08 April, 2013

ANAK YANG BERNAF-SU


Secara individu, manusia diberikan selaksa potensi naturalistik oleh Sang Pencipta untuk hidup di dunia. Diberikan kecerdasan, bakat, tubuh yang baik, vitalitas, dan berbagai kekayaan yang dapat membuat manusia bisa menjadi pribadi mapan di segala bidang. Manusia juga diberikan potensi perilaku yang berdasarkan insting (instinctive behaviour), yang menyebabkan bisa menyukai terhadap lawan jenis, melindungi diri dan keluarganya, dan mencari Penciptanya. 

Dalam diri manusia juga diberikan sebuah potensi yang sulit untuk dikontrol, meledak-ledak, mudah meletup, dan sangat labil. Ia bernama emosi, sebuah daya yang berkaitan dengan rasa untuk memiliki, mencintai, sedih, senang, marah, bahagia. Namun dengan emosi yang tidak terkontrol, manusia dapat berubah fungsi menjadi perusak, pemarah, bisa kalap ketika keakuan nya terganggu tanpa melihat kepada siapa dan untuk apa ia berbuat demikian. Bahkan dengan emosi ini dapat menyebabkan manusia lebih sayang pada kebendaannya dibanding nyawanya.

Ketika mobil si Badu menabrak mobil lain hingga menyebabkan kerusakan, pertama kali yang dilakukan adalah turun dari mobil dan melihat seberapa parah kerusakan yang diakibatkan tabrakan itu. Padahal posisi berjalannya sudah pincang karena kakinya terbentur tiang stir yang disebabkan tabrakan tadi. Tapi kepincangan kakinya itu seolah tidak dirasakannya. Yang pertama kali dilakukan adalah melihat mobilnya dan menghardik lawan tabrakannya. Itu adalah salah satu bukti bahwa si Badu lebih khawatir akan kerusakan mobilnya, dibanding dengan kakinya yang sudah pincang disebabkan tabrakan itu sendiri.

Dalam beberapa kasus bahkan terjadi adu jotos yang bisa menyebabkan luka baru diluar yang disebabkan tabrakan semula. Padahal kalau dipikir2 lebih dalam, sebenarnya yang tabrakan itu mobilnya, yang penyok adalah bemper mobilnya. Mengapa yang luka-luka malah orang2 yang menyetirnya? Bukankah kerugian bendawi bisa dicari lagi, tapi kalau nyawa kita bagaimana menggantinya? Jika terjadi kerugian karena tabrakan, negosiasikan saja penggantian kerugian kepada lawan tabrakannya. Jika tidak tercapai kesepakatan, barulah dibawa ke pihak yang berwenang untuk menengahi perselisihan.

Motif dari sikap si badu ini sedikit banyak mewarnai perilaku masyarakat kita. Mudah di iming2-i oleh materi yang menjanjikan, sehingga mudah ditunggangi oleh oknum2 yang tidak bertanggungjawab untuk mencapai ambisi pribadi. Mau dijadikan alat untuk mencapai kekuasaan walau hanya dibayar oleh beberapa puluh ribu rupiah saja. Berani berbuat anarkis kepada tokoh2 yang mewakilinya hanya karena ketidaksepakatan dalam beberapa hal. Perbedaan itu hal yang biasa, tetapi bukan dengan cara yang anarkis untuk penyelesaiannya, karena anarkis sesungguhnya menempel pada orang-orang yang tidak memiliki konsep yang kuat sebagai acuan dalam hidup. Mengedepankan ego sebagai nadi utama yang menggerakkan kelompok2 yang anarkis tadi. Jika ego yang didahulukan, maka potensi merusak kembali berbicara sebagai raja yang mengangkangi perilaku menjadi arus yang tak terkendali. Sekelompok orang menyerang kelompok lain karena tersinggung karena perbedaan. Tetapi bukankah dalam agama tidak dibenarkan menyerang kelompok lain tanpa adanya legalitas dari pihak yang berkuasa?

Apalagi bangsa kita adalah bangsa yang memiliki prinsip dasar yang Berketuhanan. Saya yakin bahwa sikap anarkis tidak pernah diajarkan dalam agama apapun. Tidak ada satu agamapun yang menganjurkan untuk menganiaya manusia lain. Jika dalam sejarah agama tertentu pernah melakukan peperangan, itu karena agama tersebut sudah memiliki kekuasaan de facto terhadap wilayah yang ditempati dan sedang membela keutuhan persatuan dikarenakan adanya ancaman dari pihak luar. Tetapi tidak pernah sebuah agama menganjurkan untuk melakukan pengeroyokan terhadap umat lain sementara hukum yang menaunginya bukan berdasarkan agama. Itu sama halnya seperti mengklaim tanaman di dalam sebuah kebun sebagai tanaman miliknya, sementara kebun itu ternyata adalah milik orang lain.

Mengapa kita harus merasa paling benar sehingga menzolimi pihak lain yang berbeda? Mengapa tinju yang berbicara dikala ada pihak yang menyingung perasaan? Bukankah itu semua bisa diselesaikan tanpa menghasilkan sebuah kekacauan? Keakuan itu sering disebut dengan NAFSU. Kata ini berasal dari bahasa arab yakni NAFS yang SU’. Artinya Keakuan yang mengarahkan kepada Kejahatan. Disebut kejahatan karena perilakunya tidak sesuai dengan blue print sang Pencipta dan akan membawa kerugian baik bagi si pelaku maupun manusia lainnya. Segala akal sehat dan kemanusiawian akan runtuh jika keakuan yang didahulukan. Rambu-rambu kesusilaan ditabrak hanya untuk meluaskan sex adventure nya. Hingga segala apa yang dilakukan akan menyebabkan kesengsaraan bagi orang lain. Ia berkata dengan tujuan agar mendapatkan pengakuan dan kekuasaan dari orang lain. Beramal hanya agar mendapat reward baik dari oranglain, atasannya maupun dari sang Pencipta. Menjadi pejabat hanya untuk mencuri uang rakyat yang justru telah menggajinya. Kejahatan ini yang akan menghempaskan manusia kepada kehidupan nista. Padahal manusia diciptakan agar dapat mencerminkan sifat2 Tuhannya, menjadi kepanjangan tangan Nya dalam mengasihi makhluk lain.

Sifat mengasihi dalam diri manusia harus selalu diasah. Itu bisa dimulai dari rumah kita sendiri, dalam keluarga sendiri. Walaupun pagi harinya kita berselisih dengan istri/suami, tapi cobalah mencium pipinya disaat ia tidur. Tayangkan kembali bagaimana dengan setia ia membantu kita dalam menjalani dinamika hidup. Putar kembali rekaman bagaimana sulitnya kita mendapatkan dirinya ketika masih lajang.
Cobalah membelai dengan lembut anak2 kita ketika mereka sedang tidur di waktu hening malam. Niscaya itu akan melembutkan perasaan kita yang seharian terasa panas oleh hiruk-pikuknya kesibukan dalam satu hari. Itu akan menciptakan atmosfir yang semakin peka terhadap apa2 yang sesungguhnya berarti disekitar kita. Sebab sikap dalam keluarga sesungguhnya akan berdampak kepada orang-orang disekitar yang berinterkasi dengan kita. Menjadi pribadi pemaaf pada siapapun dalam berbagai kasus. Tidak mudah tergiur oleh tawaran2 yang menjanjikan kemapanan materialistik. Lebih sensitif dalam menyikapi ajakan2 yang memperalat kepada kehidupan yang premanis, walau ajakan itu timbul dari kekuatan2 sosial-politik tertentu. Maka sikap itu akan menghasilkan pribadi yang tidak mudah untuk menganiaya manusia lainnya.

Menganiaya seorang manusia, berarti ia berpotensi untuk menganiaya seluruh umat manusia. Dan sebaliknya, jika mengasihi satu orang manusia, maka ia akan mengasihi seluruh umat manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar