Seorang petani membawa bibit-bibit yang baik untuk
disemai.
Ketika melakukan penyemaian, ada beberapa yang jatuh ke pinggir jalan. Kemudian burung-burung yang lapar datang untuk
memakannya dengan lahap.
Beberapa tercecer di bebatuan yang mengandung sedikit tanah. Karena ada sedikit
tanah, benih itupun segera tumbuh menjadi tunas, tetapi ia belum memiliki akar
yang kokoh. Dan ketika matahari terbit dengan terik menyinari bibit yang baru
tumbuh itu, maka tunas itu segera layu dan tak lama ia pun mati.
Bibit-bibit itu ada pula yang jatuh di rerimbunan semak belukar yang berduri.
Bibit itu bisa tumbuh menjadi pohon kecil diiringi oleh semak belukar yang juga
tumbuh jauh lebih besar. Kemudian Semak belukar yang semakin besar itu menjepit
pohon yang kecil itu hingga tidak mendapatkan ruang untuk hidup, alias mati.
Kemudian ada pula bibit-bibit yang jatuh di tanah yang baik. Maka bibit-bibit
itu segera tumbuh menjadi pohon-pohon yang besar, memiliki akar yang kuat
sebagai pijakannya, terus tinggi besar hingga dapat menghasilkan buah yang
banyak dan enak dimakan oleh makhluk lainnya.
Orang yang memiliki niat untuk beriman kepada Tuhan tetapi tidak juga memahami
bagaimana cara beriman -disebabkan masih menggantungkan kecintaannya kepada
selain Tuhan, akan mudah terpengaruh oleh bujukan orang-orang yang sesungguhnya
tidak menyukai Tuhan untuk menjadi satu-satunya pengatur hidup manusia. Dalam
benaknya tidak bisa merangkai apa tujuannya diciptakan alam semesta ini,
sebagai apa perannya dalam kehidupan, apa status dirinya terhadap makro sistim
ini. Ia akan mengikuti rayuan orang-orang yang senantiasa mengajak untuk
mengacuhkan Tuhan. Kecintaan yang bisa menjadi penghalang itu dapat berupa
ambisi untuk memiliki materi-kekayaan, kedudukan-kehormatan, dan kepuasan
sexual. Itulah bibit-bibit terjatuh dipingir jalan yang dimakan oleh
burung-burung lapar.
Ada pula orang yang sudah mulai memahami cara beriman, dan siap untuk menerima
dalam hatinya. Tetapi usaha itu disandarkan kepada kecintaan selain Tuhan,
berlaku pamrih terhadap apa yang diperbuat. Berdoa untuk mendapat solusi dari
masalah pribadi, beramal untuk mendapatkan materi yang berlipat-lipat, ke
tempat ibadah agar dihitung sebagai orang alim, maka ia tidak memiliki akar
bagi masuknya iman dalam dirinya. Ketika mengalami sebuah penindasan,
penganiayaan, atau ancaman terhadap apa yang ingin diimaninya, dengan mudah
niat yang besar itu menjadi luntur karenanya. Lebih baik menjilat ludah sendiri
daripada tetap teguh pada tekad untuk beriman. Itulah bibit yang tercecer di
bebatuan yang diantaranya terdapat tanah yang sedikit.
Berikutnya ada orang yang mulai memasuki keimanan kepada Tuhan, mulai melihat
titik cerah dalam usahanya untuk menjadikan Tuhan sebagai sandaran utama.
Tetapi ia tidak mensucikan konsep berfikir dari ajaran-ajaran lama
materialistik yang meracuni kesadarannya. Sehingga dikala kekuatiran akan
jaminan hidup di dunia menghantuinya, dikala kegentingan taraf hidup dirasa
menghimpitnya, maka iman yang baru sedikit dalam hatinya itu tidak dapat
berkembang, dan ia akan hilang dari kesadarannya. Ironisnya orang itu bisa
menjadi serigala berbulu domba, menipu orang yang melihatnya dengan kulit
agamis. Ini disebabkan ia membiarkan ajaran lama yang membimbing untuk
menggapai materi sebagai kesempurnaan hidup bercokol dalam hatinya. Itu makna
dari bibit yang tumbuh dan dihimpit oleh semak belukar.
Sedangkan orang-orang yang membuka kesadarannya, dan menyambut pemahaman akan
Firman Tuhan dengan besar hati, bahwa hanya Tuhan yang layak untuk diabdi,
hanya Tuhan yang berhak untuk mengatur segala sesuatu termasuk kehidupan
manusia, bahwa Tuhan yang menentukan hidup matinya manusia, maka Tuhan akan
masuk ke dalam kesadarannya dengan menjelma menjadi sebuah kekuatan yang
multidimensi. Ia tidak akan mengantuk ketika menggalinya, ia tidak akan lapar
untuk menekuninya, ia akan terhindar dari ancaman penyakit yang sedang merebak,
ia akan mendapat perlindungan dari Tuhan sebagai penjamin kehidupan bagi segala
makhluk. Ia akan seperti bibit yang baik jatuh ke tanah yang baik. Maka ia akan
menghasilkan buah yang baik.
Sebagai majikan, Tuhan pasti akan melindungi manusia yang ingin mengimani
Firman Nya. Segala apa yang diperoleh orang itu akan dianggap sebagai sarana,
bukan tujuan. Ia tidak akan bangga ketika mendapat materi, karena prinsip
kepemilikan bukan lah ajaran Tuhan, tapi itu semua adalah amanah yang Tuhan
titipkan kepada manusia.
Ketika prinsip amanah yang menjadi acuan dalam mengarungi hidup ini, manusia
tidak akan sombong terhadap lainnya. Manusia akan perduli terhadap saudaranya
yang kelaparan, tidak bisa menutup mata melihat saudara-saudara perempuannya
yang hamil tanpa dukungan gizi yang cukup, tidak tinggal diam melihat anak
saudaranya yang tidak bersekolah, tidak bisa istirahat ketika mengetahui
saudaranya terlilit hutang-piutang yang membebaninya. Ia akan bersegera untuk
mengeluarkan apa yang dimiliki bagi saudaranya yang membutuhkan, tanpa pamrih
apapun.
Iman bisa datang dan bisa pergi. Semua tergantung dari sikap manusia itu
sendiri. Iman kepada Nya bukan berarti hanya percaya, tetapi ia adalah sebuah
kepahaman akan kesejatian perintah Nya dan berkembang menjadi komitmen untuk
mewujudkan hal-hal yang diramalkan dalam kehidupan manusia. Bukan sekedar
ritus, bukan sebatas menyebut, tetapi ia harus menjadi sebuah paket yang tidak
dapat dipisahkan dengan keberadaan manusia sebagai pekerja Nya, tanpa
diiming-imingi oleh hal lain. Dan syarat untuk beriman itu adalah tidak
menjadikan hal-hal lain sebagai sesuatu yang menyaingi Tuhan. Termasuk tidak
bercita-cita untuk menggunakan aturan lain selain buatan Nya.
Bibit yang jatuh di jalan, di bebatuan, di semak belukar, atau di tanah yang
baik? Itu adalah pilihan. Setiap pilihan akan membuahkan konsekuensi besar
dalam hidup. Dan kita pasti akan diminta pertanggung jawaban terhadap pilihan
yang diambil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar