Di sebuah kaki gunung nan sejuk-permai, terdapat
sebuah pesantren yang mendidik anak-anak calon pemimpin di masa depan.
Pesantren itu telah mencetak banyak pejabat dan tokoh masyarakat sebagai
tauladan di masyarakat.
Kepiawaian pesantren itu dalam menelurkan lulusan yang terpuji dikarenakan
dipimpin oleh seorang ustad yang disiplin dan terkenal galak dalam menerapkan
aturan yang berlaku di dalamnya. Ustad itu tak pernah pandang bulu dalam
menegakkan peraturan yang dibuatnya sendiri. Ia dikenal oleh anak-anak didik
sebagai ustad Berjenggot Killer. Mungkin karena jenggotnya yang tumbuh subur
memanjang hingga ke dada. Dan di setiap ia mengelus jenggotnya sebanyak tiga
kali, pasti ada anak yang dihukum karena melanggar aturan yang ditetapkannya.
Kala itu adalah bulan puasa. Sang ustad mengumpulkan anak-anak didiknya dalam
barisan di tengah lapang nan terik. Disitu sang ustad berbicara di atas altar,
ia mengumumkan bahwa akan diadakan pembuatan makanan yang dilaksanakan oleh
anak didik pesantren sendiri untuk berbuka puasa.
Sang ustad dengan angker mulai berpidato di depan murid-muridnya; “Wahai
murid-muridku, makanan yang akan kalian buat adalah untuk berbuka puasa kalian
semua. Makanan itu akan diletakkan diatas nampan dan baki di kantor pesantren
hingga saat berbuka puasa tiba. Tidak boleh ada yang menyentuh apalagi
mencurinya. Barang siapa yang mencoba mencuri makanan itu, maka saya sendiri
yang akan menghukum pencurinya dengan memukul tangan si pencuri dengan sebilah
rotan sebanyak 20 kali, ditambah akan menjemur si pencuri selama 5 jam di terik
matahari pada keesokan harinya. Siapapun dia, akan saya hukum dengan sangsi
ini, MENGERTI…!!!“
“Mengerti paaaaaaak….” Jawab muridnya serentak.
Maka bekerjalah anak-anak didik dengan giat di siang hari untuk membuat makanan
itu. Hingga sebelum maghrib makanan itu sudah siap dan diletakkan di dalam
kantor.
Ketika waktu buka puasa tiba, anak-anak dengan gembira berbuka dengan minum air
dan beberapa buah kurma di masjid. Setelah sembahyang maghrib, anak-anak tak
sabar ingin menikmati makanan yang mereka buat sendiri, tetapi mereka takut
akan sangsi yang di umumkan oleh ustad killer itu. Akhirnya mereka bergerombol
mengintip dari luar kaca jendela dengan niat ingin memancing selera makan walau
hanya dengan melihatnya saja.
Tiba-tiba sang ustad yang masih terpekur dengan zikirnya di dalam masjid
dikejutkan dengan suara gaduh nan riuh rendah dari anak-anak didik. Konsentrasi
ustad pun terganggu karenanya, tak biasanya anak-anak begitu gaduh seperti ini
pada saat habis berbuka. Ustad pun bangun dari duduknya dan menghampiri
anak-anak yang bergerombol itu.
“SANTRiiii…!!!! Ada apa ini ribut-ribut…?! Bukankah sehabis shalat kalian wajib
berdoa dahulu?! Jangan sampai rotan yang berbicara ya…!”
Kontan gerombolan anak-anak yang ribut tadi senyap tak bersuara mendengar
gelegar hardik sang ustad. Tetapi ada seorang santri memberanikan diri maju ke
depan untuk menjelaskan perihal kegaduhan itu kepada sang ustad.
“Begini pak ustad, kami baru saja menangkap seseorang yang mencuri makanan yang
dibuat untuk makan malam, ia tertangkap kami yang sedang mengintip makanan di
kantor.” Jelas anak santri itu.
Telinga ustad pun memerah mendengarnya, ia seolah tak percaya bahwa masih saja
ada orang yang melanggar aturannya dengan mencuri makanan itu. Kontan dengan
suara geram dan mata melotot, sang ustad bertanya: “HMGRRMH… Siapa pencuri itu,
cepat bawa kesini, biar bapak beri pelajaran dia”. Apalagi sang ustad sudah
mengelus jenggotnya yang panjang sebanyak 2 kali. Itu pertanda tinggal menunggu
elusan yang ke tiga kali untuk menghukum orang yang melanggar aturannya. Itu
membuat anak-anak menjadi merinding melihatnya.
“Ini orangnya yang mencuri makanan kita pak ustad.” Kata para santri sambil
memegang tangan si pencuri ke hadapan ustad yang sudah dikelilingi oleh para
santri lainnya.
Bagaikan petir di siang bolong, menyambar bokong hingga celana bolong… Pak
ustad kaget dan tak percaya ketika melihat siapa pencurinya. Karena ternyata si
pencuri adalah ibunya sendiri yang sudah tua renta dengan badan berbungkuk ria.
Ustadpun terduduk lemas melihatnya, karena ia dihadapkan pada kejadian yang
sulit untuk menyikapinya. Di satu sisi ia harus menegakkan disiplin yang telah
ditetapkannya selama betahun-tahun. Ia harus memberi pelajaran kepada anak-anak
didiknya yang sedari tadi menunggu tindakan dalam penerapan hukum yg dibuatnya
sendiri; bahwa mencuri itu adalah perbuatan berdosa, perbuatan yang dibenci
Tuhan, perbuatan yang harus mendapat hukuman. Ketegasan inilah yang dapat
membuahkan lulusan pesantren yang dipimpinnya menjadi manusia yang jujur,
berbakti, dan ikhlas. Lagi pula kini ia ditonton oleh sejumlah santrinya yang
pasti akan mencontoh sikapnya.
Di lain sisi sang pencuri adalah ibu kandungnya yang sudah tua renta. Apa
jadinya jika tangannya dipukul dengan sebilah rotan sebanyak 20 kali… Bisa-bisa
tangannya putus terkena sabetan sang ustad. Padahal dengan tangan itulah sang
ustad mendapat belaian kasih ibunya hingga kini. Dengan tangan renta itulah
sang ibu menyuapi sang ustad di waktu kecil. Belum lagi keesokan harinya ibu
yang renta itu harus dijemur 5 jam di tengah terik matahari.
“Inikah balasanku kepada ibu yang telah melahirkan dan merawatku, inikah bukti
kasih sayangku kepada orang yang telah berjuang ditepi kematian demi lahirnya
diriku, inikah hadiah yang ku ganjarkan kepada wanita yang selama ini kuhormati
dan kulindungi? Akhhh… tak kuat aku membayangkannya..” Begitu kilasan yang
berkelebat di dada sang ustad.
Jika sang ustad tidak menghukum si pencuri yang dilakoni oleh ibunya sendiri,
maka itu akan membuat kesan yang amat buruk terhadap citra sang ustad bersama
pesantrennya. Akan tersebar ke seluruh dunia bahwa sang ustad jenggot adalah
pembina pesantren yang nepotisme, tidak konsisten, pilih kasih. Akan tersiar
kabar berkumandang bahwa sang ustad adalah orang yang hanya bisa bicara tetapi
tidak mampu melaksanakan aturan yang telah dibuatnya sendiri. Dan sang ustad
akan lekat dengan cap sebagai ustad naif, karena hanya bisa berteori tentang
aturan agama tetapi tidak mampu menerapkannya. Itu akan merusak nama yang
selama ini dibangun dan dijaga oleh sang ustad. Lantas, apa kata dunia…???
Pertanyaannya adalah; Apa sikap yang akan diambil, jika anda menjadi sang
ustad???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar