08 April, 2013

Pertanyaan Menggelitik Untuk Anda

Di sebuah kaki gunung nan sejuk-permai, terdapat sebuah pesantren yang mendidik anak-anak calon pemimpin di masa depan. Pesantren itu telah mencetak banyak pejabat dan tokoh masyarakat sebagai tauladan di masyarakat.

Kepiawaian pesantren itu dalam menelurkan lulusan yang terpuji dikarenakan dipimpin oleh seorang ustad yang disiplin dan terkenal galak dalam menerapkan aturan yang berlaku di dalamnya. Ustad itu tak pernah pandang bulu dalam menegakkan peraturan yang dibuatnya sendiri. Ia dikenal oleh anak-anak didik sebagai ustad Berjenggot Killer. Mungkin karena jenggotnya yang tumbuh subur memanjang hingga ke dada. Dan di setiap ia mengelus jenggotnya sebanyak tiga kali, pasti ada anak yang dihukum karena melanggar aturan yang ditetapkannya.

Kala itu adalah bulan puasa. Sang ustad mengumpulkan anak-anak didiknya dalam barisan di tengah lapang nan terik. Disitu sang ustad berbicara di atas altar, ia mengumumkan bahwa akan diadakan pembuatan makanan yang dilaksanakan oleh anak didik pesantren sendiri untuk berbuka puasa.

Sang ustad dengan angker mulai berpidato di depan murid-muridnya; “Wahai murid-muridku, makanan yang akan kalian buat adalah untuk berbuka puasa kalian semua. Makanan itu akan diletakkan diatas nampan dan baki di kantor pesantren hingga saat berbuka puasa tiba. Tidak boleh ada yang menyentuh apalagi mencurinya. Barang siapa yang mencoba mencuri makanan itu, maka saya sendiri yang akan menghukum pencurinya dengan memukul tangan si pencuri dengan sebilah rotan sebanyak 20 kali, ditambah akan menjemur si pencuri selama 5 jam di terik matahari pada keesokan harinya. Siapapun dia, akan saya hukum dengan sangsi ini, MENGERTI…!!!“

“Mengerti paaaaaaak….” Jawab muridnya serentak.

Maka bekerjalah anak-anak didik dengan giat di siang hari untuk membuat makanan itu. Hingga sebelum maghrib makanan itu sudah siap dan diletakkan di dalam kantor.

Ketika waktu buka puasa tiba, anak-anak dengan gembira berbuka dengan minum air dan beberapa buah kurma di masjid. Setelah sembahyang maghrib, anak-anak tak sabar ingin menikmati makanan yang mereka buat sendiri, tetapi mereka takut akan sangsi yang di umumkan oleh ustad killer itu. Akhirnya mereka bergerombol mengintip dari luar kaca jendela dengan niat ingin memancing selera makan walau hanya dengan melihatnya saja.

Tiba-tiba sang ustad yang masih terpekur dengan zikirnya di dalam masjid dikejutkan dengan suara gaduh nan riuh rendah dari anak-anak didik. Konsentrasi ustad pun terganggu karenanya, tak biasanya anak-anak begitu gaduh seperti ini pada saat habis berbuka. Ustad pun bangun dari duduknya dan menghampiri anak-anak yang bergerombol itu.

“SANTRiiii…!!!! Ada apa ini ribut-ribut…?! Bukankah sehabis shalat kalian wajib berdoa dahulu?! Jangan sampai rotan yang berbicara ya…!”

Kontan gerombolan anak-anak yang ribut tadi senyap tak bersuara mendengar gelegar hardik sang ustad. Tetapi ada seorang santri memberanikan diri maju ke depan untuk menjelaskan perihal kegaduhan itu kepada sang ustad.

“Begini pak ustad, kami baru saja menangkap seseorang yang mencuri makanan yang dibuat untuk makan malam, ia tertangkap kami yang sedang mengintip makanan di kantor.” Jelas anak santri itu.

Telinga ustad pun memerah mendengarnya, ia seolah tak percaya bahwa masih saja ada orang yang melanggar aturannya dengan mencuri makanan itu. Kontan dengan suara geram dan mata melotot, sang ustad bertanya: “HMGRRMH… Siapa pencuri itu, cepat bawa kesini, biar bapak beri pelajaran dia”. Apalagi sang ustad sudah mengelus jenggotnya yang panjang sebanyak 2 kali. Itu pertanda tinggal menunggu elusan yang ke tiga kali untuk menghukum orang yang melanggar aturannya. Itu membuat anak-anak menjadi merinding melihatnya.

“Ini orangnya yang mencuri makanan kita pak ustad.” Kata para santri sambil memegang tangan si pencuri ke hadapan ustad yang sudah dikelilingi oleh para santri lainnya.

Bagaikan petir di siang bolong, menyambar bokong hingga celana bolong… Pak ustad kaget dan tak percaya ketika melihat siapa pencurinya. Karena ternyata si pencuri adalah ibunya sendiri yang sudah tua renta dengan badan berbungkuk ria.

Ustadpun terduduk lemas melihatnya, karena ia dihadapkan pada kejadian yang sulit untuk menyikapinya. Di satu sisi ia harus menegakkan disiplin yang telah ditetapkannya selama betahun-tahun. Ia harus memberi pelajaran kepada anak-anak didiknya yang sedari tadi menunggu tindakan dalam penerapan hukum yg dibuatnya sendiri; bahwa mencuri itu adalah perbuatan berdosa, perbuatan yang dibenci Tuhan, perbuatan yang harus mendapat hukuman. Ketegasan inilah yang dapat membuahkan lulusan pesantren yang dipimpinnya menjadi manusia yang jujur, berbakti, dan ikhlas. Lagi pula kini ia ditonton oleh sejumlah santrinya yang pasti akan mencontoh sikapnya.

Di lain sisi sang pencuri adalah ibu kandungnya yang sudah tua renta. Apa jadinya jika tangannya dipukul dengan sebilah rotan sebanyak 20 kali… Bisa-bisa tangannya putus terkena sabetan sang ustad. Padahal dengan tangan itulah sang ustad mendapat belaian kasih ibunya hingga kini. Dengan tangan renta itulah sang ibu menyuapi sang ustad di waktu kecil. Belum lagi keesokan harinya ibu yang renta itu harus dijemur 5 jam di tengah terik matahari.

“Inikah balasanku kepada ibu yang telah melahirkan dan merawatku, inikah bukti kasih sayangku kepada orang yang telah berjuang ditepi kematian demi lahirnya diriku, inikah hadiah yang ku ganjarkan kepada wanita yang selama ini kuhormati dan kulindungi? Akhhh… tak kuat aku membayangkannya..” Begitu kilasan yang berkelebat di dada sang ustad.

Jika sang ustad tidak menghukum si pencuri yang dilakoni oleh ibunya sendiri, maka itu akan membuat kesan yang amat buruk terhadap citra sang ustad bersama pesantrennya. Akan tersebar ke seluruh dunia bahwa sang ustad jenggot adalah pembina pesantren yang nepotisme, tidak konsisten, pilih kasih. Akan tersiar kabar berkumandang bahwa sang ustad adalah orang yang hanya bisa bicara tetapi tidak mampu melaksanakan aturan yang telah dibuatnya sendiri. Dan sang ustad akan lekat dengan cap sebagai ustad naif, karena hanya bisa berteori tentang aturan agama tetapi tidak mampu menerapkannya. Itu akan merusak nama yang selama ini dibangun dan dijaga oleh sang ustad. Lantas, apa kata dunia…???

Pertanyaannya adalah; Apa sikap yang akan diambil, jika anda menjadi sang ustad???

Tidak ada komentar:

Posting Komentar