya, yang dengan cahaya itu dia bisa berjalan di kalangan manusia, sama halnya dengan orang yang dalam kegelapan yang tidak bisa keluar dari kegelapan itu ? Demikianklah dihiaskan bagi (dianggap baik  dalam pandangan) orang-orang kafir itu, apa yang mereka lakukan.
Dan demikianlah Kami jadikan di tiap-tiap negeri (komunitas manusia) itu “penjahat penjahat paling besar”, untuk selalu melakukan tipu daya di dalamnya. Padahal tidaklah mereka memperdayakan, kecuali dirinya sendiri, sedangkan mereka tidak menyadari. (Al An’am : 122,123)
Di sebuah mimbar, seseorang mengoreksi terjemahan Depag. pada frase  “Akaabiro Mujrimiiha” yang diartikan “penjahat-penjahat paling besar”. Katanya itu salah, mestinya:“Pembesar-pembesar jahat”. Iniadalah suatu gejala hyper correction  (koreksi yang tak perlu) yang tendensius dan berbau provokasi. “Mujrimin” itu isim fa’il (pelaku), artinya “pelaku kejahatan” alias penjahat, akaabir itu isim tafdhil, artinya paling besar. Begitulah jika Al Quran dibawa ke kancah politik, akan terkotori dengan berbagai tendensi dan provokasi. Mau “menghantam” pembesar, itu suka-suka dia, tapi jangan pakai Al Quran. Kotor !!

 
 









Ayat Al An’am : 123 diatas, masih kelanjutan ayat sebelumnya. Jadi pembesar paling jahat itu, dia yang selalu menanamkan “kontrasepsi” yang merintangi hidupnya kembali hati orang yang sudah mati agar tetap dalam kegelapan. Tetapi ia sendiri, dan banyak orang yang terpesona akan kefasihan lidahnya, menganggap tindakannya itu “heroik”,  saking tingginya “ghiroh ke-Islaman”.
Para pemasung hati itulah yang harus selalu diwaspadai, karena mereka ini sangat tidak ingin melihat perubahan terjadi, yang akan mengganggu kenyamanan yang sedang dinikmatinya.


II.    PEMAHAMAN YANG MAPAN TENTANG WAHYU.

Deviasi Akibat Dari “Definisi”
Salah satu kesepakatan seluruh Ummat Islam sepanjang zaman dan tidak pernah berubah, yaitu bahwa Dienul Islam itu bukan ajaran yang dikarang oleh manusia, melainkan berasal dari sisi Allah, yang pokok-pokok ajarannya tetuang dalam Al Quran yang diturunkan kepada manusia melalui Wahyu yang disampaikan kepada Rosulullah Muhammad s.a.w.
Pernyataan demikian itu, jika dipandang sebagai rumusan identifikasi atas Agama Islam untuk membedakan dengan agama atau ajaran lain yang ada dalam kehidupan manusia dewasa ini, tidak ada keraguan atas kebenarannya. Akan tetapi jika dipandang sebagai sebuah “definisi” Dienul Islam, dengan rumusan seperti demikian akurasi dan validitasnya tidak cukup terpenuhi.
Pengalaman di dunia keilmuan telah banyak menunjukkan bahwa setiap para ahli membuat sebuah definisi tentang sesuatu, selalu ada saja titik-titik kelemahannya, dan mendorong yang lainnya untuk mengemukakan definisi lain lagi, maka muncullah beda pendapat.
Tetapi perbedaan pendapat di bidang ilmu-ilmu yang tidak berkaitan langsung dengan keyakinan  atau  keimanan,  dan  tidak  ada  hambatan  moril  apapun  bagi  setiap  orang  untuk mengoreksi bahkan menolaknya, bukanlah masalah yang serius. Lain halnya apabila definisidefinisi  tersebut  menyangkut tataran keilmuan dan pandangan tentang Dienullah. Maka akan sangat rawan akibatnya bagi kemurnian dan kelurusan visi dan pandangan, yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap kebersihan tashowwur (visi dan persepsi) manusia terhadap konsep samawi Dienullah ini.
Di lain fihak, karena dunia agama itu dipandang sebagai dunia yang sakral dan suci, maka semua orang merasa gamang dan tabu untuk melakukan koreksi-koreksi terhadap klausul-klausul dalam ajaran agama. Bahkan definisi-definisi yang dibuat orang pun tidak jarang lantas disakralkan lagi  dan dijadikan pijakan atau  “dalil”  dalam pengembangan  “wawasan Keislaman", termasuk hukum atau Syari’at Islam, sepertinya definisi buatan ulama itu bagian dari Kitab Suci.
Tetapi sepertinya, para “pakar ke-Islaman” yang biasa disebut “Ulama”, tidak cukup peduli akan kerawanan tersebut diatas, dan mengikuti saja “gaya” para ilmuwan dengan merumuskan berbagai definisi (ta’rif) mengenai berbagai hal dalam tataran keilmuan Dienul Islam. “Kegemaran” akan modus definisi ini didorong pula dengan adanya kesan “berilmu” pada orang yang banyak “hafal” definisi-definisi tersebut.   Apalagi jika dituturkan dalam Bahasa Arab.   Kesan “ke-ulamaannya” terasa lebih kental.
Padahal di dalam Al Quran, Allah tidak pernah menyajikan informasi atau penjelasan
tentang sesuatu dengan mengunakan modus definisi, melainkan dengan menguraikan ciri-ciri
(deskripsi  karasteristik  atau  uraian  identifikasi),  perumpamaan,  analogi (perbandingan),  dan
sebagainya.

Implikasi Pendefinisan Wahyu
Salah satu “korban” pendefinisian itu, antara lain : WAHYU, yang untuk memberi pengertian (ta’rif) tentang wahyu ini diluncurkan defisi sebagai berikut :
Wahyu adalah : “Firman Allah yang disampaikan kepada para Nabi dan Rosul-Nya dengan perantaraan Malaikat Jibril”.
Dan selama ini tidak pernah terdengar (paling tidak oleh penulis) suatu sanggahan atau keberatan terhadap definisi tersebut.
Sebagai  implikasi  dari  definisi  diatas,  ada  dua  hal  penting  yang  menentukan  alur pemahaman bahkan keyakinan ummat Islam lebih lanjutnya, yaitu :
A.   Karena wahyu itu adalah firman Allah yang disampaikan kepada para Nabi dan Rosul, maka
ketika Allah dalam Al Qur’an menggunakan kata “AUHA” (Dan kata bentukan / tashrif-nya)
yang ditujukan kepada selain Nabi dan Rosul, atau yang pelaku (fa’il) dari kata “auha” itu
bukan Allah, hampir semua orang menerjemahkan kata  “auha  - yuuhi” tersebut  (lihat
terjemahan Depag.) dengan kata yang lain. Dengan anggapan  (dugaan) bahwa yang
dimaksud Allah adalah kata yang lain tersebut, dan bukan wahyu (mewahyukan).
B.   Karena kenabian dan kerasulan telah berakhir dengan berlalunya Nabi Penutup yaitu Nabi
Muhammad s.a.w, maka tidak ada lagi wahyu yang Allah turunkan. Atau dengan kata lain,
Allah tidak lagi melakukan apa yang dimaksud dengan kata kerja “auha” (= mewahyukan).
Maka tugas Malaikat Jibril pun ….(?)

Beberapa contoh dari implikasi yang pertama diatas, pada Al Quran dan Terjemahnya Departemen  Agama,  kata “Auha-Yuuhi”,  diterjemahkan  dengan  beberapa  kata  yang  lain, diantaranya:

1. MENG-ILHAMKAN.
Yaitu yang dilakukan Allah kepada Hawariyyin  (pengikut Nabi Isa), dan kepada Ibunya Musa.
 





Dan (ingatlah) katika Aku ILHAMKAN kepada pengikut Isa yang setia : “Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada Rasul-Ku. Mereka menjawab : Kami telah beriman dan saksikanlah (wahai Rasul) bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu). (Al Maidah : 111)



Yaitu ketika Kami mengilhamkan kepada ibumu suatu yang diilhamkan.( Thoha : 38)


2. MEMERINTAHKAN.
Yaitu yang disampaikan kepada bumi.


Karena  sesungguhnya  Tuhanmu  telah  memerintahkan  (yang  demikian  itu)
kepadanya.(Al Zalzalah: 5)

Tetapi yang tertuju kepada langit, pada Fushilat : 12 dan kepada lebah pada An Nahl : 68,
Depag. tetap menerjemahkan dengan kata “mewahyukan”.

3.     MEMBISIKKAN.
Yaitu yang dilakukan oleh syetan kepada sesamanya,






……Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian sebagian yang lain perkataanperkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia)… (Al An’am : 112)

4.     MEMBERI ISYARAT.
Yaitu yang dilakukan oleh Nabi Zakariya kepada kaumnya.
 




Maka ia keluar dari mihrob menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka, hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang.( Maryam : 11).

Bisakah dibenarkan, atau sahkah penerjemahan kata “auha” / “yuuhii” itu dengan kata : mengilhamkan, memerintahkan, membisikkan dan memberi isyarat ?

Perlu diingat bahwa kata  “AUHA - YUUHI” yang salah satu bentuk masdarnya adalah “WAHYU”, merupakan bahasa Arab (bahasa Al Quran) yang tidak ada terjemahannya dalam bahasa Indonesia.  Kemudian  bahasa  Indonesia  mengadopsi  atau  menyerap  langsung  kata tersebut ke dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia dan membentuknya dengan morfologi Indonesia, yaitu dengan pengimbuhan. Maka jadilah kata “mewahyukan” atau “diwahyukan”.
Dengan demikian apabila orang menterjemahkannya dengan kata yang lain, hal itu bukanlah
menerjemahkan, melainkan mengganti kata-kata (lafadh/kalimat) Al Quran dengan kata yang lain
itu. Hal ini sangat tidak dibenarkan, dan akan berakibat terjadinya kerancuan atau deviasi pada
konsep atau pikiran orang. Lagi pula, untuk menyatakan sesuatu yang dimaksud dengan kata
“mengilhamkan”,  “membisikkan”,  “memerintahkan”,  “mengisyaratkan”    dan lain-lain, bahasa Al
Quran  mempunyai  kata  tersebut,  dan  tidak  ada  halangan  apapun  bagi  Allah  untuk
menggunakanya.
Allah tidak akan menggunakan kata “auhaa”, kalau memang maksudnya lain dengan makna yang  dimaksud  dengan  kata  itu.  Apa  lagi  untuk  kata        “membisikkan”,      “memerintahkan”, “mengisyaratkan”, yang maknanya begitu jauh berbeda.

Wahyu dan Ilham Tidak Serumpun
Kita coba dekati salah satu yang maknanya terkesan berdekatan, padahal sebenarnya jauh berbeda, yakni: “MENGILHAMKAN”.
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan kata “mengilhamkan”? Bisakah menggantikan apa yang Allah informasikan dengan kata  “auha”  (mewahyukan)  ? Karena memang dalam suatu penerjemahan, bisa saja menggunakan kata yang tidak persis sebagai terjemahnya, dalam rangka penyesuaian dengan gaya dan karakter bahasa masing-masing yang berbeda.
Seperti halnya “wahyu”, “ilham” pun merupakan kata serapan dari bahasa Al Qur’an. Dan kata “ilham” itu hanya terdapat satu kali dalam Al Quran, yaitu :

Demi jiwa dan apa-apa yang memperkembangkannya (sampai taraf tertentu), lalu
mengilhaminya (mengilhami  jiwa  itu),  kedurhakaannya  dan  ketaqwaannya.        (Asy
Syams : 7,8 )

Pada ayat diatas, yang menjadi  “fa’il”   (pelaku)  dari  kata         “alhama/mengilhamkan” itu bukanlah Allah (seperti pada terjemahan Depag), melainkan “maa   sawwaahaa”, yakni segala sesuatu  yang  terindera,  yang  membuat  jiwa  manusia  tumbuh  berkembang  sejak  bayi  dan seterusnya sampai tingkat tertentu.
Kita tahu dari ilmu jiwa perkembangan, bahwa faktor yang membuat jiwa manusia tumbuh
berkembang antara lain : pendidikan/pengajaran dan pengaruh lingkungan. Semua itu menjadi
“entry” ke dalam jiwa manusia melalui gerbang pancainderanya, kemudian menumbuhkan karakter
dan sifat-sifat  jiwa/kepribadiannya,  baik  yang  bersifat  positif (taqwaahaa)  maupun negatif
(fujuurohaa). Alangkah naifnya jika dikatakan bahwa Allah mengilhamkan kedurhakaan (kefasikan)
ke dalam jiwa manusia, seperti pada terjemahan Depag itu. Mana mungkin Allah mengilhamkan
kedurhakaan !
Kedurhakaan manusia itu (seperti halnya juga ketaqwaannya) terbentuk (terilhamkan) oleh
apa yang “diserap” (diakses) oleh jiwanya, yang membuat jiwanya itu tumbuh berkembang (Ma
Sawwaahaa). Yang terakhir inllah (Ma Sawwaha) yang menempati posisi fa’il (subjek) dari proses
Alhama itu.
Hanya satu-satunya kata “Alhama” yang terdapat dalam Al Quran, dengan fa’il yang bukan Allah. Dan tidak ada pula kata lain yang merupakan perubahan bentuk (tashrif) dari kata tersebut. Dengan kata lain, Allah tidak pernah mengatakan bahwa Ia pernah melakukan (menjadi fa’il / pelaku) dari  tindakan atau peristiwa “alhama” atau mengilhamkan itu. Karena kalau merujuk kepada kata “alhama” yang Allah gunakan pada ayat diatas, kemudian Allah diposisikan sebagai fa’ilnya, maka berarti Allahlah yang menjadi “entry” pada proses pengilhaman (pembentukan jiwa) itu. Benarkah ini ? Gambarannya jadi rancu dan semerawut.
Jadi dengan demikian, bisakah kedua kata yang Allah gunakan dalam Al Quran, yakni “Auhaa” dan “Alhama”  yang mengacu kepada pelaku dan fenomena yang berbeda, dipertukarkan begitu  saja  tanpa  terjadi  deviasi (pelencengan)  pada  konsep  pemahaman orang  ? Karena pelencengan  sedikit  saja  di  bagian  pangkal (hulu),  akan  melenceng  semakin  jauh  pada pemahaman selanjutnya.  Sedangkan Allah  begitu  keras  melarang  bahkan  mengutuk  tindak pelencengan terhadap jalan Allah, sebagaimana firman-Nya:






……...Maka seorang pemberi maklumat memaklumatkan di antara mereka bahwa la’nat  Allah  bagi  orang-orang  yang  dholim,  yaitu  orang-orang  yang  menghalangi (manusia) dari Jalan Allah dan menginginkannya jadi melenceng……(Al A’rof : 44, 45)

Kalau   kemudian   Bahasa   Indonesia   menyerap   kata   ilham   tersebut   menjadi perbendaharaannya untuk menyatakan maksud yang lain (inspirasi, misalnya), itu sah-sah saja. Tetapi ketika digunakan untuk mengalihbahasakan Al Quran, untuk memahami substansi materi yang  Allah  jelaskan,  harus  difahami  secara  hati-hati.  Walaupun  tidak  terlalu  salah  untuk mengistilahkan “ilham” pada kasus Ibunya Musa dan Hawariyyin seperti tersebut di atas, namun jangan  sampai  berdampak  pada  terkebirinya  atau  terpalingkannya  makna ”wahyu”  dan ”mewahyukan” pada bagian-bagian lain dari Al Quran.






III.   PELURUSAN MAKNA WAHYU
Telusur Etimologis
Berpijak pada prinsip bahwa yang paling tahu akan makna atau maksud sebuah perkataan adalah dia yang menuturkan perkatan itu sendiri, bahkan buku kamus bahasa pun tidak cukup untuk dijadikan acuan yang mutlak. Yang harus kita lakukan adalah mencari tahu, peristiwa atau fenomena apa yang terjadi, yang menyertai atau yang diungkapkan dengan perkataan tersebut.
Cara primer dalam memahami suatu bahasa tertentu, bukanlah dengan melihat kamus untuk setiap kata-kata dalam bahasa tersebut, dan bukan pula lewat penerjemah. Melainkan dengan memperhatikan dan menghubungkan setiap ungkapan kata dengan substansi yang dimaksud dengan kata tersebut.
Ambil contoh misalnya seorang Batak tinggal di Jawa Barat yang berbahasa Sunda, setelah
sekian lama ia akan bisa mengerti bahsa Sunda itu, bukan lewat juru terjemah ataupun buku
kamus, melainkan dengan memperhatikan setiap perkataan orang dengan apa (sesuatu) yang
berhubungan langsung dengan perkataan yang didengarnya. Maka diapun mengerti bahwa calik
itu artinya duduk, sangu itu nasi, dan sebagainya, melalui pergaulan langsung dengan masyarakat
Sunda. Buku Kamus dan juru terjemah itu bersifat sekunder, untuk membantu mempercepat
proses.
Pada ayat-ayat yang diterjemahkan dengan berbagai kata seperti tersebut diatas, benarkah peristiwa yang terjadi itu seperti apa yang dimaksud dengan  : memerintahkan, membisikkan, memberi isyarat dan mengilhamkan ? Walaupun secara substansial tidak merubah total materi informasi yang dikandung ayat tersebut, tapi setidaknya deviasi dan kerancuan pasti terjadi, dan yang lebih penting lagi, akan mengaburkan makna “wahyu” secara umum.
Kejadian atau peristiwa yang diungkapkan dengan kata “mewahyukan”   bukanlah sesuatu yang dhohir yang dapat diamati secara fisik. Bahkan orang atau makhluk yang bersangkutanpun tidak dapat merasakannya secara indrawi terjadinya peristiwa pewahyuan itu terhadap dirinya. Jadi untuk mengetahui fenomena apa yang diungkapkan dengan kata itu, kita harus cermat menelusuri penggunaan  kata  tersebut  dalam  Al  Qur’an,  dengan  mencari  hubungan-hubungan  dan perbandingan yang signifikan.
Pada beberapa tempat, Allah menggunakan kata lain dari “auhaa” untuk mengungkapkan fenomena yang sama, antara lain.




 




Dia mencurahkan  (menyampaikan) ruh dari urusan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki diantara hamba-hamba-Nya. ( Al Mukmin : 15 )

Pada ayat tersebut pertama diatas, Allah  mengunakan kata kerja  :         “Kami wahyukan” (“auhaenaa”) untuk objek “Ruh dari urusan Kami” (“Ruhan min Amrina”). Sedangkan pada ayat
yang kedua, Allah menggunakan kata “Yulqii” (mencurahkan/ meyampaikan) untuk objek yang
sama.
Demikian pula pada ayat berikut :

Sesungguhnya Kami akan menyampaikan kepadamu perkataan yang berat.  (Al Muzammil : 5 )

Untuk menyampaikan “perkataan”,   di sinipun Allah menggunakan juga kata kerja “nulqii”, yang pada kebanyakan ayat lainnya, dinyatakan bahwa “perkataan” dari Allah itu disampaikan secara wahyu. Bedanya, penggunaan kata “wahyu” hanya pada sesuatu yang berkaitan dengan objek yeng besifat immateri, tak berwujud. Sedangkan kata “yulqi” biasa digunakan pada objek berupa sesuatu yang berwujud materi (benda nyata), seperti :

 …lalu  letakkanlan  ia      (box  berisi  bayi  itu)  di  sungai,  maka  sungai  itu  akan menyampaikannya ke tepi (darat) ……(Thoha : 39)

Dan ternyata Allah menggunakan juga kata “alqoo - yulqii” tersebut, seperti penggunaan kata “mewahyukan”, yakni untuk (berkaitan dengan) objek yang bersifat immateri, eperti halnya “Ruh dari urusan-Nya” pada Al Mukmin :15   dan “Perkataan yang berat” pada Al Muzammil : 5 seperti tersebut di atas, juga sesuatu yang bersifat imateri lainnya, misalnya :



Kami akan masukkan ke dalam hati orang-orang kafir itu rasa takut disebabkan apa
yang mereka sekutukan dengan Allah…..(Ali Imron :151)

Fenomena Pewahyuan
Peristiwa yang dinyatakan dengan kata “mewahyukan” kejadiannya tidak dapat ditangkap dengan panca indra atau alat apapun. Tetapi dengan membandingkan dua kata tersebut diatas (Yulqii dan Yuuhaa),   dapat diketahui bahwa yang terjadi pada peristiwa “mewahyukan” terdapat kesamaan dengan yang terjadi pada peristiwa “yulqii”. Yaitu:
“Menjadikan sesuatu (objek) berada (sampai/terpasang/ tertanam) pada sesuatu yang lain (sasaran), tanpa secara fisik, mendatangi (menyentuh) sasaran tersebut ”.
Hanya saja, pada peristiwa mewahyukan, “objek bergerak”-nya (wahyu) merupakan sesuatu
yang immateri dan peristiwa atau kejadiannya tidak tersaksikan dan tidak disadari secara indrawi
oleh siapapun, termasuk oleh orang atau “objek diam” apa saja, yang menjadi sasaran pewahyuan
tersebut.
Adapun pada kasus “mewahyukan” yang dilakukan oleh Nabi Zakariya, yang oleh tim penerjemah Depag. diartikan dengan “memberi isyarat”, sebagai berikut:



Maka ia keluar dari mihrob menuju kaumnya, lalu ia MEMBERI ISYARAT kepada mereka, hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang”.( Maryam : 11).

“Memberi isyarat” itu perbuatan dhohir yang nyata sekali dilihat mata. Padahal setiap Allah
mengunakan kata “Auha”, mengacu kepada sesuatu yang tidak terindera dan tidak disadari secara
konkrit.
Kalaupun pendengaran kita merasa tidak nyaman jika menerjemahkan ayat diatas dengan
menggunakan ungkapan kata : “Lalu Zakariya mewahyukan…dan seterusnya, itu adalah wajar.
Dan cukup bijak untuk menggunakan kata yang lain, dengan tambahan keterangan sekadarnya.
Misalnya :
Lalu Zakariya keluar dari mihrob menghadapi kaumnya, kemudian “menyampaikan pesan” kepada mereka : “Bertasbihlah kalian di waktu pagi dan petang”   ( Maryam : 12 )
Kalaupun pada ayat diatas kata “Auhaa” diartikan dengan “menyampaikan pesan”, hal ini bukanlah mengacu kepada bentuk perbuatan konkrit yang dilakukannya, melainkan lebih mengacu kepada maksud dan tujuan dari usaha (missi) yang diembannya, yaitu berusaha “mengkondisikan” atau mempengaruhi dan mengarahkan kaumnya, agar selalu bertasbih pagi dan petang.
Adapun bentuk konkrit dari tindakannya, bisa dengan menasihati, mengajari, memberi contoh /   teladan  atau  apa  saja  yang  layak  dilakukan  oleh  seorang  Nabi  dalam  usaha “menanamkan pengaruh” kepada kaumnya. Jadi kaumnya itu tidak pernah menyaksikan sesuatu yang kokrit atau objektif perbuatan Zakariya “mewahyukan” sesuatu kepada mereka, melainkan hanya merasakan pengaruh dari usaha-usaha Zakariya dalam mengkondisikan mereka.
Seperti  itu  pulalah  fenomenanya,  yang  dilakukan  oleh    “syetannya jin” dan “syetannya manusia” terhadap sesamanya, sebagaimana dinyatakan dalam ayat berikut :
 





Dan Demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, Yaitu syaitan-syaitan
(dari   jenis)   manusia  dan     (dan  jenis)  jin.   Sebagian  mereka        “mewahyukan”
(menanamkan pengaruh) kepada sebagian yang lain dengan kata-kata indah (rayuan)
yang memperdaya. (Al An’am :112 )

Yang jelas syetan selalu  berusaha  untuk  memperdaya manusia, antara lain    dengan
meluncurkan wacana-wacana yang mempesona. Bentuk konkritnya, bisa dengan pidato, merumpi,
media massa atau apa saja. Apapun bentuknya, sasaran-sasaran yang terpedaya, sama sekali tidak
menyadari masuknya entry yang akan membentuk kerancuan-kerancuan yang memperdayakan
dalam jiwanya.
Kalaupun para Nabi dikatakan dalam Al Quran sebagai mengatakan  “Yuuhaa ilayya” (diwahyukan kepadaku), bukan berarti Nabi tersebut merasakan secara indrawi adanya sesuatu “masuk” ke dalam jiwanya. Melainkan beliau menyadari sebuah hakikat, bahwa apa yang muncul dan hidup dalam jiwanya, antara lain berupa kesadaran akan sesuatu, kefahaman, ide atau gagasan dan sebagainya, hakikatnya adalah sesuatu yang “dientry” oleh Allah kedalam jiwanya, karena selamanya dia selalu mengorientasikan segala aktifitas lahir batinnya kepada Allah dan ayat-ayat-Nya, maka hasil dari aktifitas jiwanya berupa apa-apa yang hidup di hatinya, mereka yakini benar bahwa itu pasti dari Allah.
Dan jangan lupa, bahwa pernyataan para Nabi dengan ungkapan: “Yuuhaa ilayya” itu, kita
dengar sebagai ungkapan dari Allah (Kalamullah) dalam Al Quran yang berbahasa Arab. Dengan
kata lain, itu cara Allah mengungkapkan hakikat yang sebenarnya terjadi, sesuai dengan Ilmu
Allah. Adapun para Nabi yang bersangkutan (yang dikisahkan Allah itu), tentunya menggunakan
bahasa kaumnya masing-masing dalam menyampaikannya kembali, yang kita tak mesti tahu
bahasa apa itu.
Demikian pula jawaban Maryam ketika Nabi Zakariya menanyakan kepadanya tentang rizki yang selalu saja dia dapatkan, Maryam menjawab :                                       ( “Ia dari sisi Allah” ). Bukan berarti Maryam melihat atau merasakan bahwa Allah memberikan / mengantarkan itu, atau dia “mengambilnya” dari sisi Allah. Melainkan dari manapun atau lewat usaha apapun rizki itu dia peroleh, hakikatnya dari Allah. Bukankah kita juga sering mengatakan: “Allah menyadarkan saya” atau “Allah menolong saya” dan sebagainya. Itu semua ungkapan hakikat, bukan fenomena.
Pemahaman seperti itu bukan semata-mata menduga-duga atau sok tahu, akan tetapi dengan jelas Allah menggunakan ungkapan semacam itu juga pada kehidupan nyata yang kita rasakan sekarang. Seperti pada Kalam-Nya berikut ini :
 





“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan (berpendirian) “Tuhan kami hanyalah Allah”  kemudian mereka istiqomah, maka malaikat akan turun dan turun kepada mereka (dengan mengatakan) : “Jangan takut dan jangan sedih, dan gembiralah dengan syurga yang telah dijanjikan bagimu” (Fushilat : 30)

Ayat diatas mengacu kepada objek yang begitu terbuka, yakni siapa saja orang mukmin yang istiqomah dengan prinsip “Robbunallah”, maka Malaikat akan berdatangan menyampaikan pesan (mengatakan) …….. dan seterusnya.   Tentu kita-kita ini merasa atau berharap sudah termasuk  orang  yang istiqomah  dalam  prinsip  Robbunallah  itu.  Lantas  siapa  yang  merasa kedatangan malaikat dan mendengar bisikan apa yang dikatakan Malaikat itu?
Tentunya yang dirasakan itu tiada lain, tumbuhnya ketegaran dan optimesme dalam hati. Itu
fenomena yang dirasakan. Nah, dalam hal ini Allah menerangkan bahwa ketika kita merasakan
tumbuhnya ketegaran dan optimisme itu, hakikat yang terjadi adalah  : Lewat Malaikat, Allah
“meng-entry /   menginstall”  ketegaran  dan  optimesme  itu  yang  dikemas  sebagai “perkataan
malaikat” tadi. Memang disini Allah tidak menggunkan bahasa “mewahyukan”. Tapi tentunya sama
dengan “menurunkan” atau “mengutus Malaikat”, yang inipun tidak pernah kita saksikan atau
rasakan.
Demikian pula yang terjadi pada Ibunya Musa. Dia sama sekali tidak merasakan datangnya wahyu dari Allah. Yang dia rasakan adalah, dalam kekalutan dan kecemasannya akan nasib bayinya  itu,   muncul   ide  atau  gagasan  untuk  memasukkannya  ke  dalam  peti  dan menghanyutkannya di sungai. Demikian pula halnya yang terjadi pada kaum Hawariyyin, pengikut setia Nabi Isa sebagaimana dinyatakan dalam ayat berikut :





”Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu pembela-pembela Allah (pejuang di fihak  Allah)  sebagaimana  Isa  putra  Maryam  telah  berkata  kepada  Hawariyyin : “Siapakah yang siap menjadi pembela-pembelaku di fihak Allah ? para Hawariyin berkata :Kamilah pembela-pembela Allah ………” (As Shof : 14)




”Dan ingatlah ketika Aku wahyukan kepada Hawariyyiin : “Berimanlah kepada-Ku dan kepada Rosul-Ku”. Mereka berkata : “Kami telah beriman, dan saksikanlah bahwa kami semua berserah diri”   (Al Maidah : 111)

Pada Ash Shof : 14 Allah memotivasi orang-orang mukmin dengan mengingatkan mereka akan (mencontohkan) sikap Hawariyyin dalam meresfond seruan Nabi Isa. Dhohir peristiwanya adalah : Nabi Isa menyeru para Hawariyyin, dan mereka spontan meresfonnya dengan positif.
Tapi ketika Allah mengungkapkan fenomena tersebut dalam hubungan yang lain, yakni
mengingatkan Nabi Isa akan berbagai ni’mat yang Allah berikan kepadanya, Allah ungkapkan
dalam Al Maidah “ 111 diatas, bahwa ketika Nabi Isa berhasil menyeru para Hawariyyin untuk
menjadi pembelanya, itu bukan semata-mata prestasi da’wah Nabi Isa, melainkan hakikatnya
adalah ni’mat dan petolongan Allah kepadanya, dengan jalan mewahyukan keimanan kepada
mereka.
Apa yang Allah lakukan ini sama sekali tidak mereka rasakan, dan merekapun tidak menyadarinya, maka Allah mengingatkan mereka tentang apa yang sebenarnya tejadi.
Demikian pula ketika Allah mengingatkan Nabi Musa akan nikmat-nikmat-Nya. Bahwa tindakan cerdas ibunya ketika dia bayi, yang membuatnya selamat dari kekejaman Fir’aun itu, adalah disebabkan Allah mewahyukan ide cemerlang itu kepada ibunya.
Adapun apa yang Allah lakukan berupa pewahyuan terhadap bumi  (Az Zalzalah  :  5),
terhadap langit ( Fushilat : 12) dan kepada lebah (An Nahl : 68), kalau dalam bahasa (istilah)
komputer adalah “meng-entry” atau “meng-instal” tabi’at, sifat dan kinerja dari makhluk-makhluk-
nya itu.
Kalau suatu hari bumi “menginformasikan” kepada manusia hal ihwal dirinya (Az Zalzalah : 4), misalnya antara lain, ternyata bumi itu mempunyai gaya gravitasi, mengandung energi panas, melakukan  getaran  dan  guncangan,  melakukan  rotasi  dan  revolusi  dan  sebagainya,  Allah mengingatkan  bahwa  ihwal  bumi  sedemikian  itu  disebabkan  Allah  telah “menginstal”  atau “memprogram” semua itu terhadapnya.
Jelaslah bahwa “auha” terhadap bumi itu tidak boleh dartikan dengan “memerintahkan”.. Bukan itu yang Allah terangkan. Melainkan, kalau bumi ternyata bisa “melakukan” itu dan ini, Allah lah yang telah “memprogram” dan menginstal “perilaku”   kepada bumi. Demikian pula kepada semua makhluk lainnya.
Karena ketika bumi atau siapapun melakukan apa yang diperintahkan, berarti ia telah mempunyai kemampuan untuk melakukan apa yang diperintahkan itu, dan kemampuan tersebut telah Allah installkan sedemikian rupa kedalamnya. Kita bisa “memerintahkan” burung perkutut untuk bersiul. Tetapi kita tidak bisa “menginstal” kemampuan bersiul kepada perkutut. Allahlah yang melakukan itu.

Simpul Makna
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa :
·         Yang dimaksud dengan “mewayukan” itu adalah : Menyampaikan sesuatu yang bersifat
immateri agar masuk / tertanam / terpasang pada objek atau sasaran tertentu.
·         Sesuatu yang diwahyukan (wahyu) itu bisa berupa : perkataan (kalam), berbagai hal yang
hidup atau “muncul” dalam jiwa manusia, seperti : ide, gagasan, perasaan (suasana) hati,
dan termasuk juga sifat-sifat atau tabi’at, kaidah,hukum atau sistem yang “diprogram” Allah
dan “diaplikasikan” pada makhluq-makhluq-Nya di alam ini.

Pemungutan dan Pengunaan Kata Wahyu
Memang tidak salah, kalau Bahasa Indonesi memungut kata wahyu untuk memperkaya bahasa kita,  kemudian menggunakannya untuk maksud atau makna yang terbatas, yakni  : Petunjuk dari  Allah  yang  disampaikan kepada para Nabi dan Rosul. Dan kita tidak pantas menggunakan  kata  wahyu (yang  sudah  menjadi  Bahasa  Indonesia  itu)  seperti  Allah menggunakannya dalam Al Quran. Misalnya :
·                 “Saya akan mencoba mewahyukan pengertian kepadanya agar dia sadar”.
·                 “Saya telah memperoleh wahyu bahwa saya dapat menerima tawaran Anda”.

Itu jelas tidak benar, Bahasa Indonesia tidak menerima kata wahyu untuk maksud seperti itu. Tetapi kalau kita  ingin  memahami Kalamullah dalam Al Quran, kita harus tunduk dan mengikuti kaidah serta alur bahasa yang Allah gunakan. Bukan mengikuti alur atau karakter bahasa lain, atau kaidah yang dibuat oleh siapapun.
Bahkan kaidah Bahasa Arab, dimana sebagian orang yang merasa telah menguasainya, sering menampilkan sikap arogan dan angkuh. Bila ada orang yang unjuk pendapat tentang Ayat Qur’an, dengan membusung dada, dia langsung apriori. Arogansinya langsung vokal : “Anda belum menguasi sepenuhnya Qaidah Bahasa Arab, jangan dulu bicara Al Quran”. Sepertinya hanya dia saja yang tahu kaidah Bahasa Arab.
Dia lupa bahwa orang munyusun Qaidah Bahasa Arab itu, dari hasil penelitian terhadap Al Quran, dengan kata lain, meneliti qaidah yang yang Allah gunakan dalam penuturan Kalam-Nya. Bukan sebaliknya, Allah menyusun Al Quran berdasarkan kaidah yang dibuat orang. Itu mustahil. Bahasa Al Quran dari mana Qaidah Bahasa Arab itu disusun, sekarang hadir terbuka lebar di depan semua orang. Jadi, bagi orang yang melek (tidak buta bahasa) seperti mereka yang awalawal menyusunnya, kaidah itu tampak di depan penglihatan (bashiroh)-nya yang cermat dan teliti. Dan orang-orang melek itu, Insyaallah masih banyak akan dilahirkan.
Seperti dikemukakan di atas, bahwa cara primer untuk bisa memahami bahasa dari suatu komunitas masyarakat, adalah dengan terlibat langsung dalam pergaulan di masyarakat tersebut. Buku Kamus atau Penterjemah adalah cara sekunder untuk mempercepat dan memudahkan.
Maka untuk cara primer dalam memahami ayat-ayat Al Quran, adalah dengan “mengakrabi” Al  Quran  itu  secermat-cermatnya (tartil),  dan  menghubungkannya  dengan  fenomena  nyata (“kauniyah”) yang berkaitan dengan ayat-ayat tersebut. Adapun Kamus dan Terjemahan adalah alat bantu dan bahan perbandingan.



IV.    SANGGAHAN DAN PENOLAKAN
Wahyu Sudah Tidak Ada Lagi ?
Sebagaimana diutarakan di muka, selama ini orang mendefinisakan wahyu sebagai  : “Firman Allah yang disampaikan kepada Nabi dan Rosul-Nya dengan perantaraan Malaikat Jibril”.
Dengan ditutup dan berakhirnya kenabian dan kerasulan, maka penyampaian wahyu itupun berakhir.  Dengan  kata  lain,  Allah  tidak  lagi  menyampaikan  wahyu  berupa  apapun  kepada siapapun.
Ketika definisi wahyu seperti itu dipertanyakan dan tidak dapat dipertahankan, seseorang mencoba ngotot bertahan pada anggapan bahwa Allah tidak lagi menurunkan wahyu, dengan memakai dalih baru, yaitu :
”Untuk kata “mewahyukan” ini, Allah menggunakan fi’il madli (kata kerja bentuk lampau). Ini berarti,  bahwa tindakan mewahyukan itu telah selesai, berakhir. Jadi, Allah tidak pernah lagi mewahyukan suatu apapun”.

Sungguh suatu hujjah (dalih) yang semakin morat marit.
Anak kecil juga tahu, bahwa fi’il madli (kata kerja bentuk lampau) itu menyatakan bahwa pada waktu dikatakan, perbuatan yang dimaksud (yang dikatakan) itu sudah selesai dilakukan. Tetapi tidak seorangpun yang berpemahaman bahwa perbuatan yang dikatakan dengan fi’il madli itu menunjukkan bahwa perbuatan tersebut tidak akan pernah dilakukan lagi. Kaidah buatan siapa itu. Sesuatu yang sudah dilakukan, sama sekali bukan berarti tidak akan pernah dilakukan lagi.
Jika seseorang mengatakan :   “Syaribtu”       (saya minum), ketika ia bicara minumnya sudah dilakukan. Tetapi bukan berarti dia tidak akan pernah minum lagi. Jadi sangat tidak beralasan kalau dianggap Allah tidak akan pernah mewahyukan lagi, hanya karena Allah menggunakan fi’il madli. Lagi pula siapa yang berhak mengatakan bahwa Allah tidak akan lagi melakukan ini atau itu ? Kalau Allah sendiri tidak mengatakannya. Bahkan kalaupun kita memandang bahwa Allah telah selesai menciptakan langit dan bumi. Tidak boleh kita beranggapan bahwa Allah tidak akan lagi melakukan hal yang sama. Segalanya terserah kepada kehendak Allah yang mutlak.
Kemudia dia (yang berdalih fi’il madli diatas) mengajukan hujjah (argumentasi) dengan Al Ahzab : 40 dan Al An’am : 93 sebagai berikut:
 





Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang lelaki diantara kamu, akan tetapi dia itu Rosulullah dan penutup Nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.(Al Ahzab: 40)
Ayat tersebut diatas sama sekali tidak relevan untuk dijadikan hujjah atas anggapan diatas, (bahwa Allah tidak akan menurunkan wahyu lagi). Al Ahzab : 40 sama sekali tidak menyinggung soal wahyu, melainkan hanya menegaskan bahwa Muhammad itu Rosulullah dan penutup Nabinabi.  Tidak  ada  sepotong  ayat  pun  yang menyatakan bahwa Allah tidak akan pernah lagi mewahyukan apapun kepada siapappun.

Tuduhan Sesat dan Pendusta
Sanggahan dan penolakan terhadap pemahaman tentang wahyu seperti diuraikan diatas, diperkuat lagi dan sekaligus disertai tuduhan yang sangat pasti, dan didengungkan secara lantang dan meluas, bahwa yang memahami wahyu secara demikian ini adalah dusta dan sesat, yang diancam Alah dengan ayat berikut :



Dan siapa yang lebih dholim daripada orang yang mengada-ada kebohongan atas
Allah, atau mengatakan “ telah diwahyukan kepada saya”, padahal tidak diwahyukan
kepadanya sesuatupun ….. (Al An’am : 93)

Al An’am : 93 tersebut diatas juga sama sekali tidak mengisyaratkan bahwa Allah tidak akan
mewahyukan apa pun lagi. Melainkan berisi kutukan dan ancaman terhadap orang pendusta, yakni
yang mengada-ada keterangan yang diklaim sebagai kebenaran, tanpa bukti yang sah dari Allah,
yakni “ayat-ayat-Nya”. Atau orang yang mengklaim dirinya mendapat wahyu dari Allah, padahal
bohong. Tentunya wahyu dalam pengertian dari sisi Allah (sebagimana dibahas panjang lebar di
muka) bukan “wahyu” menurut Bahasa Indonesia. Sebab kasus yang dimaksud ini diungkapkan
dalam Firman Allah, maka kita harus memahaminya sebagai Kalamullah, bukan wahyu menurut
bahasa kita.
Dengan demikian, jangan dikira  bahwa orang yang tidak  pernah  mengatakan    :       “Aku mendapat wahyu” lantas tidak akan terkena oleh ancaman pada Al An’am : 93 diatas. Karena orang yang mengklaim bahwa pendapat atau keterangan yang dia luncurkan itu bersumber dari Allah (suatu  kebenaran)  padahal  tidak  terbuktikan  sama  sekali  dengan  ayat-ayat  Allah (sebagimana diingatkan Allah pada Ali Imron : 78 ), orang yang demikian itulah yang diancam Allah sebagai pendusta, pelaku kedholiman paling besar.
Tambahan pula, benar tidaknya seseorang mendapatkan wahyu atau apa saja yang bersifat immateri dari Allah. Tidak dapat disaksikan oleh siapapun kebenaran atau kebohongannya. Maka tidak seorang pun dituntut untuk mengetahui hal itu, dan tidak berhak menyatakan benar atau bohongnya seseorang dalam hal tersebut. Yang perlu kita ketahui dan waspadai adalah, apapun yang dikatakan atau disampaikan oleh siapa saja, kebenarankah itu ? Atau kepalsuan. Tidak usah peduli dari mana atau dengan cara apa orang tersebut mendapatkannya. Karena kebenaran itu pasti datang dari Allah (bagaimana pun caranya), sedangkan kepalsuan itu pasti dari syetan.

Cara Orang Kafir Menolak Kebenaran
Banyak diterangkan dalam Al Quran, bahwa penolakan orang kafir terhadap Risalah Allah atau seruan para penyeru kebenaran (Al Haq), bukan dengan mempertanyakan substansi materi (Al  Haq)  yang  disampaikannya,  melainkan  mereka  menuntut  bukti  akan  statusnya  sebagai pengemban Risalah, atau bukti tentang hal-hal khusus (luar biasa)  yang telah dialaminya.
Mereka selalu menolak dengan mengatakan : “Kamu ini orang biasa saja seperti kami, dan Allah tidak menurunkan apapun kepadamu”. Itulah kebiasaan orang kafir setiap menyanggah para penyeru kebenaran.
Kemudian para penyeru yang didustakan itu pun, tidak bisa mengajukan bukti apapun bahwa ia menerima sesuatu dari Allah, kecuali dengan mengatakan : “Allah Maha Tahu bahwa yang kami sampaikan ini risalah-Nya”.
Coba kita simak Kalamullah berikut :

Mereka (Orang-orang) berkata : “Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami. Dan Allah Yang Maha Pemurah tidak menurunkan apapun. Kamu tidak lain hanyalah pendurta. Mereka (para penyeru itu) menjawab : “Tuhan Kami mengetahui bahwa kami adalah orang-orang yang diutus kepadamu”. (Ya Sin : 15,16) 

……………Setiap kali dilemparkan kedalamnya  (neraka) satu  bondongan        (orang-orang), bertanyalah  penjaga  neraka  itu  kepada  mereka      :        “Apa  belum  dating kepadamu pemberi peringatan ?” Mereka menjawab : “Benar. Sungguh telah datang kepada kami pemberi peringatan, lalu kami mendustakan. Dan kami katakan : “Allah tidak  menurunkan sesuatupun. Kamu tidak lain hanyalah dalam kesesatan yang besar” (Al Mulk : 8,9 )

Kita tidak berhak menuntut bukti kepada siapapun tentang apa yang dia terima dari Allah,
kecuali dengan menguji apa yang dia sampaikan itu. Jika yang disampaikannya itu benar-benar Al
Haq (kebenaran) pastilah itu dari Allah. Dengan cara apa dia mendapatkannya, itu bukan urusan
kita.
Jika seseorang datang dan mengaku sebagai pedagang berlian, misalnya. Kita tidak harus menuntut bukti berupa Surat pengangkatan, sertifikat, status, atau apapun untuk membuktikan bahwa ia benar-benar pedagang berlian. Melainkan kita uji saja, benarkan yang didagangkannya itu berlian atau palsu.


V.   SUBSTANSI WAHYU
Bukan Substansi Konkrit Tertentu
Perlu diingat dan difahami dengan baik bahwa kata “wahyu” itu suatu “isim nakiroh” yakni tidak menunjukkan sesuatu yang konkrit tertentu (ma’rifah). Jadi kalau ditanyakan apakah wahyu itu ? Maka jawabannya (“definisi” yang bisa dibuat) hanya sebatas  :  “Wahyu ialah apa-apa (sesuatu) yang diwahyukan (Ma Yuha)”.
Jika  lebih  lanjut  ditanyakan:  Apakah  sesuatu  itu      ?  Jawabannya bisa  berbeda-beda, tergantung yang diwahyukannya itu apa. Seperti dalam ayat-ayat diatas:
·         Yang diwahyukan Allah kepada Hawariyyin adalah keimanan kepada Allah dan Rosulnya,
·         Yang diwahyukan kepada Ibunya Nabi Musa : Ide cemerlang untuk memasukkan bayinya kedalam sebuah peti, kemudian menghanyutkannya di sungai.
·         Yang diwahyukan kepada lebah : kemampuan dan cara yang ekflussif dalam membuat
        sarang.
·         Yang diwahyukan kepada bumi : Segala hal ihwal bumi yang kemudian diketahui manusia Dan seterusnya.
Kalau dalam bahasa kita sehari-hari, ibarat kata “kiriman”. Kiriman adalah sesuatu atau apa saja yang dikirimkan. Apakah itu ? Ya, bisa apa saja, bermacam-macam. Jadi kalau seseorang mengatakan : “Saya dapat kiriman”, orang belum tahu konkritnya apa yang dia terima itu.

Siapapun dan Kapanpun Bisa.
Dengan demikian,  mewahyukan  adalah        “pekerjaan  rutin”  Allah,  sebagai  bagian  dari Sunnatullah yang tidak akan pernah berubah. Dengan Ilmu, kekuasaan dan berbagai “perangkat dahsyat”  hingga “perangkat  lembut”  yang  dimiliki-Nya,  Allah  terus  dan  tak  pernah  berhenti melakukan “pengoperasian dan pengendalian” alam semesta dengan segala isinya ini. Maka pantas dan layak sekali pernyataan Allah berikut :

Adakah suatu keheranan bagi manusia bahwa kami mewahyukan kepada seorang lelaki diantara mereka : “Berikanlah peringatan kepada manusia………..” (Yunus : 2)

Tetapi tokoh pengingkar tersebut diatas, mencemooh dengan diangkatnya ayat ini sebagai bukti. Menurutnya, “manusia” yang dimaksud pada ayat di atas adalah masyarakat pada zaman Nabi dahulu, bukan manusia zaman sekarang di lingkungan kita ini.
Entah dari mana dia tahu dan berani mengatakan hal itu. Sebab Allah tidak mengatakan demikian. Ketika Allah mengatakan sesuatu yang Dia tidak membatasinya, maka tak seorangpun yang berhak membatasi. Sebab Dzat Allah dan Kalamulah itu universal, meng-cover (meliput) segala sesuatu di segala dimensi ruang dan waktu.
Jika  kita   (makhluk)  mengatakan :       “Saya  menyeru manusia  ke jalan  selamat”.  Maka meskipun tidak dikatakan kita tahu bahwa manusia yang dimaksud adalah manusia yang sempat dijumpainya, atau yang dia sempat berkomunikasi dengan mereka. Karena kita adalah makhluk yang sangat dibatas oleh ruang dan waktu. Tetapi jika Allah mengatakan : “Aku menyeru manusia ke jalan selamat” maka Firmannya berlaku dan meliputi seluruh zaman. Dan manusia yang dimaksud adalah makhluk yang disebut manusia dimana dan kapan saja dia ada / hidup.
Sebetulnya pembahasan panjang lebar tentang wahyu ini tak perlu ada, jika tidak ada orang yang membuat definisi tentang wahyu yang begitu sempit seperti dikemukakan diatas,  dan berakibat rusaknya visi dan persepsi orang tentang wahyu selama ini.

Kalamulah, Substansi yang Konkrit.
Diantara berbagai hal yang bisa menjadi “apa yang diwahyukan” itu, ada satu hal lagi yang
perlu keterangan secara eksplisit dan pemahaman yang lebih jelas, yaitu  “Kalamullah”. Yang
tergolong pada substansi yang konkrit (tertentu), sebagai salah satu yang disampaikan dengan
cara “wahyu”, atau sesuatu yang diwahyukan. Atau secara sederhananya, isi dari “kiriman” dari
Allah tadi.
Substansi yang satu ini  (“Kalamullah”) yang benar-benar Kalam, yang wujudnya konkrit dapat  dibacakan,  diperdengarkan  atau  dituliskan.  Inilah  substansi  yang  spesifik,  dan  dapat diidentifikasi  sebagai  yang  diterima  oleh  Nabi  atau  Rosul  tertentu,  dan  tidak  semua  Rosul menerima wahyu Kalamullah itu. 

Rosul-rosul itu, Kami lebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Diantara (sebagian) mereka ada yang Allah “berkata-kata” (kepadanya), dan Dia meninggikan sebagian mereka beberapa derajat ……….(Al Baqoroh : 253)

Itulah “Kalamullah” yang hanya sebagian (beberapa orang) Rosul saja yang menerimanya. Adapun “wahyu” dalam berbagai sustansi seperti diterangkan di atas, semua Nabi dan Rosul pasti menerimanya bahkan makhluq apapun oleh Allah diberi wahyu seperti itu. Dengan catatan, seperti diterangkan  diatas,  kata “wahyu”  itu  belum  mengacu  kepada  sesuatu  yang  konkrit,  dan “muatannya” bisa bermacam-macam.
Kalamullah inilah yang diterangkan Allah sebagai disampaikan  “dari balik hijab”  ,  (cara pewahyuan yang spesifik) sebagimana dalam Kalam-Nya :

Dan tidak ada bagi seseorang bahwa Allah akan berbicara kepadanya, kecuali secara wahyu, atau dari balik hijab, atau mengutus seorang Rosul lalu ia mewahyukan dengan seidzin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. (Asy Syuro : 51 )

Kita  tahu bahwa  “hijab” adalah sesuatu yang ada  (tampil) didepan mata  (pancaindra), menjadi  penutup  atau  penghalang  dari  objek  atau  sasaran  yang  dimaksud  dalam  suatu komunikasi. Ketika Allah “berbicara” kepada Nabi Musa, yang ada pada penglihatan Nabi Musa adalah api. Tetapi bukan api yang akan Allah sampaikan, melainkan Kalam-Nya. Api itulah hijab yang ada di depan penglihatan Nabi Musa.
Sampai  pula  berita  kepada  kita,  bahwa  Rosulullah  Muhammad  s.a.w.  ketika  Allah menyampaikan Kalam-Nya kepada beliau, beliau kadang mendengar bunyi lonceng, merasakan beban yang berat dan mungkin yang lain lagi. Yang didengar dan dirasakan Rosulullah itulah hijab. Karena bukan itu yang disampaikan Allah kepadanya, melainkan Kalamullah. Dan Rosulullah dapat “merekam” Kalamullah itu dengan hatinya, dan dapat segera memperdengarkannya kepada orang lain dan menyuruh orang menuliskannya, dan itulah Al Qur’anul Karim yang sampai kepada kita, dan akan tetap eksis abadi.
Dengan tuntasnya Al Quran disampaikan kepada Rosulullah Muhammad s.a.w. untuk menjadi petunjuk dan penjelasan atas segala sesuatu, yang ada dan terjadi sepanjang masa sebagai perwujudan dari Sunnatullah, maka sempurnalah sudah konsep Dienul Haq ini diturunkan. Kesempurnaan Dienullah ini telah dengan jelas dan tegas dinyatakan dalam Al Quran itu.
Apabila sesudah itu muncul sesorang atau siapapun yang membawakan sesuatu informasi, pernyataan atau keterangan yang baru dan asing bagi Sunnatullah dan Kalamullah itu, pastilah dia itu pendusta, pemalsu. Kita punya alasan untuk menuduhnya pendusta, karena Allah dengan tegas telah menyatakan kesempurnaan “Kalimah”-Nya, maka tidak akan ada lagi tambahan, perubahan, penyempurnaan, pelengkap, penjelasan atau apapun namanya, yang diperlukan lagi. Dengan catatan bahwa kedustaan dan kepalsuan itu mustahil dilakukan oleh Rosulullah.

“Hidayah” Substansi yang Jauh Berbeda.
Masih ada hujjah ( yang sebenarnya tidak lain hanyalah “dalih” yang mengada ada) yang dijadikan alasan (“argumentasi”) untuk menolak pandangan tentang wahyu seperti diuraikan diatas ini, yaitu :
“Yang diterima oleh orang-orang sesudah Rosulullah itu  (yang bukan Nabi bukan pula Rosul) bukanlah wahyu melainkan “hidayah”. Wahyu itu, hanya yang disampaikan kepada Nabi dan Rosul”.
Kembali  suatu  bentuk  penggusuran  substansi  keterangan  dari  Allah.  Kalau  memang demikian, toh Allah menggunakan kata mewahyukan juga kepada mereka yang bukan Nabi, seperti Ibunya Musa dan Kaum Hawariyyin itu. Dan sebaliknya, Nabi pun mendapat Hidayah, seperti dalam Kalamnya ini :

Dan Dia mendapatimu dalam keadaan tersesat, lalu dia memberi petunjuk (hidayah)
(Adl Dluha : 7)

Katakanlah : “Sesungguhnya aku telah diberi petunjuk oleh Tuhanku kepada jalan
yang lurus … ……… (Al An’am : 161)
Substansi  hidayah    (petunjuk)  itu  berbeda  sekali  dengan  wahyu.  Penerapannya  dalam penuturan , bisa begini :

·         Allah mewahyukan Kalam-Nya dan berbagai hal lainnya kepada Rosul untuk menjadi
        petunjuk (hidayah) baginya. (bagi Rosul tersebut)
·         Allah  memberi       “hidayah”  kepada  siapa  saja  yang  dikehendakinya,  dengan  jalan
        “mewahyukan” berbagai hal (keimanan, kefahaman, kekuatan jiwa dan sebagainya) itu,
        kepada yang bersangkutan.

Jadi, mewahyukan, wahyu dan petunjuk (hidayah) menempati posisi dan substansi masing masing yang satu sama lain berbeda, tidak bisa disamakan atau dipertukarkan. Mewahyukan itu suatu tindakan, wahyu suatu objek bergerak dalam tindakan itu, dan hidayah (petunjuk) adalah maksud atau tujuan dari tindakan (disampaikannya wahyu) tadi.
Jelas sekali bahwa memisahkan penggunaan terminologi Hidayah untuk manusia biasa dan Wahyu untuk Nabi dan Rosul, adalah  mengada-ada. Perlu  diingatkan  kembali,  bagaimana pandangan dan penilaian Allah terhadap orang yang suka mengada-ada itu. Dan kepadanya pula perlu diingatkan Al An’am : 93 yang ia jadikan hujjah seperti tersebut di muka.


VI.    KECEMBURUAN (BAGHYAN) JADI PENGHALANG (GHISYAWAH)
Ternyata orang yang begitu ngotot menolak pemahaman atas terminologi “wahyu” seperti dalam uraian ini, dan terus berusaha menanamkan “kontrasepsi” di hati orang, itu terdorong oleh kecemburuan dan tuduhan negatif, bahwa orang yang berpayah-payah membahas makna wahyu yang sebenarnya ini, sedang mencari legitimasi bagi dirinya.
Dengan dibenarkannya anggapan bahwa Allah masih terus menurunkan wahyu, jadi masih dimungkinkan adanya orang yang menerima wahyu dan menjadi Rosul. Nah, orang ini (katanya) ingin mendapat pengakuan bahwa dirinya itu Rosul yang baru.
Entah harus menangis sedih, atau tertawa geli, mendengar celotehan demikian. Karena betapa naifnya pikiran kotor seperti itu.
Seperti panjang lebar diuraikan di muka, makna wahyu yang sebenar-benarnya ini perlu terungkap jelas, adalah sebagai upaya yang wajib dilakukan untuk berusaha membangun kembali Dienul Islam yang benar-benar “hidup” dan  “bernyawa” lagi, dengan berusaha menumbuhkan “konsepsi” di hati manusia, sebagai satu-satunya jalan yang memungkinkan hidupnya kembali “Cahaya Allah” di hati mereka.
Hal tersebut hanya bisa terjadi, jika substansi-substansi inti  dari  Konsep Samawi atau Dienullah ini, terakses secara benar dan jernih pada hati dan pikiran manusia. Inilah satu-satunya cara dan jalan yang Allah tunjukkan. Di luar itu, hanyalah angan-angan maya dan fatamorgana.
Implikasi lebih lanjut dari itu, kejelasan makna dan kejernihan visi tentang wahyu ini sangat diperlukan, untuk mengetahui secara benar dan jernih, apa sebenarnya yang diterima Rosul dari Allah, dan yang disampaikannya kepada manusia?
Dengan kata lain, mana yang benar-benar “produk” Allah yang bersifat abadi dan universal, dan mana yang merupakan produk atau prestasi Rosul, yang status dan sifatnya akan tetap sebagai karya manusia yang nisbi dan fana.
Hal  itu  sangatlah  diperlukan,  demi  menjaga  kebersihan  dan  kemurnian  Dienullah sebagaimana tuntutan Allah kepada kita, yang menjadi syarat mutlak diakui dan diterimanya pengabdian  kita,  dan  tidak  menempatkan  Rosulullah  pada  posisi  yang  menandingi  Allah. Kesalahan yang sering terjadi pada para pengikut Rosul dahulu, bahkan pengikut “orang besar” lainnya, sering terperangkap pada sikap “kultus individu”.
Selama ini begitu kuatnya anggapan bahwa apapun yang dikatakan Rosulullah, itu adalah wahyu Allah. Kemudian dengan didasari anggapan (visi) bahwa wahyu itu sesutu yang konkrit, maka mereka menganggap bahwa semua yang dikatakan Rosul itu, juga merupakan “produk Allah” yang dijadikan “paket tambahan” kepada Nabi Muhammad setelah Al Quran, yang kemudian dijadikan dasar hukum dan syari’at Islam.
Anggapan tersebut di atas didasarkan pada Firman Allah sebagai berikut :

Tidaklah ia mengatakan sesuatu dari hawa nafsunya, ia itu tiada lain adalah   wahyu yang diwahyukan. (An Najm : 3,4)

Kalau ayat ini difahami sebagai petunjuk bahwa perkataan Rosul itu sakral, sumber hukum, karena materinya dari Allah dan Rosul hanya mengucapkan, betapa rendahnya penilaian orang terhadap Rosul ini. Karena kalau begitu, Rosul hanya ibarat “loud speaker” (pengeras suara) yang tidak akan berbunyi kalau pada mikrofon di ujung sana tidak ada yang bicara.
Ini sungguh naif dan tidak bisa diterima oleh orang yang menghargai Rosul dengan kadar yang layak baginya. Karena kalau begitu, apa prestasi Rosul? Tidak ada ! Ibarat seaorang anak sekolah yang bisa menjawab semua soal, tapi jawabannya itu hasil dari bisikan orang lain. Itu bukan prestasi dia. Maka kalau Rosul dianggap begitu, itu bukan pujian atau sanjungan, melainkan merupakan tuduhan yang nista terhadapnya.
Rosulullah Muhammad saw. itu seorang jenius, yang jujur dan berhati bersih, sangat peduli
dan peka terhadap fenomena kehidupan di sekitarnya  (bahkan jauh sebelum beliau menjadi
Rosul),  wawasannya luas dan jauh ke depan, pengamatan dan kekuatan analisanya tajam,
semangat juang dan pengorbannya luar biasa, keberaniannya tanpa tanding, akhlak dan budi
pekertinya mempesona semua orang,……….. dan segudang nilai luhur dan prestasi lainnya. Tidak
sebatas empat sifat wajib bagi Rosul sebagaimana diajarkan kepada anak-anak surau atau
Madrasah.
Jadi, apa yang dinyatakan pada Surat An Najm : 3 dan 4 diatas, adalah sebagaimana pengertian wahyu dalam bahasa Allah yang diuraikan di muka. Yaitu sesuatu yang benar-benar didasarkan  kepada  objektifitas  fakta,  yang  dipadukan (disertai  mengingat)  petunjuk  dari Kalamullah. Bukan didasarkan kepada subjektifitas hawa nafsu atau kepentingan-kepentingan subjektif lainnya. Dengan kata lain, hal itu merupakan prestasi Rosulullah dalam mengakomodir fenomena dan kondisi-kondisi nyata/ faktual, dengan “Dzikrullah” (petunjuk dari Kalamullah).
Selanjutnya, betapapun sudah “kawinnya kedua substansi yang berpasangan”   tersebut,
tidak akan hidup di jiwa rosul dan menjadi cahaya bagi hatinya, sebelum Allah mewahyukan
sesuatu kepadanya. Sesuatu yang tidak disadari dan dirasakan secara inderawi, yakni “Ruh dari
urusan-Nya” (“Ar Ruh Min Amrihi”) yang dapat dialami oleh siapapun yang mempunya kemampuan
standar untuk itu. (Insyaallah pada bagian pembahasan tentang “Al Kitab”, dapat diuraikan lebih
jelas).


Maka Maha Tinggi Allah Al Malikul Haq. Dan janganlah kamu tergesa-gesa dengan Alqur’an sebelum disempurnakan wahyunya kepadamu. Dan katakanlah : ”Wahai Rabbku, tambahlah aku ilmu / pengetahuan”. (Thoha : 114).

”Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu Ruh dari urusan Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab itu dan tidak pula mengetahui Apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan Dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba kami. dan Sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Asy Syuro : 52)

Baik menurut logika akal sehat atau prisnsip-prinsip kebenaran yang universal  (sebagai karkter dasar Dienul Islam) maupun keterangan tekstual Al Quran, tidak ada “paket khusus” yang disampaikan Allah kepada Rosullah, selain Al Qur’an. Allah tidak pernah “ber-rahasiaan” dengan salah seorang hambanya, artinya tidak pernah menyampaikan suatu rahasia kepada seseorang dengan merahasiakannya kepada orang lain, dan tidak pula kepada Rosulullah saw.
Kalaupun  Al  Quran  bersifat “rahasia”         (gaib)  dalam  cara  penyampaiannya  kepada Muhammad, tapi Allah memerintahkan beliau untuk segera menyampaikannya kepada manusia. Kemudian beliau tidak mau mengambil risiko kalau-kalau beliau keliru atau terlupa, karena Allah mengancam beliau untuk tidak menahannya atau mengubahnya barang sedikitpun. Maka setiap beliau menerima wahyu Kalamullah, beliau langsung membacakannya kepada para sahabat, dan memerintahkan mereka untuk menuliskannya dan segera pula mengajarkannya kepada yang lain.
Rosulullah tidak mendapat “perlakuan khusus” yang tidak diterima oleh yang lain, selain menerima langsung materi Kalamullah, dan dijadikan  “stasiun” penyampaian dan penyebaran Kalamullah (Al Quran) itu kepada manusia.
Setelah Al Quran itu sampai juga kepada orang lain dan dapat membacakannya, seperti yang dibacakan Rosulullah sendiri, maka secara materiil mereka telah memperoleh dari Allah, hal yang sama dengan yang diterima Rosulullah.
Setelah itu, segala apa yang mampu dilakukan Rosulullah dalam mengakses Ilmu dari Ayatayat Allah, memimpin ummatnya dan mengemban risalah-Nya, itulah prestasi dan kehebatan dirinya, dan keunggulannya dari semua manusia yang lain. Bukan karena Allah pilih kasih atau mengistimewakan perlakuan kepada beliau.
“Penyanjungan” orang yang berlebihan kepada beliau sebagai  “kekasih” Allah, sampai sampai melepaskan beliau dari sifat-sifat basyariyah manusia, ungkapan bahwa Rosulullah tak pernah salah atau gagal karena selalu dibimbing oleh “wahyu”, tanpa mereka sadari, sebenarnya sebuah pelecehan terhadap potensi dan prestasi beliau sebagai manusia biasa, sama seperti manusia lainya. Sekaligus tuduhan buruk kepada Allah dan menodai kesuciannya. Seakan-akan Allah butuh “kekasih istimewa”, seperti seorang kakek rindu “momongan” seorang cucu, kemudian berbuat “nepotisme”. Subhanallahi ‘ammaa yashifuun.!

Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. (Maryam : 93)

Coba bayangkan dan bandingkan, bila ada seorang karyawan di sebuah instansi yang prestasinya mengagumkan dan karirnya melejit, lantas orang-orang berkomentar: “Pantas saja dia begitu, karena dia kan selalu dekat dengan atasan, kekasih atasan yang selalu dibimbingnya”. Bukankah itu berarti menafikan potensi dan prestasi orang ?
Dalam hubungan ini, Allah menegaskan lagi dengan Kalam-Nya:

”Katakan !       :       “Aku  tidak  pernah  mengatakan  kepadamu  bahwa  padaku  ada perbendahaan Allah. Dan tidak pula aku mengetahui hal yang gaib, dan tidak pula aku mengatakan  bahwa  aku  ini  malaikat.  Aku  tidak  mengikuti  kecuali  apa  yang diwahyukan kepadaku”. Katakan ! : “Apakah sama orang yang buta dengan orang yang awas? Apa kamu tidak berpikir ?” ( Al An’am : 50 )

Allah menegaskan bahwa tidak ada “rahasia” Allah yang rosul ketahui, dan beliaupun bukan malaikat,  yang  mungkin bisa “menengok” ke alam langit. Bedanya Rosul dengan yang lain hanyalah:  Beliau  jeli  dan  awas,  sehingga  hati  dan  pikirannya  begitu  terang,  bisa  memberi penerangan kepada yang lain. Sementara yang mendustakan atau melecehkannya itu buta. Allah menggugat keberpikiran manusia, karena semua fenomena yang menyangkut Rosulullah ini, adalah hal-hal yang logis rasional.
Ayat diatas akan difahami dengan jernih dan objektif, apabila visi dan pemahaman tentang wahyu, benar-benar jernih seperti makna yang Allah tunjukkan.
Oleh sebab itu, kecemburuan tadi sangat tidak beralasan. Buat apa kita menghembus-hembuskan kedengkian. Kita semua ber-Islam dalam rangka berjuang menyelamatkan diri dari adzab Allah, bukan sedang mengejar sesuatu yang bersifat “Mata’ul Hayatu`d Dunya”.
Kecemburuan semacam itu hanya akan menutup hati dan bashiroh  (pandangan dan penalaran-ghisyawah-). Ketika kecemburuan seperti itu dihembus-hembuskan, akan berkembang menjadi “Al Hathob” yang memanas-manasi (mempropokasi) orang banyak, dan akan menjadi “Ghisyawah” pula bagi orang banyak itu.
Kecemburuan   inilah   yang   sebenarnya   menjadi   penyebab   terjadinya   ikhtilaf (perselisihan/perbedaan)  pandangan  antara  berbagai  kalangan /   kelompok,  dan  perselisihan antara pendapat mereka dengan “kebenaran” yang sebenarnya terkandung di dalam Al Kitab.

….dan tidak ada yang berselisih, kecuali mereka yang telah mendapatkannya (AlKitab  itu),  setelah  datang  kepada  mereka  keterangan      (bukti-bukti)  yang  jelas, disebabkan    “baghyan” (kecemburuan/ambisi/persaingan)  diantara  mereka.  (Al Baqoroh : 213 )

Terakhir, jika kita simak bunyi seruan Rosulullah menurut ketarangan dari kalamulah berikut ini, lebih nyata pula bahwa seruan Rosulullah itu adalah berdasarkan hasil pengamatan, wawasan dan penalaran, dan orang-orang yang mengikutinya pun atas dasar itu pula.

Katakanlah : “Inilah jalanku. Aku mengajakmu kepada Allah atas dasar “bashieroh” (wawasan,  pengamatan dan  penalaran.Pen).  Aku  dan (juga)  orang-orang  yang mengikutiku.  Maha  Suci  Allah.  Dan  tidaklah  aku  termasuk  orang-orang  yang menyekutui Allah. ( Yusuf : 108 )

Wahai orang-orang yang beriman, sambutlah seruan Allah dan Rosul, ketika ia menyerumu kepada apa yang menghidupkanmu. Dan ketahuilah bahwasanya Allah menyekat antara seseorang dengan hatinya (orangnya hidup tetapi hatinya mati. Pen.) Dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu dikumpulkan. (Al Anfal : 24 )






















ANATOMI QOLBU
Manusia dikatakan sebagai makhluk dari Paripurna Penciptaan karena memiliki kelebihan dari makhluk lainnya. Ia adalah Sarana Berfikir sebagai bekal untuk beraktifitas di muka bumi ini sehingga manusia dapat bekerja sesuai dengan apa yang diperintahkan-Nya. Sarana berfikir itu hanya dapat bekerja pada organ yang bernama otak (Brain). Tidak ada satu organ-pun pada tubuh manusia yang fungsinya untuk memahami, mengevaluasi, menimbang-nimbang kecuali Otak.

Dalam otak manusia, secara nature terdapat 3 kepandaian / intelegensia yang harus dipergunakan oleh manusia untuk memahami dan menyikapi interaksinya terhadap alam, dimana pada akhirnya manusia harus menyelaraskan sikap hidupnya kepada petunjuk-petunjuk Sang Pencipta yang terkandung dalam Al-Qur’an. Karena apa yang diajarkan di dalam Al-quran tidak pernah bertabrakan dengan eksistensi alam semesta, petunjuk-Nya tidak pernah berseberangan dengan sarana berfikir manusia sebagai modal untuk memahaminya. Karena Dia-lah yang mengajarkan ilmu pada manusia dengan perantaraan alam. 3 Kepandaian itu yang sekarang banyak disebut sebagai Kepandaian Intelegensia, Kepandaian Emosional, dan Kepandaian Spiritual (IQ, EQ, SQ). Semua kepandaian ini memiliki efek yang cukup besar terhadap perilaku manusia, dan dunia pada umumnya.

Dari segi bahasa, Kepandaian Intelegensia (IQ) adalah kemampuan yang dimiliki oleh manusia untuk belajar, memahami, mengevaluasi, menghitung, mengingat, dan me-manage ilmu-ilmu yang terdapat pada alam. Kepandaian Emotional (EQ) adalah suatu kemampuan yang dimiliki oleh manusia untuk mengolah hal-hal yang berhubungan dengan rasa, cinta-kasih, sedih, bahagia, iba. Sedangkan Kepandaian Spiritual (SQ) adalah suatu kemampuan yang dimiliki oleh manusia untuk mencari fungsi dirinya, mencari status dirinya terhadap alam semesta, mencari Penciptanya, serta untuk mencari dan memahami esensi hidup ini. Apakah Al-quran menyinggung masalah ke-3 kepandaian di atas? Mari kita bedah sedikit tentang kandungan Al-quran sebagai petunjuk hidup bagi manusia yang justru banyak membahas tentang masalah psycho-social ini.
Pada surat Al-Israa ayat 36 (QS: 17/36) menyatakan:

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya Pendengaran, Penglihatan dan Hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” Jika kita memahami Surat Al-Israa ayat 36 dalam bentuk tekstual-nya saja, maka akan timbul berbagai pertanyaan:

Bagaimana pendengaran kita bisa bertanggung jawab, berbicara? Bagaimana dengan mata? Bagaimana pula dengan hati bisa bertanggung jawab? Apakah mereka bisa berbicara? Jawaban yang umum ada tentang hal di atas adalah: “Itu terjadi nanti setelah kita mati, karena pada saat itu telinga kita bisa berbicara mengenai apa yang pernah kita dengar selama di dunia, mata kita juga bisa memberikan penjabaran tentang apa yang sebenarnya kita lihat, hati kita juga akan berpartisipasi dalam mengutarakan hal-hal yang baik maupun yang buruk kepada Nya.”

Jawaban seperti itu tidak memberikan masukan kepada manusia, tentang apa hubungan antara ayat-ayat di atas dengan 3 sarana yang diminta pertanggung jawaban tadi. Apa hikmah yang harus disikapi dari ayat Quran tadi yang kerap didengung2kan sebagai pedoman hidup. Bukankah Al-quran itu sebagai petunjuk untuk manusia? Bukankah yang namanya petunjuk itu harus rasional, bisa diikuti, diteliti, dapat dipahami oleh manusia? Kalau tidak rasional, mengapa Dia menurunkan dan mengharuskan manusia menjadikannya sebagai guidance dalam hidup? Lantas apakah fungsi HATI manusia itu untuk bertanggungjawab, berbicara? Bukankah hati itu katanya Qolbu? Mengapa pada surat 17/36 tadi arti hati dalam teks arab-nya FUADA? Apa bedanya?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak akan mendapatkan jawaban yang akurat dan bisa diterima akal fikiran, jika jawabannya diserahkan kepada manusia. Ini menyebabkan banyak manusia mengubur sisi ilmiahnya jika menggali masalah agama dan menafikkan ilmu alam yang dimiliki. Hingga seorang pakar science dapat mengalahkan kebenaran ilmu alam yang dimilikinya ketika mendalami agama, karena “kepentok” permasalahan di atas. Dan sebaliknya, ketika menggali masalah ilmu science ia akan membenamkan kebenaran yang Haq dari Sang Pencipta, karena menurutnya berisi sesuatu yang tidak up to date dengan ilmu alam yang digelutinya.

Hal ini akan menimbulkan kesan bahwa agama tidak sepenuhnya cocok dengan ilmu alam dan fikiran yang dimiliki manusia. Tidak semua ayat dalam Quran bisa dipahami oleh manusia. Padahal Sang Pencipta justru mengajarkan manusia dengan perantaraan alam, untuk dipahami dengan modal dasar manusia yaitu akal fikiran sebagai sarana untuk menemukan esensi fungsi dirinya terhadap Sang Pencipta.

QS: Shaad 38/29:
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.”

Dari surat Shaad ayat 29 di atas dapat ditangkap bahwa manusia dalam memahami dan menyikapi ayat-ayat yang termaktub di dalam Quran harus menggunakan sarana berfikir, untuk memperhatikan tentang hal apa yang sedang dibicarakan pada ayat-ayat yang bersangkutan. Sehingga manusia yang menggunakan AKAL FIKIRAN dapat mengambil pelajaran dari apa yang diperintah dan dilarang Nya. Ayat ini memerintahkan bahwa, di dalam membaca Quran, manusia mutlak harus menggunakan akal fikiran untuk memahaminya dan tidak mengandalkan unsur kepercayaannya saja. Dan Quran hanya bisa “dibaca” oleh manusia yang menggunakan Akal Fikirannya. Berarti manusia yang tidak menggunakan sarana berfikirnya sebagai modal dasar untuk memahami ayat-ayat Quran, maka ia dijamin tidak dapat memperhatikan dan mengambil pelajaran dari apa yang diajarkan Nya. Surat Shaad ayat 29 di atas jelas menepis “Dogma” yang mengatakan bahwa membaca 1 huruf dalam Quran bisa menghasilkan 10 kebaikan. Sehingga banyak manusia merasa dapat 10 pahala walau baru membunyikan huruf-hurufnya saja, tanpa perduli dan memahami akan ayat yang dibacanya.

Mari kita gunakan akal fikiran, bukan akal-akalan, untuk memahami ayat-ayat Alloh, dan bukan berbekal ikut-ikutan saja, karena Ia sangat membenci manusia yang membaca petunjuk Nya tanpa memahami dan menyikapinya.



Tubuh manusia memiliki organ otak sebagai pusat dari segala perintah bagi bekerjanya organ-organ yang lain seperti tangan, kaki, indra, dll.
Jika kita melihat anatomi otak manusia, terdapat beberapa bagian yang memiliki tugas yang berbeda.
Mereka adalah:


1. CEREBRUM

Yaitu OTAK BESAR yang menempati ruang paling besar dalam system otak manusia. Ia terbagi dua menjadi Otak Kanan dan Otak Kiri. Para ahli psychology menjabarkan pembagian otak kanan dan otak kiri ini sebagai tempat berkembangnya kemampuan seni dan kemampuan eksakta. Itu adalah istilah agar mudah menjelaskan kepada khalayak mengenai pembagian tugas pada Otak Besar.

Secara anatomy, fungsi otak besar bagian kanan adalah untuk menggerakkan organ-organ pada tubuh manusia pada bagian sebelah kiri. Dan otak besar bagian kiri adalah untuk menggerakkan organ-organ pada bagian kanan. Jika tangan kanan kita bergerak, sesungguhnya itu diperintah oleh otak besar bagian kiri, dan mata kiri kita berkedip, itu karena diperintah oleh otak besar bagian kanan. Kedua bagian Otak Besar ini memiliki kemampuan untuk memerintah yang bersilangan pada hulu tulang belakang (Spinal Cord). Pada bagian belakang dari kedua bagian otak besar ini berfungsi sebagai tempat diprosesnya PENGLIHATAN. Sedangkan bagian samping dari kedua bagian otak besar ini berfungsi sebagai tempat diprosesnya PENDENGARAN.

CEREBRUM memiliki bentuk permukaan yang khas -membelit, berkerut dan seperti sebuah ban dalam sepeda yang terikat. Permukaan ini disebut dengan CEREBRAL CORTEX. Warnanya merah muda, menandakan kecilnya pembuluh darah yang mengalirinya. Lipatan-lipatan yang ada pada permukaan itu disebut CONVOLUTIONS. Ia bertugas menambah daerah permukaan bagi Cortex. Pertambahan pada daerah tersebut menandakan bertambahnya jumlah sel pada Cortex. Ini sangat penting karena pada dasarnya kepandaian seseorang tergantung dari banyaknya jumlah sel urat syaraf yang ada pada Cortex. Otak besar inilah yang memiliki kemampuan Intelegensia; untuk menganalisa, berhitung, berfikir, menerima rangsangan, dan bekerja pada hal yang ada kaitannya dengan ilmu-ilmu yang ada pada alam.

Dari hal ini timbul pertanyaan: Apakah semakin besarnya CEREBRUM seseorang membuat ia semakin pintar? Pertanyaan ini cukup singkat dan ilmiah. Penelitian membuktikan bahwa berat CEREBRUM seekor gajah adalah 3 x lipat dari yang dimiliki manusia, tapi kemampuan intelegensianya justru dibawah manusia. Ternyata yang menentukan kemampuan intelegensia adalah jumlah lipatan-lipatan yang ada pada otak besar (Convolution). Otak besar inilah tempat ditelitinya Kepandaian Intelegensia (IQ).

Selanjutnya Quran menjelaskan dalam surat Al-Mu’minun ayat 78 (23/78):

“Dan Dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian, Pendengaran, Penglihatan dan AF’IDA. Amat sedikitlah kamu bersyukur.”

QS: 46/26:
“Dan sesungguhnya Kami telah meneguhkan kedudukan mereka dalam hal-hal yang Kami belum pernah meneguhkan kedudukanmu dalam hal itu dan Kami telah memberikan kepada mereka Pendengaran, Penglihatan dan AF’IDA; tetapi Pendengaran, Penglihatan dan AF’IDA mereka itu tidak berguna sedikit juapun bagi mereka, karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan mereka telah diliputi oleh siksa yang dahulu selalu mereka memperolok-olokkannya.”

Kata AF’IDA sengaja digunakan untuk membedakan dari arti “hati” yang tertulis. Karena teks aslinya -tulisan arabnya- sendiri adalah AF’IDA, FU’ADA. Langkah kembali kepada istilah asal semata2 untuk menelusuri arti dari AF’IDA itu sendiri, dan untuk menghindarkan kerancuan dalam pemahaman akan ayat tersebut. Arti kata AF’IDA ini akan kita ketahui dari penjelasan berikut ini.

Jika kita lihat kembali, fungsi PENDENGARAN dan PENGLIHATAN ada pada Otak besar bagian belakang dan bagian samping. Ke dua fungsi ini bekerja pada otak besar. Dan kedua fungsi ini adalah sarana bagi manusia sebagai kemampuan audio dan visual agar otak besar dapat berfikir, menghitung, belajar, mengingat, dan menganalisa sebagai output dari logika berfikirnya. Dengan demikian kata AF’IDA yang dimaksud dalam ayat ini adalah OTAK BESAR (Cerebrum) yang tugasnya memahami ilmu-ilmu alam, bukan hati.

Demikian pula hal yang dimaksud dalam surat 17/36, dimana kata AF’IDA juga bermakna sarana berfikir untuk memahami ilmu-ilmu akwan, yaitu Otak Besar. Dan Ia melarang manusia untuk mengikuti sesuatu apapun tanpa dibekali pengetahuan, tanpa penjelasan yang dapat diterima akal fikiran. AF’IDA (otak besar) inilah yang diteliti sebagai tempat berkembangnya Kepandaian Intelegensia (IQ).

Allah murka terhadap manusia yang mengikuti sesuatu tanpa ilmu. Dan ilmu dapat dipelajari - diaplikasikan oleh manusia yang mempergunakan sarana Pendengaran, Penglihatan dan Af’ida-nya untuk kepentingan Allah saja. Karena diciptakannya manusia adalah untuk mengabdi kepada Nya saja, mengapa hari ini banyak manusia yang mempergunakan sarana itu bagi kepentingan selain Dia?!

Mengapa Allah murka terhadap manusia yang mencampuri sesuatu tanpa menggunakan sarana Pendengaran, Penglihatan, dan Af’ida? Karena sarana tadi diciptakan agar manusia menggunakannya dalam menunaikan tugas yang dititipkan Nya. Amanah itu tidak bisa dilaksanakan tanpa menggunakan sarana berfikir sebagai modal dasar yang diberikan pada manusia.

Apabila ada manusia yang mengikuti sesuatu tanpa bisa menjelaskan secara ilmiah apa yang diyakininya, itu berarti ia melanggar rambu-rambu Allah di atas. Pasti orang tersebut akan melakukan hal yang sia-sia, menghasilkan hal yang temporer, bukan yang sejati. Allah sangat membenci terhadap manusia yang mengaku beribadah tetapi hanya bermodalkan pengkultusan terhadap seseorang, ikut-ikutan saja, tanpa dapat menjadi saksi dari hal yang diyakini dan dianggapnya benar.

Tidak ada satu ayat-pun yang tidak bisa dibuktikan oleh manusia yang beriman, karena sifat dari ayat-ayat yang diturunkan tersebut adalah sebagai petunjuk dan fakta –Ayyatin Bayyinatin. Tentu hal ini berlaku bagi orang yang beriman kepada apa yang di Firmankan-Nya, karena petunjuk-petunjuk itu baru bermanfaat bagi orang yang sadar dan mempunyai tekad untuk menjadikan Allah sebagai satu-satunya yang ber-hak untuk mengatur segala sesuatu, Robbul Aalamiin, yang ber-hak untuk mengatur hukum kehidupan pada tatanan manusia.




2. CEREBELLUM

Yaitu OTAK KECIL yang berada pada bagian belakang dari kepala manusia. Ia berfungsi sebagai penjaga keseimbangan (balance/Mizan), kesadaran (consciousness), dan akurasi dari aktivitas tubuh. Fungsi keseimbangan (balance) sangat berperan ketika tubuh akan melakukan aktivitas seperti berdiri, berjalan, berlari, mengerjakan puzzle, sehingga tubuh tidak terjatuh dan bisa melakukan berbagai aktivitas. Fungsi keseimbangan dalam cerebellum ini juga berperan ketika manusia ingin membagi sesuatu secara adil, menentukan volume radio, dan menentukan kadar garam pada suatu masakan.

Fungsi Kesadaran (consciousness) sangat berperan pada tubuh untuk setiap aktivitas yang dilakukan, sehingga manusia bisa berfikir, marah, dan berekspresi pada setiap apa yang dihadapinya. Tanpa kesadaran maka organ-organ pada tubuh tidak bisa bekerja dengan normal/tanpa control. Fungsi ini juga berperan ketika manusia menyadari bahwa ia terlambat masuk sekolah, masakannya hangus, janji yang terlewatkan, serta menyadari ketika ia sudah berbuat salah.

Fungsi akurasi sangat berperan ketika tubuh ingin menuangkan teh, menembak sasaran, dan memasukan benang pada lubang jarum. Disamping itu fungsi akurasi juga berperan untuk ketepatan kita dalam memilih bisnis apa yang akan booming, menjawab pertanyaan dengan tepat, dan menentukan kata apa yang harus diucapkan.

Fungsi-fungsi tersebut akan bekerja dimulai ketika manusia pertama kali dapat mengenal benda, mengetahui api itu panas, jatuh dari tangga, dan hal-hal yang baru dipahami seiring dengan pertumbuhan badan dan usia. Maka setiap manusia memiliki takaran keseimbangan, kesadaran, dan akurasi yang berbeda dengan manusia lainnya, tergantung bagaimana dan seberapa kental ia mengenal hal yang dipelajarinya itu.

Sebagai contoh:
Seseorang menilai rasa sebuah sayur asem tepat takaran garamnya (Seimbang/Mizan). Sedangkan orang lain mempunyai penilaian bahwa sayur asem tadi terlalu asin. Perbedaan rasa asin ini tergantung bagaimana seseorang memahami arti rasa asin, tentunya menurut apa yang telah dipelajari untuk pertama kalinya. Walaupun rasa asin itu pertama kali ditangkap oleh Otak Besar, tetapi evaluasi rasa asin itu harus mereferensi pada rasa asin yang dipahami oleh Otak Kecil. Banyak kebiasaan dan skill yang dahulu kita pernah pelajari tersimpan dalam Otak Kecil ini. Ketika ilmunya kita sudah pelajari dan kuasai, maka ia akan disimpan dalam Otak Kecil dan akan bekerja secara otomatis.

Otak Kecil memerintahkan otot agar memungkinkan kita untuk berjalan, mengendarai sepeda, memainkan piano, atau membaca.

Sebagai contoh:
Waktu belajar sepeda, semua perhatian kita terfokus untuk bagaimana caranya untuk mengendarai sepeda agar berjalan mulus. Karena terfokusnya perhatian kita, hingga tidak sadar bahwa kaki kita telah lecet tergesek pedal yang sembarangan kita injak. Artinya seluruh fungsi otak tersedot pada aktivitas belajar dan mengendarai sepeda untuk pertama kalinya. Tapi ketika kita sudah mahir, maka fungsi Otak Besar dapat digantikan oleh Otak Kecil. Dimana secara otomatis kita dapat mengendarai sepeda dengan mulus sementara kita dapat berfikir yang lain seperti kemana kita pergi, akan membawa apa dalam sepeda, dan dapat menegur/menyapa kenalan yang kita jumpai, tapi kita tetap dapat mengendalikan sepeda dengan mulus.

Begitu pula dalam menilai keseimbangan dalam hidup. Manusia akan selalu mereferensikan apapun yang dihadapinya kepada standard keseimbangan yang dipahami oleh Otak Kecil.
Uang 1 juta rupiah menurut seorang buruh pabrik terasa melegakan ketika ia menerimanya sebagai gaji bulanan. Tetapi bagi sebagian orang jumlah itu sangat jauh dari cukup karena diukur dari keseimbangan yang telah terpatri dalam Otak Kecil-nya sebagai tuntutan gaya hidup.

Otak Kecil ini yang banyak diteliti sebagai tempat dari Kepandaian Spiritual. Ia menjadi sarana terakhir bagi penilaian keseimbangan akan sesuatu apapun. Dan manusia cenderung mengandalkan output dari Otak Kecil ketika mencari esensi hidup yang pada akhirnya akan membimbing kepada pencarian akan Penciptanya, karena tiap manusia membutuhkan keseimbangan hidup dalam segala aspek. Tetapi tergantung dari apa yang mengisi Otak Kecilnya. Bisa jadi kegiatan spiritual yang dianggapnya mendapat Ridho dari Sang Pencipta, justru merupakan sesuatu yang dibenci Nya. Artinya terjadi ketidakseimbangan antara apa yang seharusnya dilakukan, dengan blue print yang telah dicetak oleh Penciptanya. Orang yang tidak seimbang, maka ia tidak dapat “berjalan lurus”. Tanpa keseimbangan, bisa jadi ia berjalan “seradak-seruduk” tetapi mengklaim dirinya “berjalan lurus”.

Al-quran rupanya banyak menyinggung keberadaan fungsi spiritual ini pada manusia, tetapi memang dalam pemahamannya memerlukan sedikit pemikiran sebagai jembatan untuk mengetahuinya:

QS: Al-Mulk 67/13

“Dan rahasiakanlah perkataanmu atau lahirkanlah; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi SUDUR (hati).”

QS: An-Naas 114/5
“yang membisikkan (kejahatan) ke dalam SUDUR (dada) manusia.”

QS: At-Thaha 20/25-28
Berkata Musa: "Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku SODRI-ku (dada), dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku,”

QS: Al-Syu’ara 26/13:
“Dan (karenanya) sempitlah SODRI-ku (dada) dan tidak lancar lidahku maka utuslah (Jibril) kepada Harun.”

Pada Al-Mulk 67/13, jika kata SUDUR diartikan sebagai hati adalah sangat tidak tepat. Apakah manusia menyimpan sesuatu di dalam hati? Sedangkan Hati menurut bahasa anatomi adalah Liver. Dan Liver bukan untuk menyimpan rahasia, tetapi untuk menyimpan kelebihan zat gula yang kemudian dirubah menjadi GLYCOGEN agar ketika tubuh memerlukan gula sebagai bahan bakar kerja otot, maka GLYCOGEN itu akan diubah menjadi zat gula kembali untuk diproses dan dikonsumsi oleh otot yang membutuhkan.

Pada An-Naas, At-Thaha dan Al-Syu’ara, jika kata SUDUR/SODRI diartikan sebagai dada adalah juga tidak tepat. Apakah tempat menerima bisikan itu di dada? Bukankah bisikan itu diterima oleh telinga? Apakah Nabi Musa -setelah berdoa minta dilapangkan dada- kemudian dadanya bisa bertambah lebar? Bukankah dada tidak ada hubungannya dengan kelancaran dalam berbicara? (QS: 20/25-28). Apakah Nabi Musa mempunyai penyakit ASMA, dimana dadanya terasa sempit sehingga “minder” dan meminta Harun untuk menemaninya dalam memperingati Firaun? (QS: 26/13)
Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan semakin membingungkan dan tidak dapat diambil pelajarannya apabila kita menerima begitu saja kata-kata kiasan dalam Quran.

Manusia adalah makhluk symbol yang kerap mengatakan sesuatu yang kelihatannya tidak ada hubungan dengan esensi yang akan dikemukakan, padahal tujuannya agar mudah dipahami oleh orang yang mendengarnya.

Contoh:
Ketika orang merasa ketakutan, ia akan berkata: “Hatiku berdebar rasanya” sambil memegang dadanya. Jika dilihat, apakah yang berdebar itu hati? Bukankah hati -Liver- itu terletak pada bagian kanan atas perut? Kenapa justru ia memegang dadanya? Bukankah yang berdegup –berdebar itu jantung?

Kata “Hati” yang digunakan membuktikan bahwa manusia adalah makhluk symbol yang ingin mengungkapkan sesuatu sebagai wakil dari apa yang dirasakannya. Ketakutan yang timbul sebenarnya disebabkan system otak manusia merespon sebuah ancaman, dan ini membuat kelenjar PITUITARY memerintahkan hormon ADRENALINE untuk merangsang jantung agar memompa darah lebih cepat, paru-paru bekerja ekstra sedangkan oksigen tidak cukup sehingga nafas jadi “ngos-ngosan”, keringat keluar, otot meregang dalam waktu yang relative lama, urat nadi ke bagian wajah terhimpit oleh otot yang meregang sehingga wajah terlihat pucat bagai mayat.










 
















CEREBELUM, Ketika kebiasaan atau persepsi yang sudah tertanam pada Otak Kecil, maka perlu usaha yang ekstra untuk dirubah arahnya, karena isinya sudah tertanam semenjak dahulu oleh suatu pengalaman pribadi tertentu. Walaupun kita sudah tahu bahwa hantu “Pocong” itu adalah bualan anak kecil, tetapi tetap saja bulu kuduk kita merinding jika berjalan sendiri melintasi ke tengah taman pekuburan pada jam 12 malam. Ini disebabkan pada Otak Kecil kita sudah tergurat cerita-cerita isapan jempol yang kita tonton/dengarkan sewaktu kecil. Ketakutan itu telah memberkas dan sulit untuk dihapus sampai dengan hari ini. Rekaman itu akan kembali keluar secara otomatis dikala kita merasa terancam pada kasus yang sama.

Otak kecil inilah yang disebut dalam Al-Quran sebagai SUDUR yang dalam bahasa anatomy-nya disebut Cerebellum. Karena miskinnya bahasa Indonesia, kata Sudur diadopsi menjadi SADAR, KESADARAN (Consciousness). Sedangkan kesadaran -baik secara fisik maupun psychologis- terletak pada Cerebellum atau Otak Kecil, bukan “hati” sebagaimana yang banyak diungkapkan.

SUDUR manusia berfungsi sebagai alat penyaringan segala sesuatu menurut apa yang dipahami dahulu. Maka pantaslah jika ada orang yang mengatakan antara Akal dengan Hati itu berbeda. Maksudnya apa yang diproses dan dianalisa oleh Otak Besar kadang suka bertabrakan dengan filter yang dari Otak Kecil. Tergantung apa yang dahulu telah mengisi Otak Kecil itu. Jika ajaran yang mengarahkan menjadi manusia materialistis yang mengisinya, maka segala sesuatu yang terkandung dalam Kesadarannya adalah sesuatu yang dihitung antara untung dan rugi, kaya-miskin, dapat atau tidak, menang-kalah, dan pasti pamrih. Yaitu berbuat sesuatu untuk mengharapkan balasan, baik di dunia maupun setelah mati, siapapun yang mengajarkannya.

Jika kita menelan bulat-bulat akan arti SUDUR sebagai Dada pada surat yang dipaparkan sebelumnya, bagaimanakah nabi Musa bisa dilapangan dadanya untuk menghadapi Fir’aun?
Ungkapan keluasan akan SUDUR yang diminta nabi Musa adalah ketenangan Kesadarannya di dalam menghadapi para “Penyihir” Fir’aun, dimana kata-kata mereka menyakitkan dan membuat “kuping menjadi panas”. Tanpa ketenangan Kesadaran/Sudur, ketika kita diserang oleh pendapat lawan bicara kita, maka bekal apapun yang kita punya akan menghasilkan “Debat Kusir” yang tiada berujung.
Dan nabi Musa bukan hendak membawakan sesuatu dari hasrat pribadinya, tetapi ia hanya menyampaikan apa yang seharusnya ia sampaikan sebagai perintah dari Robb-nya.

Bukankah ketika sedang beradu konsep yang diawali dengan kegelisahan kesadaran justru akan membuat kita bagaikan “katak dalam tempurung”. Kata-kata yang menyerang kita akan menyulut tanggapan yang tidak rasional, bahkan kita bisa mengungkapkan suatu dogma yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya hanya untuk memenangi perdebatan.
Tentu nabi Musa menginginkan ketenangan kesadaran itu karena Konsepnya sedang diserang oleh konsep para Penyihir Fira’un. Jika yang menyerangnya bukan konsep yang ilmiah, maka nabi Musa tidak akan mengacuhkannya karena itu akan berlabuh pada pertengkaran yang tidak bermanfaat.

Yang tadinya diam, jika terbawa arus akan rela menyiksa bahkan ikut membakar seorang yang baru ditengarai sebagai pencuri motor.
Yang tadinya “intelek” dan “terhormat”, ketika ke-akuannya terancam, mau beradu jotos.
Yang tadinya agamis, ketika privacy-nya terganggu, maka ia akan melontarkan kata-kata yang tidak layak didengar kepada seterunya.
Kelapangan Sudur inilah yang dimiliki oleh orang yang beriman kepada Nya. Sehingga mereka tidak akan tersulut oleh paham arus orang banyak, tetapi lebih elegant dalam menanggapi sesuatu.

Orang yang beriman tidak mudah terpancing oleh panasnya gangguan lawan bicara yang menentang ayat-ayat Nya. Karena seorang mukmin apabila ia sedang mengingatkan orang lain, sebenarnya bukan ia yang berbicara, tetapi ia sedang menyampaikan amanat dari sang Pencipta. Maka jika ada orang yang tidak suka akan apa yang dibawanya, ia tidak pernah merasa terhina. Tapi ia menganggap bahwa orang itu belum dibukakan pintu hidayah oleh Nya.
Kalaupun mereka memperoloknya, itu sebenarnya mereka sedang memperolok Sang Pencipta.

QS: 6/33:
“Sesungguhnya, Kami mengetahui bahwasanya apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu, (janganlah kamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah.”

Hari ini Sudur bangsa Indonesia sedang digoyang oleh tarikan materi dan klenik yang memperbodoh pandangan dan pola hidup, dimana limbungnya kesadaran itu membuat hilangnya keseimbangan pada banyak aspek kehidupan. Perbudakan dibiarkan terjadi dimana-mana, sementara bangsa ini mengumpankan dirinya menjadi sarana kegiatan industri yang berbiaya rendah bagi Negara-negara maju; yaitu dengan cara meminimalisasikan kompensasi terhadap upah buruh sebagai klaim keunggulan komperatif.
Yang berpangkat menggencet rakyat jelata, bahkan kehidupan spiritual diwarnai oleh ajaran klenik yang sama sekali tidak bisa dibuktikan kebenarannya, baik menurut kitab suci maupun fakta yang konkrit. Keadaan seperti ini semakin hari bukan semakin mereda, tetapi justru semakin parah. Hari ini manusia sudah semakin absurd terhadap perintah yang sebenarnya harus dilaksanakan, bahkan merasa menjalankan ibadah, padahal itulah yang dibenci Nya.

Di dalam Sudur terdapat potensi untuk mengabdi kepada Sang Pencipta (Gharizah Ilahiyah).
Potensi ini sebagai bekal bagi manusia untuk dapat mengabdi sesuai dengan petunjuk yang diturunkan Nya. Tanpa memasangkan antara potensi ini dengan petunjuk Nya, maka pola hidup manusia tak ubahnya layaknya ternak, bahkan bisa berkelakuan lebih rendah.

Potensi ini dapat dilihat pada seorang ibu yang akan melindungi anaknya, walaupun tidak ada yang mengajarkannya.
Begitu juga dengan ketertarikan seorang manusia terhadap lawan jenis, akan muncul dengan sendirinya walaupun tidak ada private untuk mencintai lawan jenis itu.
Potensi inilah yang disebut INSTINCTIVE BEHAVIOUR; yaitu perilaku yang berdasarkan insting, sebuah sikap untuk mempertahankan hidup. Instictive Behaviour juga dimiliki oleh hewan guna dan makhluk lainnya; seperti burung yang selalu membuat sarang, kerbau yang berkembang biak, dan kucing yang marah ketika makanannya diganggu.
Manusia berkelahi dengan manusia lain untuk mempertahankan makanannya, itu Instinctive Behaviour. Melindungi keluarganya, itu Instinctive Behaviour. Dan mencari untuk megabdi pada Penciptanya, itu Instinctive Behaviour.

Tetapi jika hanya Instinctive Behaviour yang dijadikan dasar hidupnya manusia tanpa diisi dengan wahyu yang terkandung dalam kitab suci, maka norma dan pola hidup yang dibangun dan dicontohkan oleh para utusan Nya akan menjadi hal yang sangat mustahil untuk dilakukan. Padahal para utusan itu hanya sebagai model untuk diikuti manusia, bukan sebagai obyek, hingga hari ini manusia cenderung mengkultuskan para nabi, lebih hebat dibanding mematuhi konsep yang disampaikan oleh nabi itu sendiri dalam kitab suci.
Jika Instinctive Behaviour tidak dibimbing oleh Wahyu, ia akan berkembang menjadi ke-akuan dan keserakahan yang mengutamakan kebutuhan insting -naluriahnya daripada tuntutan Robb-nya. Dan pasti sifat itu akan bergerak ke arah kerusakan moral maupun fisik tanpa disadari.




3. HYPOTHALAMUS

Bagian yang ke tiga dari otak adalah yang disebut sebagai Hypothalamus atau Hypophysis. Yaitu bagian otak yang letaknya kira-kira ditengah-tengah antara Otak Besar dan Otak Kecil.
Hypothalamus ini berfungsi untuk mengontrol rasa lapar-haus, pengaturan suhu tubuh, dan yang paling penting adalah masalah Emosi seperti marah, sedih, tertawa dan bahagia.

Layaknya sebuah thermostat pada sebuah pendingin udara, Hypothalamus berfungsi sebagai penjaga suhu tubuh agar tetap berada pada kisaran 37 derajat Celcius.
Pada tempat yang temperature suhunya dingin, panas tubuh harus dipertahankan. Hypothalamus memerintahkan Kumpulan Urat Nadi yang kecil (Arterioles) untuk menyempit, maka semakin sedikit panas tubuh yang keluar dari kulit. Otot meregang lebih hebat dari biasanya. Dan ketika meregang, otot membakar lebih banyak kalori untuk memproduksi panas bagi tubuh. Jika otot kekurangan bahan bakar untuk meregang, maka otot akan mengalami yang disebut dengan Kram. Ia kelebihan Asam Laktat sebagai salah satu akibat dari kurangnya bahan bakar otot.

Begitu pula pada lokasi yang kondisi temperaturenya lebih panas, dimana tubuh harus melepaskan panas yang ada pada tubuh. Hypothalamus akan memerintahkan Arterioles untuk melebar, dengan demikian semakin besar panas yang keluar dari tubuh. Kelenjar keringat memproduksi keringat sebagai sarana bagi pengeluaran panas, dimana keringat itu menyebar pada kulit yang suhunya meningkat sehingga menguap dan dapat mengurangi panas tubuh.

Hypothalamus sangat erat hubungannya dengan kelenjar PITUITARY, dimana kelenjar ini mengontrol hampir seluruh kelenjar yang ada pada tubuh, temasuk kelenjar yang memproduksi hormon GnRH (Gonadotropin-releasing Hormone) untuk masalah ambisi dan keinginan SEX.

Ia juga mengontrol kelenjar ADRENAL yang memproduksi hormon Adrenaline. Sehingga kelenjar Pituitary ini sering disebut dengan MASTER GLAND (Kelenjar Master).

Dengan hormon Adrenaline maka manusia bisa memiliki kekuatan yang ekstra, memiliki inovasi yang tinggi, tidak mudah lelah, optimistis, dan aura yang menarik.
Keberadaan hormon adrenaline ini bisa dilatih produksinya dengan berbagai cara.
Olahraga extreme seperti surfing, bungee jumping, paraglaiding, kompetisi bola, dan olahraga lain yang memancing degup jantung dengan keras. Itu akan melatih agar tubuh bisa memiliki hal-hal ekstra seperti diatas.

Ada juga cara lain untuk merangsang produksi hormon adrenaline -khususnya untuk kekuatan ekstra- yaitu dengan mengkonsumsi minuman ber-alkohol, dan alcohol bisa berfungsi sebagai katalisator bagi produksi hormon adrenaline. Karena ketika mabuk -pada level tertentu- manusia memiliki tenaga ekstra yang tidak pernah disadari ketika dalam keadaan normal. Ia menjadi kuat, semangatnya tinggi, apa saja ditabrak, tidak takut dengan siapapun.
Tetapi karena kondisinya mabuk, maka efek buruk yang dihasilkan adalah jauh lebih besar daripada efek baiknya.
Hypothalamus memiliki akses tunggal untuk merangsang produksi hormon adrenaline dalam tubuh, dimana dengan hormon adrenaline sebenarnya memiliki banyak kegunaan bagi keharmonisan kerja pada tubuh manusia.

Uniknya Hypothalamus ini bisa mempengaruhi seluruh prioritas aktivitas manusia kepada rangsangan yang keluar dari Hypothalamus itu sendiri.
Manusia bisa mengalahkan pemahaman Rasional nya (Otak Besar) jika rasa lapar dan ketakutan akan jaminan kesejahteraan mengancamnya.
Manusia bisa melecehkan ilmunya jika ia tidak bisa mengendalikan rangsangan kebutuhan Sex-nya. Manusia bisa mendustakan kebenaran spiritualnya (Otak Kecil) ketika Harta, Tahta, dan Wanita yang mengiming-iminginya.

Organnya sangat kecil, tetapi memiliki pengaruh yang amat kuat terhadap organ otak lainnya.
Jika otak manusia didominasi oleh rangsangan yang keluar dari Hypothalamus ini, maka pasti aktivitas manusia akan merusak tatanan manusia itu sendiri, dan juga merusak tatanan alam semesta (KEJAHATAN).

Bagaimana dan apa Hypothalamus ini menurut Al-quran:

QS: 50/16
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh NAFS-nya (hatinya), dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya,”

QS: 12/53:
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya NAFS itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali NAFS yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Jika pada pada QS: 50/16 kata NAFS diartikan seperti yang tertulis (hati), maka akan jauh sekali pemahamannya. Apakah hati itu kerjanya berbisik?
Mengapa ada 3 istilah yang berbeda dalam Quran, tetapi artinya dalam bahasa Indonesia menjadi sama?
Pada QS: 23/78 kata AF’IDA diartikan hati.
Pada QS: 114/5 kata SUDUR diartikan hati.
Sedangkan pada QS: 50/16 kata NAFS diartikan hati juga?
Bukankah 1 huruf saja dalam Al-quran memiliki arti sendiri yang memiliki efek sangat besar perbedaannya? Sedangkan ketiga ayat diatas -contohnya- terdiri dari huruf-huruf yang berbeda.

Jika diteliti pemahaman akan NAFS dalam QS 12/53 diatas, didapat bahwa sifat NAFS itu cenderung untuk memerintahkan kepada kejahatan.
“INNA NAFSA LA AMMAROTUMBI SUU’
Sesungguhnya NAFS itu selalu memerintahkan kepada KEJAHATAN.

Berarti kata NAFS yang dimaksud dalam Quran mensinyalkan sebagai HYPOTHALAMUS. Karena Hypothalamus jika tidak dibimbing dengan wahyu akan cenderung memerintahkan kepada suatu kejahatan yang berakhir kepada kerusakan.
Hypothalamus yang mengontrol berbagai rasa dan keinginan (rasa lapar-haus, kenyamanan, sex, emosi), maka manusia akan melakukan hal apa saja asalkan keinginan dan rasa tadi bisa terpenuhi.
Kalau kita sering mendengar kata NAFSU, sebenarnya itu berasal dari kata NAFS yang SU’, yaitu Hypothalamus yang cenderung berbuat kerusakan/kejahatan.

NAFS ini bisa berganti baju menjadi AF’IDA dan SUDUR; Hypothalamus bisa mempengaruhi output dari Otak Besar dan Otak Kecil. Ia bisa menyusup pada perilaku ilmiah, maupun spiritual.

Sebagai contoh:
Seorang pejabat publik yang tega memakan uang rakyat yang memilihnya.
Menurut rasio sang pejabat (Af’ida), hal itu bisa dilakukan karena memiliki wewenang pada jabatan yang diembannya. Selain itu system pemerintahan yang berlaku sangat memungkinkan untuk melakukan penyimpangan dana yang tersedia.
Menurut output spiritualnya (Sudur), ia harus mengedukasi anaknya dengan menyekolahkan pada institusi yang mahal, harus mendermakan sebagian penghasilannya dengan menyumbang masjid, panti asuhan, dan amal-amal kemanusiaan sekaligus sebagai penyeimbang “timbangan” amalan sehingga evaluasi perbuatannya bisa balance, bukan dosa saja yang besar tapi pahala juga ikut besar (seperti timbangan beras).

Padahal dasar output dari Af’ida maupun Sudur tadi sudah dipengaruhi dan ditaklukan oleh buasnya dorongan Nafs (Hypothalamus) yang “membisikan” untuk senantiasa menjamin keamanan “Perut”-nya saja. Seolah-olah pendapat yang dikeluarkan berasal dari Af’ida dan Sudur. Jadi Nafs bisa berganti baju menjadi Af’ida dan Sudur, “serigala berbulu domba”.

HYPOTALAMUS, Contoh yang lebih jelas lagi yaitu ketika ada orang yang berdakwah tetapi menerima bayaran dari dakwahnya. Mungkin secara kamuflase bayaran itu sebagai uang pengganti transport. Tetapi akan menjadi pertanyaan apabila uang transportnya hingga jutaan rupiah, naik apa dia dalam berdakwah? Lagipula jika tidak diberikan, apakah ia mau datang lagi?
Premise yang ada menganggap wajar-wajar saja hal itu terjadi, karena yang namanya kiyai kerjanya cuma berdakwah. Lumrah kalau orang yang mendengarkannya mengasihinya dengan memberi uang transport/sedekah.

Pendapat orang yang memberikan balasan kepada pendakwah, sesungguhnya berasal dari Otak Kecil yang sedari kecil dahulu dimasukan dogma bahwa: Jika mengundang kiyai, maka harus memberikan uang transport atau sedekah sebagai tanda kita memperhatikan kiayi itu. Pendapat itu sudah tersimpan dan otomatis keluar ketika -pada lain waktu- diajarkan oleh pendakwah yang diundangnya. Walaupun ayat-ayat dalam Quran mensinyalkan kepada arah yang berbeda dengan apa yang termaktub dalam Otak Kecil tadi, tetapi seolah-olah “hati kecil” meng-amini premise untuk memberikan kepada balasan kepada pendakwah ini. “Karena kedatangannya kita yang mengundang, jadi kita harus bertanggung jawab terhadap kepulangannya”.

Itu pendapat yang ada, akan menjadi bias jika manusia mengandalkan pendapat pribadi dari manusia itu sendiri. Mari kita lihat bagaimana rambu yang dibuat Allah bagi orang yang menyampaikan apa yang diamanahkan Nya.

QS: 76/9
“Sesungguhnya Kami memberi MAKANAN kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.”

Makanan perut adalah Nasi. Sedangkan makanan Qolbu yang dibahas dalam Quran adalah wahyu, bukan nasi. Sebuah makanan yang bisa membimbing umat manusia kepada yang Haq, kepada yang dijanjikan oleh Penciptanya.
Jangankan mengharapkan balasan, terimakasih saja pun tidak boleh diharapkan oleh orang yang penyampaikan peringatan dari Robb-nya.
Kalau Makanan yang dimaksud adalah makanan perut dalam ayat ini, maka tidak ada bedanya antara orang yang beriman dengan orang yang “tidak mengenal Allah”, mereka juga saling mengasihi dalam bentuk materi.
Dengan demikian dapat ditangkap bahwa karakter Allah adalah sangat membenci manusia yang dalam berbuat sesuatu ada motivasi untuk mendapatkan balasan, apapun bentuknya.

QS: 15/94:
“Maka SAMPAIKANLAH olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.”

Hari ini para pendakwah bukan dengan rumus MENYAMPAIKAN apa yang diperintah sebagaimana ayat diatas, artinya dakwah yang disampaikan bukan inisiative mereka yang melihat suatu ketidak-beresan dalam perilaku manusia, tetapi mereka berdakwah karena Diundang, Ditanggap, Diminta, Dipanggil, bagaikan artis yang membawa syair dengan paham budi pekerti, dimulai dari membahas hal-hal yang bersinggungan dengan masalah emosi (Hypothalamus), bukan ilmu.
Padahal untuk memahami sesuatu, haruslah dimulai dengan pemahaman yang menggunakan sarana berfikir (Otak Besar), bukan emosional -Hypothalamus. Karena jika emosi yang pertama kali disentuh, maka otak besar manusia tidak dapat berfungsi dengan baik.

QS: Yaasiin 36/21:
“ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Hari ini tidak ada pendakwah yang secara terang-terangan meminta bayaran atau balasan. Tetapi dengan mensosialisasikan uang transport sebenarnya itu adalah kata “meminta” yang dikemas dengan kata yang lebih halus.
Maka menurut surat Yaasiin -yang sering didengung-dengungkan tapi kurang diperhatikan maknanya- orang yang tiada meminta balasan dari dakwahnya adalah orang yang diberi petunjuk. Konsekuensinya adalah, orang yang meminta -terima bayaran- adalah orang yang tidak diberi petunjuk Nya.
Mengapa pemberian jasa/balasan yang bertedeng-aling sebagai uang transport/sedekah itu dilarang oleh Nya? Karena didalam memahami Petunjuknya, tidak bisa dicampur dengan motivasi lain selain mengharap keridhoan Nya, apalagi materi yang bisa menjadi “ilah” manusia – yang dicintai, diabdi-.

Karena diundang-dipanggil-ditanggap-, maka mereka berhak untuk memasang tarif ketika naik panggung (Professional). Sama statusnya seperti ketika memanggil seorang ahli pemasaran seperti Philip Kotler yang dipanggil untuk memberikan ceramah di berbagai event. Semakin “ngetop” maka semakin tinggi bayarannya.
Pantaslah kalau hari ini berdakwah dianggap profesi, bukan menjalankan suatu misi dari Sang Pencipta untuk membenahi kebobrokan moral umat manusia.

Maka rumus untuk MENYAMPAIKAN petunjuk Nya tidak berlaku baginya. Karena apa yang disampaikan bukanlah wahyu dari sang pencipta, tetapi olah kata yang tujuannya tidak lain membimbing kepada sesuatu yang pamrih, berbuat sesuatu untuk mengharapkan balasan.
Ini adalah bukti bahwa Hypothalamus bisa berganti -menyamar- menjadi Cerebellum, perilaku yang cenderung merusak yang terbungkus dengan gaya spiritual.


QOLBU YANG SEHAT
Jika ditelaah, Otak Besar, Otak Kecil, dan Hypothalamus berpengaruh sangat besar terhadap nilai dari perilaku manusia terhadap Penciptanya. Ketiga organ otak inilah yang membentuk sebuah system pola berfikir yang disebut dengan QOLBU.
Qolbu berasal dari kata QOLABA-QOLIBU, Bolak-balik, pikir-pikir, Mondar-mandir, Timbang-timbang. Organ yang fungsinya menimbang-nimbang, pikir-pikir itu tidak lain adalah system pada Otak manusia. Tidak ada organ lain dalam tubuh selain otak yang bertugas untuk itu. Jika ada orang yang mengatakan ada, ia akan mengalami kesulitan untuk menunjukan dimana organ itu berada.

Maka tepatlah Hadits nabi yang berbunyi:

INNA FIL JASADI LAA MUDGHOH
IZAA SHOLUHAT, SHOLUHAT JASADU KULLU
WA IZAA FASADATH, FASADATH JASADU KULLU
‘ALAA WAHIYA QOLBU

Di dalam tubuh manusia terdapat organ yang lunak.
Jika ia baik, maka baiklah tubuhnya
Jika ia jelek, maka jelek-lah tubuhnya
Itulah yang disebut QOLBU.

Qolbu bukan hati, karena hati adalah Liver yang fungsinya bukan menimbang-nimbang. Kata “Hati” yang digunakan sesungguhnya untuk merepresentasi dari jati diri manusia dimaksud yang pada akhirnya penelusuran permasalahannya akan kembali kepada otak manusia sebagai sentral dari segala perintah pada tubuh manusia. Adalah sesuatu yang menggelitik jika ada orang yang mengatakan: “... memahami (sesuatu) harus menggunakan hati, bukan otak.” Seolah-olah obyek “hati” yang dimaksud terpisah letak maupun fungsinya.

Qolbu bukan berada di dada, karena dalam dada tidak ada organ yang berfungsi untuk memahami. Hati adalah ungkapan system otak manusia sebagai pusat motorik terhadap apa yang dilakukan.
Jika manusia tidak menggunakan system Qolbunya sesuai dengan fungsinya dalam menapaki hidup, maka output apapun yang dihasilkan adalah keberpihakan terhadap otak mana yang lebih dominan.

Benarlah perkataan nabi di atas. Kordinasi yang harmonis antara Otak Besar, Otak Kecil, dan Hypothalamus -sebagai pusat perintah dalam tubuh manusia- akan menjadi “komandan” yang baik di dalam memimpin anggota tubuh yang lain sebagai pasukannya. Jika komandannya sakit, maka pasukannya pun pasti kacau. Tapi jika komandannya tegas dan berdisiplin, maka tidak akan ditolerir jika ada penyimpangan dalam bentuk apapun.

Otak yang sehat bisa menjadi penyembuh dari segala penyakit. Karena 99% penyakit obatnya sebenarnya ada di otak, tentu otak yang sudah diisi peluru dari Yang Menciptakan.
Obat additive yang ada sesungguhnya hanya merangsang agar system otak merecovery permasalahan yang timbul dengan meregenerasi sel pada organ yang sedang mengalami gangguan. Tapi jika Otak nya yang sakit, maka obat apapun yang diberikan tidak akan bisa merangsang regenerasi sel tadi. Istilahnya, Qolbunya “ngambek” tidak mau bekerja karena ada sesuatu prinsip yang dilanggar.

Ini bisa kita lihat bagaimana nabi Muhammad sampai dengan umur 63 tahun selama hidupnya tidak memiliki penyakit menahun, walaupun 10 tahun pada akhir hayatnya dihadapi dengan berperang sebanyak lebih dari 70 kali. Bagaimana beliau bisa mendapatkan sehat yang demikian?
Ketika menghadapi maut pun ia hanya merasakan pusing pada kepalanya, tanpa penderitaan yang berkepanjangan. Itupun karena sudah sampai masa berlaku jasadnya kepada akhir daripada tugas yang diamanahkan. Beliau sudah berhasil membawa Dien Allah yang diemban oleh umatnya mencapai kemenangan. Baik kemenangan konsep yang dijalankan oleh Qolbu yang sehat, maupun kemenangan konkrit dengan merebut kembali teritorial milik Allah yang sudah dikangkangi oleh manusia-manusia yang bobrok moralnya, itulah yang esensi dari kata kemenangan.
Demikianlah perjuangan yang diusung oleh setiap Rasul Nya sebagai pemimpin ummat yang harus dicontoh oleh orang yang mengaku sebagai umatnya.



MENJINAKKAN HYPOTHALAMUS dan MEMILIKI QOLBU SEHAT

Hypothalamus atau Nafs dalam bahasa Quran yang gejolaknya sangat dahsyat itu harus dijinakkan agar mengabdi kepada Sudur yang memang diciptakan oleh Nya sebagai wadah spiritual manusia, wadah untuk mengabdi kepada Sang Pencipta. Sudur-nya pun harus diisi oleh prinsip-prinsip dasar yang diajarkan oleh Sang Pencipta. Di dalam Sudur bukan hanya berisi prinsip untuk aktivitas ritual saja, karena ritual belum bermakna apa-apa sebelum dibuktikan tentang apa yang dibaca dan dipahaminya.
Sudur yang berisi software yang legal, yaitu petunjuk-petunjuk kehidupan yang terkandung dalam Quran. Hingga potensi yang terkandung dalam Hypothalamus dapat meledak berfungsi hanya bagi kepentingan Nya.

Untuk menjinakkan Nafs caranya adalah sebagai berikut:

QS: 7/205:
“Dan sebutlah Robbmu dalam NAFS mu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.”

Ajaran dari Robb (Yang Mengatur) alam semesta ini harus menjadi motivasi bagi keberadaan Hypothalamus. Dengan menjadikan Robb sebagai substansi dalam Hypothalamus, maka potensi dahsyat yang dimiliki manusia ini bisa mengarah kepada kepentingan Robb nya, bukan kepada materialistik yang sifatnya temporer dan cenderung menganiaya diri sendiri maupun orang lain.

Bagaimana mencapai Qolbu sehat yang bekerja dengan harmonis sebagaimana para nabi dan orang-orang soleh?
Tentu karena Qolbu adalah direka oleh Yang Mencipta, maka peluru yang mengisi Qolbu yang seharusnya adalah peluru buatan Yang Menciptakan. Sebagai pusat motorik dari aktivitas manusia, Qolbu harus berisi ajaran-ajaran dari Sang Pencipta sebagai suatu yang natural, yang menjadi pasangan diciptakannya Qolbu. Ibarat komputer, maka Qolbu bagaikan sebuah CPU yang harus diinstal oleh Operating System yang tepat dan asli. Program-programnya pun harus diinstal dengan yang Asli, agar unit komputer itu bisa bermanfaat dan tidak menimbulkan masalah bagi penggunanya. Pelurunya adalah Wahyu sebagai petunjuk hidup, sebuah kitab yang kini hanya dibaca saja tanpa pemahaman akan maksud dan arti dari petunjuk yang dimaksud.

Qolbu yang diisi Wahyu, akan menciptakan manusia mempunyai visi hidup jelas. Sehingga pikir, kata, dan perbuatannya tidak sia-sia.

Qolbu yang diisi Wahyu, akan membuat manusia punya kekuatan ekstra, innovative, tangkas, sebagai modal menerima petunjuk2 Nya.

Qolbu yang diisi Wahyu, akan menciptakan manusia yang sehat jasmani dan ruhaninya, tanpa penyakit yang berarti. Kalaupun ada hal yang tidakberes, maka akan segera direcovery oleh tubuh yang diperintahnya.

Qolbu yang diisi Wahyu, menjauhkan manusia dari rasa curiga, pesimis, dan paranoid akan masalah yang dihadapi. Ia akan membentuk manusia yang terbuka (Insyiroh) sebagai modal awal masuknya prinsip-prinsip dasar kehidupan yang Haq dari Nya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar