Ada tiga orang mahasiswa diterima di Universitas
Indonesia masing-masing pada Fakultas Teknik jurusan Metalurgi, Fakultas
Ekonomi, dan Politeknik UI. Mereka berasal dari kampung yang miskin akan
informasi tetapi otak mereka cukup encer untuk melewati test masuk Perguruan
Tinggi Negeri. Kebetulan mereka berada di satu lokasi tempat kost.
Sebagai anak dari kampung, mereka merasa Jakarta terlalu luas jika ingin
menyambanginya dengan berjalan kaki. Mereka sepakat menyewa sebuah motor untuk
dipakai bergantian, dan harga sewa motor perhari Rp. 30.000,- Karena niatnya
motor itu dipakai bersama secara bergantian, mereka membagi rata harga sewa
itu, masing-masing menanggung Rp. 10.000.
Kebetulan mereka kenal seorang tukang ojek yang bernama pak Udin dan meminta
bantuannya untuk mencarikan motor sewaan dengan menyerahkan uang penyewaan Rp.
30.000,- sebagai biaya sewa motor. Pak Udinpun melayani mereka dengan
mendatangi juragan ojek yang memang usahanya adalah penyewaan motor, juragan
itu bernama pak Kumis.
Sesampai di rumah pak Kumis, pak Udin menyapa: “Assalamualaikum pak Kumis...
waaahh, motor sewaannya semakin banyak nih, banyak motor baru lagi ya?...”
“Alhamdulillah, pak Udin. Tumben pagi2 datang kesini, mau setoran ya?” Kata pak
Kumis. “Oooh bukan. Begini pak Kumis, saya sedang membantu tiga anak mahasiswa
yang ingin menyewa motor, kebetulan mereka punya dana untuk sewa perharinya Rp.
30.000. Kan ini sama dengan tarif yang pak Kumis kenakan untuk penyewaan satu
motor. Naaah saya kan sudah bawa pelanggan ni, kira-kira saya bisa dapat diskon
pak? Masalah komisi, biar saya yang minta langsung ke mereka aja, pak Kumis
tidak usah repot deh...” seraya pak Udin.
Pak Kumis pun menjawab senang “Oh diskon, bisa-bisaaa.. saya akan kasih pak
Udin diskon Rp. 5.000, gimana?”
“Okeh-okeh... terimakasih pak Kumis...” sambut pak Udin dengan senang.
Maka dibayarlah sewa motor tersebut di muka Rp. 25.000,- setelah dipotong
diskon dari pak Kumis.
Tak berapa lama pak Udin pun datang dengan membawa motor sewaan kepada ke tiga
mahasiswa tadi. Dengan semangat para mahasiswa itu menyambut motor sewaan itu
dengan gembira.
Pak Udin: “Naah ini motor yang saya sewa dari pak Kumis untuk kalian.
Sebelumnya harga sewanya Rp. 30.000, tapi karena saya dekat dengan pak Kumis,
dan saya mau berkata jujur dengan kalian bahwa saya mendapat diskon dari pak
Kumis Rp. 5.000,- Untuk itu saya serahkan uang kelebihan ini, terserah adik2
mau kasih saya berapa, saya ikhlas”.
Para mahasiswa: “Oooh iya iya pak Udin, kami justru berterimakasih kepada pak
Udin yang telah membantu untuk mencarikan motor dengan cepat, apalagi bapak
dengan jujur menerangkan transaksi itu kepada kami. Agar diskon itu dapat
dibagi rata dan kami pun tidak melupakan jasa pak Udin, biar kami ambil Rp.
3.000 yang akan kami bagi rata menjadi Rp. 1.000 per orang. Sedangkan sisa Rp.
2.000 nya untuk pak Udin. Semoga Tuhan memberkati hidup pak Udin, amieeeen”
sambut mahasiswa serentak.
Sepulangnya pak Udin, ke tiga anak2 mahasiswa yang berotak encer ini
menghitung2 biaya yang dikeluarkan sambil berbincang memuji2 kebaikan dan
kejujuran pak Udin. “Wah tak disangka ya, orang Jakarta masih ada yang jujur
begitu, saya tadinya malah mau ngasih tip lima ribu. Tapi mempertimbangkan
kantong kita juga, pak Udin dikasih dua ribu juga sudah senang, yo wes lah...”
Namun sekonyong-konyong salah seorang mahasiswa Fakultas ekonomi menyela
pembicaraan itu: “Tapi ndul... kalau aku hitung-hitung, masing-masing dari kita
kan keluar Rp. 10.000 untuk sewa motor senilai Rp. 30.000. Kemudian dapat
diskon dari pak Udin dan dibagi pada kita masing-masing terima Rp. 1.000. Maka
biaya per orang yang dikeluarkan adalah Rp. 9.000. Jika biaya Rp. 9.000 itu
kita kali 3, maka biaya yang kita keluarkan untuk menyewa motor ini adalah Rp.
27.000. Sedangkan pak Udin tadi Cuma kita kasih komisi Rp. 2.000,- Kalau
dijumlahkan Rp. 27.000 + Rp. 2.000 = Rp. 29.000. Sedangkan kita tadi menitipkan
uang ke pak Udin Rp. 30.000. Lho.... kalau begitu selisih Rp. 1.000 KEMANA????
Kontan ke tiga mahasiswa yang konon berotak encer itu memutar otaknya dengan
keras. Satu jam belum ketemu kemana selisihnya. Dua jam, lima jam, hingga tiga
hari tiga malam para mahasiwa itu berkutat untuk mencari selisih itu, tidak
juga ketemu. Disamping ini merupakan teka-teki, merekapun sebenarnya sadar
bahwa ada yang salah dalam perhitungan transaksi ini, padahal tidak ada pihak
yang dirugikan. Sebagai insan akdemisi, mereka tertantang untuk mendapatkan
jawabannya.
Anda mau tahu kenapa?
Hal penting yang harus dijadikan acuan adalah; bahwa semenjak permulaan
penyewaan motor ini, ke tiga mahasiswa tadi sepakat untuk menanggung
bersama-sama secara adil untuk mendapatkan motor dengan biaya sewa yang lebih
tinggi dari kemampuannya. Untuk itu mereka bersatu menghimpun kekuatan
financial untuk mencapai biaya sewa tersebut. Kemudian mereka menyuruh pak
Udin, pak Udin mendatangi pak Kumis, pak Kumis bersedia memberikan diskon pada
penyewaan motornya, dan diskon itupun dilaporkan oleh pak Udin kepada pemilik
dana yaitu para mahasiswa tadi. Sampai disini belum ada hal yang terlihat aneh
jika ingin diruntun ke belakang tentang transaksi yang terjadi.
Hal aneh baru terjadi dikala uang diskon sebesar Rp. 3.000 diklaim dan
dibagikan kepada ke tiga mahasiswa dan Rp. 2.000 diberikan kepada pak Udin
sebagai balas jasa. Jika diskon Rp. 5.000 tadi tetap tidak dibagi baik kepada
ke tiga mahasiswa maupun ke pak Udin, dan pelacakan transaksi dilakukan bahwa
biaya penyewaan motor Rp. 30.000 itu telah berkurang menjadi Rp. 25.000, maka
tidak akan terjadi perhitungan yang aneh. Ini disebabkan masing-masing
mahasiswa mengklaim dan membagikan diskon untuk memperhitungkan biaya yang
dikeluarkan secara individu, sementara penyewaan motor masih dihitung secara
kolektif dengan angka Rp. 30.000. Jadi ada gap angka yang dijadikan patokan
antara biaya kolektif (Rp. 30.000) dikurangi diskon Rp. 5000, dengan
perhitungan masing-masing individu (Rp. 9.000) dan digabungkan menjadi Rp.
27.000. Hal ini dikarenakan adanya pencampuran antara diskon kolektf (Rp. 5000)
dengan diskon yang sudah dibagikan (Rp. 1000) pada masing2 mahasiswa. Artinya
ada penetrasi individu dalam menghitung hasil dari kekuatan yang dicapai secara
kolektif, sehingga asumsi yang dipakai akan menjadi kacau dan menciptakan
ketimpangan2 baru.
Kisah ini memberikan pelajaran bagi orang yang mau berfikir; bahwa jika
kepentingan individu diutamakan dalam sebuah tim, maka ia akan cenderung
menyesatkan. Apalagi ketika mementingkan jatah yang akan diterima bagi
masing-masing individu, ia akan lupa misi awalnya untuk mencapai kekuatan
secara bersama, bukan sendiri-sendiri. Begitupula dengan cara hidup
bergolong-golongan yang merupakan jenjang yang lebih tinggi dari kehidupan
individualisme yang cenderung mencirikan keserakahan. Jika cara hidup
bergolongan yang dianggap paling ideal, pasti kebenaran yang ada hanya akan
bernilai nisbi-relatif. Benar kata satu golongan, belum tentu benar bagi yang
lainnya. Tepat menurut sebuah golongan, bisa melenceng menurut golongan lain.
Perbedaan ini timbul karena masing-masing golongan memiliki program tersendiri
untuk mencapai tujuannya, untuk membesarkan golongannya. Hal tunggal yang
dianggap dapat membesarkan golongannya adalah kekuasaan. Karena kekuasaan yang
dituju, maka materialistik akan menjadi jembatan sekaligus tujuan dengan
pencapaian kekuasaan itu. Dan jika materi sudah dianggap sebagai tujuan hidup,
maka golongan-golongan itu tidak akan memiliki idealisme, tidak punya program
yang konsisten, tidak punya visi dan misi yang kokoh dan tidak dapat menjawab
permasalahan orang-orang yang diwakilinya. Semua tergantung arus mana yang kuat
membawanya.
Jika arus ke kanan yang kuat menariknya, maka perahu golongannya akan terseret
ke kanan. Jika arus berbalik ke belakang, maka perahunya akan segera bermanuver
ke belakang. Walaupun penumpang di dalamnya teguncang dan kacau karenanya, yang
penting perahunya dapat mengikuti arus yang paling kuat dan tetap berlayar.
Walaupun harus siap menerima resiko kehancuran perahunya, walaupun harus
kehilangan buritannya sebagai motor pendorong utama.
Perahu-perahu kecil itu tidak mengetahui, bahwa sebentar lagi akan ada
gelombang Tsunami yang akan memporakporandakan apa saja yang tidak memiliki
dasar yang kuat. Akan menenggelamkan segala sesuatu yang tidak memiliki
pegangan yang kokoh. Tinggal nanti para penumpangnya akan menyesali nasib,
mengapa harus naik perahu-perahu yang mudah hanyut oleh arus kecil saja.
Padahal mereka bisa turun dari perahu dan naik ke atas bukit, menuju ke tempat
tinggi yang sejuk dan aman dari segala gangguan untuk membangun sebuah Kapal
Induk yang Besar diatas bukit. Kapal Induk yang mampu melintasi berbagai
tantangan menuju arah kehidupan yang fitrah bagi kemanusiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar