Bencana demi bencana yang terjadi di bumi pertiwi ini sesungguhnya
merupakan tanda peringatan keras Allah kepada bangsa ini yang secara khusus
tertuju kepada elite pimpinan nasional baik ulama maupun umaro’nya. Untuk tidak
mencari kambing hitam dari segala peristiwa yang terjadi, maka kita semua
memahami akan dalil di dalam manajemen perusahaan(leadership) bahwa
: “Tidak ada bawahan yang salah. Yang ada adalah pimpinan yang salah.” Begitu
pula dalam konteks negara sebagai sebuah perusahaan : “Tidak ada rakyat yang
salah, melainkan pemimpin-nyalah yang salah.”
Untuk memahami tulisan ini dibutuhkan perenungan yang mendalam.
Diawali dengan pemahaman bahwa di dalam hakekat kehidupan ini “tidak ada yang
namanya ‘Kebetulan’.” ‘Kebetulan’ yang terjadi hakekatnya adalah ketetapan yang
telah ditetapkan-Nya. Manusia dengan akalnya yang terbatas hanya bisa saling
berkomentar dan beranalisis dengan berbagai macam teori ilmu pengetahuan
tentang suatu kejadian setelah kejadian itu terjadi. Sebuah bukti bahwa akal
(penalaran) dan ilmu pengetahuan adalah nisbi. Menghadapi bencana yang terjadi,
manusia tidak akan mampu mencegahnya melainkan hanya mampu menangani
akibat-akibatnya. Sangatlah tidak arif dan bijak apabila setiap bencana yang
terjadi ditanggapi dengan statement : “Itu bukan kutukan dari
Allah dan bisa dijelaskan secara ilmiah, serta janganlah dihubung-hubungkan
dengan takhayul.” Pernyataan ini menggambarkan arogansi penalaran (berpikir ala
barat) yang semakin menjauhkan diri dari Sang Khalik, dan akan selalu menjadi
bumerang bagi kehidupan bangsa ini.
Dengan merenung dan berpikir kita akan menjadi mawas diri. Terlalu
mengandalkan akal bisa menjadikan kita sesat dan ingkar. Lahir dan batin harus
menyatu. Mari kita renungkan bersama ayat-ayat berikut ini :
“Katakanlah : “Kabarkanlah kepadaku jika Allah mencabut
pendengaran dan penglihatan kamu serta menutup hati kamu? Siapakah Tuhan selain
Allah yang mengembalikannya kepadamu?” Perhatikan bagaimana Kami memperlihatkan
tanda-tanda kemudian mereka tetap berpaling.” (QS 6 : 46)
“Aku akan memalingkan daripada ayat-ayat-Ku orang-orang yang
takabur di muka bumi tanpa alasan yang benar. Dan jika mereka melihat tiap-tiap
ayat, mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang
membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka
melihat jalan kesesatan, mereka menempuhnya. Yang demikian itu adalah karena
mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka lalai daripadanya.” (QS 7 : 146)
Apakah selama ini kita pernah berpikir dan merenung mencari jawab
atas bencana yang terjadi ? Mengapa tsunami yang banyak memakan korban jiwa
(setara dengan korban bom atom Hiroshima – Nagasaki) harus terjadi di bumi Aceh
(serambi Mekah)? Mengapa sampai saat ini kita masih dipusingkan dengan Flu
Burung yang mewabah dan belum diketemukan obatnya ? Mengapa di saat yang lain
terjadi KKN (kasus kesurupan nasional) di berbagai kota yang terjadi secara
spontan dan beruntun di tempat-tempat pendidikan dan pabrik rokok ? Mengapa
Merapi harus memuntahkan laharnya dan sempat membingungkan kita semua ? Mengapa
gempa yang meluluhlantakkan pemukiman dan banyak memakan korban jiwa terjadi di
Yogyakarta ? Mengapa terjadi bencana lumpur panas mengandung gas di Sidoarjo
yang sampai saat ini belum bisa teratasi ? Dan deretan pertanyaan
mengapa-mengapa yang lain. Rasa-rasanya satu bencana belum tuntas teratasi,
muncul bencana-bencana yang lain. Apakah dengan rangkaian kejadian-kejadian itu
masih tetap mengeraskan hati kita untuk tetap berdiri di atas arogansi akal
ilmiah kita ? Terlebih lagi di saat kondisi sosial ekonomi negara ini sudah
semakin terpuruk dan memburuk.
Dilihat dari perspektif spiritual, hakekat segala apa yang terjadi
merupakan refleksi atau pantulan cermin dari bangsa ini yang diwakili oleh
pemimpin bangsanya. Secara singkat dapatlah diurai hakekat dari bencana-bencana
besar yang terjadi di bumi Nusantara ini. Tsunami Aceh yang telah memakan korban
jiwa terbesar di bumi dimana telah diimplementasikan syariat Islam ini
merupakan awal peringatan yang sangat keras, yang menyiratkan telah terjadi
“Pelanggaran Aqidah” pada bangsa ini. Fenomena kerasukan jin/setan merupakan
gambaran apa yang terjadi pada bangsa ini. Setan-setan korupsi, kekuasaan,
keserakahan, kriminal, dan lainnya telah merasuk pada sebagian besar anak
negeri. Korban yang rata-rata perempuan melambangkan bahwa Ibu Pertiwi sedang
marah, menjerit, menangis dan meronta menyaksikan apa yang terjadi pada bangsa
ini. Ibu-ibu rumah tangga se-antero nusantara pun merasakan hal yang sama
menghadapi tekanan sosial dan ekonomi saat ini. Tempat pendidikan melambangkan
sindiran kepada kaum terdidik yang selalu mendewakan akal. Pabrik rokok ibarat kerajaan
yang mengolah hasil bumi tembakau menjadi rokok sebagai komoditi terlaris
melambangkan kejayaan yang berdiri di atas penderitaan buruh atau rakyat kecil.
Rahmat Allah tidak dibagikan secara adil bagi kesejahteraan rakyat. Nampaknya,
kita memang kurang bersyukur atas limpahan rahmat yang telah diberikan-Nya.
Aura panas “wedhus gembel” tengah menyelimuti bangsa ini yang
ditunjukkan dengan episode-episode ketidakpuasan yang menyulut emosi rakyat
dalam berbagai konflik kepentingan. Potret ini dilambangkan dengan muntahnya
lahar panas gunung Merapi. Sementara Merapi masih terus mengancam, secara
sontak Yogyakarta sebagai simbol pusat budaya Kerajaan Mataram digoyang gempa
yang meluluhlantakkan ribuan pemukiman dan banyak memakan korban jiwa. Secara
hakekat peristiwa gempa Yogyakarta yang menghancurkan Bangsal Traju Emas (ruang
penyimpanan pusaka keraton) dan Taman Sari (pemandian dan tempat pertemuan Raja
dengan Kanjeng Ratu Kidul) menyiratkan memudarnya aura kerajaan sebagai simbol
pemerintahan negeri ini.
Ketika bangsa ini masih disibukkan dalam mengatasi korban gempa
Yogyakarta, kesibukan dan kepanikan baru muncul sebagai dampak meluapnya lumpur
panas bercampur gas di Sidoarjo Jatim yang hingga kini belum dapat teratasi.
Lepas dari kesalahan apa dan siapa penyebab kebocoran dalam eksplorasi sumber
gas tersebut, bencana lumpur panas mengandung gas ini melambangkan kekotoran
moral elite pemimpin bangsa ini yang membawa aura panas dan bau menyengat.
Situasi ini berakibat rakyat kecil selalu menjadi korban.
Hubungan antara manusia dengan alam senantiasa berubah, seiring
perkembangan teknologi, informasi, dan industrialisasi. Suku-suku di pedalaman,
bahkan sampai saat ini masih melaksanakan ritual-ritual tertentu untuk
bersahabat dengan alam. Mereka, mengambil kayu atau hasil bumi secukupnya. Alam
tidak dieksploitasi sekehendak hatinya. Walaupun suku-suku primitif tersebut
belum tersentuh ajaran agama formal, mereka telah memiliki kesadaran religius
yang baik. Mereka mampu mengembangkan nalurinya bahwa merusak pohon atau
membunuh binatang sembarangan akan mendatangkan bencana.
Kita sebagai bangsa kenyataannya telah kehilangan kearifan pada
alam dan lingkungan. Dengan makin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi,
perlu kita akui secara jujur bahwa atas nama “penalaran dan logika”, secara
sadar atau tidak kita telah mengikis budaya warisan leluhur dalam mengarifi
alam dan lingkungan. Teknologi ujung-ujungnya digunakan untuk menaklukkan alam.
Manusia tidak lagi bergantung pada alam, namun malahan menguasai alam dengan
dilandasi keserakahan.
Secara jujur pula perlu diakui, bangsa ini khususnya elite
pimpinan nasional telah terjebak di alam materialisme yang penuh tipu daya dan
menyesatkan. Alih-alih menyejahterakan rakyat. Yang terjadi hutang luar
negeri-pun makin membumbung tinggi. Dari total hutang Indonesia sekitar Rp
1.400 triliun, APBN 2006 yang besarnya Rp 650 triliun, 39% nya hanya untuk
membayar hutang dan bunganya. Sungguh merana anak cucu negeri ini dengan
bebannya.
Nampaknya sebagian besar bangsa ini telah kehilangan adab. Adab
kepada Allah Azza wa Jalla, juga adab kepada sesama manusia serta alam dan
seluruh isinya. Pada masa ini Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa yang
adiluhung sekedar menjadi slogan semata. Para elite pemimpin negeri ini hanya sibuk
berkutat pada ranah politik dan upaya perbaikan ekonomi. Namun sangat ironis,
pada kenyataannya kebijakan pemerintah seringkali menyengsarakan rakyatnya.
Ironis pula, menurut Transperancy International pada tahun 2005 peringkat
korupsi Indonesia menempati rangking 137 (25 besar) dari 159 negara di dunia.
Betapa memprihatinkannya melihat potret situasi carut marut yang
terjadi pada bangsa ini. Memang sudah sejak sekian lama bangsa ini
sakit. Ibu Pertiwi tidak sekedar menangis dan bersedih, akan tetapi mulai
menunjukkan angkaranya. Geram menyaksikan banyak penyimpangan akhlak yang
dilakukan oleh anak negeri ini.Marah melihat polah tingkah anak bangsa yang
makin jauh dari jiwa Pancasila sebagai Pandangan Hidup yang telah ditegakkan di
bumi nusantara ini. Para elite pimpinan bangsa malah terkesan tidak memberikan
teladan yang baik di mata rakyat. Sejak jaman orba hingga saat ini yang
dipertunjukkan hanyalah bagaimana memenuhi kepentingan diri dan kelompoknya.
Jiwa nasionalisme yang seharusnya tertanam dalam dada seluruh rakyatnya seakan
luruh hilang tak berbekas.
Pada akhirnya kita semua tidak tersadar bahwa bumi NKRI dimana
kita berpijak telah berubah arti menjadi “Negara Kapling Republik Indonesia”
(?). Betapa tidak, aset-aset strategis dan berharga bumi ini telah jatuh ke
tangan asing. Kita lihat di bumi Papua ada Freeport di sana. Caltex di Dumai.
Di Sulawesi ada Newmont, dan masih banyak lagi. Bahkan akhirnya, Blok Cepu-pun
jatuh ke tangan Exxon. Memprihatinkan memang. Belum lagi terhitung aktivitas
bisnis illegal yang mengeruk aset bumi ini untuk kepentingan asing, baik
perikanan, pertambangan, maupun kehutanan.
Sebagian besar bangsa ini makin jauh dari Sang Khalik. Agama hanya
dijadikan stempel. Ibadah dilakukan sekedar formalitas belaka. Penghayatan agama
belum diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Seakan masing-masing
terpisah berada pada sisi yang berbeda. Bahkan sebagian besar dari kita lupa,
padahal sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” telah ditempatkan pada sila pertama,
menjadi yang utama. Ini merupakan wujud kesadaran spiritual tertinggi the
founding father’s bangsa ini dalam menempatkan Tuhan sebagai sentral
Pandangan Hidup pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sudah saatnya bagi kita semua anak bangsa melakukan introspeksi
dan bangkit menuju kesadaran bahwa kita sebagai makhluk ciptaan-Nya wajib
memiliki rasa rumangsa lan pangrasa(menyadari) bahwa keberadaan di
dunia ini sebagai hamba ciptaan Ilahi, yang mengemban tugas untuk selalu
mengabdi hanya kepada-Nya. Dengan pengabdian yang hanya kepada-Nya itu,
manusia wajib melaksanakan tugas amanah yang diemban, yaitu menjadi khalifah
pembangun peradaban serta tatanan kehidupan di alam semesta ini, agar kehidupan
umat manusia, makhluk hidup serta alam sekitarnya dapat tenteram, sejahtera, damai,
aman sentosa, sehingga dapat menjadi wahana mencapai kebahagiaan abadi di alam
akhirat kelak (Memayu hayu harjaning Bawana, Memayu hayu harjaning
Jagad Traya, Nggayuh kasampurnaning hurip hing Alam Langgeng). Dengan
sikap ketakwaan ini, semua manusia akan merasa sama, yaitu berorientasi
serta merujukkan semua gerak langkah, serta sepak terjangnya, demi mencapai
ridlo Ilahi. Sikap takwa mendasari pembangunan watak, perilaku, serta akhlak
manusia. Sedangkan akhlak manusia akan menentukan kualitas hidup dan kehidupan.
Bung Karno pernah menulis, mengingatkan kita pada sebuah seloka
dari Ramayana karya pujangga Valmiki, mengenai cinta dan bakti kepada Janani
Janmabhumi – yaitu agar setiap orang mencintai Tanah Airnya seperti ia
mencintai ibu kandungnya sendiri. Dan cinta Bung Karno terhadap kosmos itu
diawali dari Bumi tempat kakinya berpijak, bumi pertiwi Indonesia yang
disapanya dengan takjub dan hormat sebagai “Ibu.” Pancaran cinta dan kasih
sayang yang murni akan dapat membuka pintu rahmat-Nya. Mencintai sesama
berarti mencintai Tuhan, bahkan mencintai alam berarti mencintai Sang Pencipta.
Insya Allah dengan limpahan kasih sayang anak negeri ini akan
membuat Ibu Pertiwi tersenyum sumringah. “Ya Allah, jauhkan kami anak negeri
ini dari seburuk-buruk makhluk-Mu sebagaimana firman-Mu :
“Sesungguhnya telah Kami sediakan untuk penghuni
neraka dari golongan jin dan manusia; mereka mempunyai hati, tetapi tidak
menggunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), mereka mempunyai mata, tetapi
tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), mereka
mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah).
Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka adalah
orang-orang yang lalai” (Qs 7:179)
Dengan ijin dan ridho Allah SWT, menjadi tugas kita di masa depan
mewujudkan Indonesia Raya sebagai “Negara Kaya Rahmat Ilahi” (NKRI) demi
kesejahteraan seluruh rakyatnya. Insya Allah, dengan pendekatan spiritual murni
segala kejadian yang terjadi di bumi Nusantara ini dapat diketahui jawabannya
dan solusinya.“Sakbeja-bejane kang lali, luwih beja kang eling lawan
waspada”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar