Jalan raya mulai terlihat retak disusul oleh
gempa yang menghenyakkan ketenangan penduduk. Bumi seolah hendak berpisah
antara bagian satu dengan lainnya. Kerusakan yang ditimbulkan sangat dahsyat
hingga membuat miris dan membangkitkan bulu roma ketika banyaknya mobil dan
rumah jatuh ke dalam jurang bumi yang ambles karena fenomena alam itu.
Longsor dan ledakan dari dalam bumi menimbulkan gelombang tsunami setinggi 1,5
km lebih, ia menerpa apapun yang menghalangi. Tragisnya banyak orang yang tak
menyangka kedatangan fenomena alam tersebut karena datangnya secara tiba-tiba,
hingga tak sedikit manusia menjadi korban.
Gedung-gedung bertingkat bagaikan tumpukan kartu yang dirontokkan, rumah-rumah
ibadah tak luput dari hantaman amukan alam, langit seakan mau runtuh menimpa
bumi, membuat yang menyaksikan ikut merasakan dahsyatnya kehancuran diawali
oleh ledakkan matahari yang lebih dahsyat dari biasanya. Peristiwa ini hanya
dapat disaksikan dalam sebuah film karya sutradara Roland Emmerich dengan efek
khusus yang berjudul 2012; tahun dikala fenomena alam dahsyat akan terjadi pada
21 desember 2012 sebagaimana ramalan suku maya di mexico.
Saya tidak akan membahas bagaimana serunya cerita dan animasi hidup yang
ditampilkan dalam film itu. Hanya saja setelah beredarnya film itu di
bioskop-bioskop tanah air, banyak tanggapan dan hujatan yang muncul. Baik dari
masyarakat umum yang setuju dan tidak setuju dengan penggambaran kiamat dalam
film itu, ahli geologi yang mendukung dan tidak sepakat, maupun ahli-ahli agama
yang merespon secepat kilat tentang berita datangnya kiamat dalam sajian
fantasi. Amat dahsyat pengaruh film ini sehingga menelurkan fatwa untuk
melarang masyarakat menonton film ini. Seolah ia akan membuat masyarakat
menjadi penganut aliran sesat karena percaya pada film yang dipoles oleh
sutradara The day After yang juga fenomenal.
Tindakan mengeluarkan fatwa pelarangan menonton film seperti 2012 mungkin
tujuannya untuk membentengi kepercayaan masyarakat karena mudahnya terpengaruh
oleh sesuatu yang baru dan mengejutkan kesadaran. Tetapi bukankah dengan
melarang masyarakat untuk menyaksikan hal yang baru dan belum terbukti efek
baik-buruknya, serta mencap sesuatu tanpa dasar yang rasional, adalah pertanda
bahwa yang melarang tidak memiliki konsep yang kuat? Jika punya konsep yang
kuat, tidak perlu repot untuk memagari aqidah masyarakat, sebab konsep yang
kuat akan bercokol menepis segala pengaruh buruk yang menerpanya? Sesuatu yang
salah (bathil) akan dengan sendirinya hilang seiring datangnya yang Benar (haq).
Jika pudarnya konsep hari kiamat yang pernah dijajakan karena fantasi seni para
pembuat film tadi, bisa jadi kepercayaan itulah yang diragukan keteguhannya.
Lagipula, sudah kah dihitung berapa persen orang-orang yang mematuhi fatwa anti
film itu? Atau jangan-jangan mereka takut film itu akan membuat masa bertepuk
sorai bagi perbuatan yang jauh panggang dari api antara apa yang mereka
dengungkan dengan perbuatannya sehari-hari? Karena mereka belum bisa
meyakinkan-menggambarkan kepada masa dengan ilustrasi sedahsyat film berbiaya
US$ 200 juta.
Kiamat berasal dari kata dalam bahasa arab yaitu Qooma, Yaqumu, Qiyaman, yang
artinya berdiri atau tegak. Jika kata ini dikenakan kepada sebuah benda, maka
kata itu berarti berdiri tegak-lurus terhadap bumi sebagai wadahnya. Namun
dikala kata ini dikenakan kepada kata kerja atau sifat, maka artinya adalah
“terjadi” atau “terwujud”. Maknanya dapat dilihat pada kata “An-aqiymuddien”,
tegakkan hukum. Jika kita membuka kitab suci, akan ditemukan kata Yaumiddien
yang artinya Hari Pembalasan atau Hari ditegakkannya hukum sebagai balasan atas
perbuatan seseorang. Yaitu tegaknya hukum Sang Pencipta menjadi sebuah sistim
hidup yang integral dalam dimensi di dunia, dan setelah kematian.
Ahli-ahli agama sering membahas arti Kiamat dalam dimensi yang kedua, yaitu
tegaknya hukum Nya pada setelah kematian-setelah tibanya akhir zaman. Pemahaman
ini tidak salah dan tidak diragukan, karena segala sesuatu ada batas akhirnya,
ada kematiannya. Para nabi sering memperingatkan bahwa hari itu sudah dekat,
hari kiamat sudah dekat. Jika hari kiamat hanya diartikan sebagai kehancuran
alam semesta, mengapa sudah lebih dari 14 abad kehancuran alam semesta itu
belum juga terjadi? Bukankah setiap utusan Nya adalah bibir Nya kepada umat
manusia? Mengapa orang-orang yang diperingatkan pada zamannya tidak mengalami
kehancuran yang dinubuatkan? Apakah itu berarti bahwa Ia berdusta? Jawabnya
Tidak! Sang Maha Pencipta selalu berkata benar, tidak ada satu patah katapun
yang bertujuan untuk menipu manusia.
Dimensi Kiamat yang dikisahkan dalam kitab-kitab suci memiliki dua aplikasi;
yaitu kiamat di dunia, dan kiamat setelah akhir masa bagi alam semesta. Dimensi
kiamat yang dibuktikan oleh para utusan adalah berlakunya hukum Nya di dunia
tanpa melalaikan dimensi eskatologi (akhir zaman). Para utusan Nya berhasil
memenangkan hukum Sang Maha Pengatur diatas segala hukum bangsa-bangsa.
Pada hari itu orang-orang yang dahulu menentang dan berusaha menjegal
perjuangannya akan dibalas sesuai dengan hukum Sang Maha Pengatur (hari
penghakiman). Karena menjegal perjuangan utusan Nya, berarti menjegal kemauan
Nya. Menghina utusan Nya, berarti menghina Sang Maha Perkasa. Pasti Ia tidak
akan tinggal diam dan akan membalas perilaku mereka yang berusaha menggagalkan
rencana Sang Juragan untuk “turun” ke muka bumi melalui para utusan sebagai
mandataris Nya.
Peristiwa ini diberitahukan kepada orang-orang yang mengimani kedatangan hari
tegaknya hukum buatan Sang Maha Pengatur dengan bahasa hikmah; yaitu sebuah
bahasa yang memiliki makna dibalik yang tersurat (implisit), disampaikan dengan
menggunakan bahasa yang menceritakan fenomena alam semesta. Hebatnya bahasa
hikmah ini adalah; apa yang disampaikan dalam makna implisit pasti terjadi,
sebagaimana pernah datangnya hari tegaknya hukum pada era para utusan Nya
dahulu.
Sedangkan hal yang dikupas dalam bahasa tersurat (eksplisit) juga akan terjadi
sebagai sebuah gejolak alam yang terus berproses. Ini disebabkan dinamika alam
adalah sebangun dengan dinamika psycho-sosial umat manusia, maka Ia mengambil
jembatan bahasa benda-benda alam untuk berbicara kepada manusia yang menyamakan
frekwensi kesadarannya sehingga dapat menangkap bahasa hikmah ini. Jauh lebih
hebat lagi adalah, sikap orang-orang yang dikisahkan dalam kitab suci, baik
yang mengimani bahasa hikmah maupun yang menentang, pasti akan kembali muncul.
Tinggal kita berkaca, apakah melakoni kisah orang-orang yang mengimaninya, atau
yang menentangnya.
Hampir semua orang percaya bahwa kiamat dalam makna kehancuran alam semesta akan
terjadi pada saatnya, walaupun itu didapat dari kepiawaian sang pengkisah
dengan sejumlah bumbu pemanis agar enak ditelan. Tetapi kiamat dalam makna
bahasa hikmah yang akan ditolak dan ditentang oleh orang-orang yang takut
kehilangan penguasaan kebendaannya. Jangan sampai ada sebuah hukum sistemik
dapat merubah posisinya yang dirasa sudah ideal. Jangan sampai ada sebuah
komunitas solid menjadi merasa benar dengan mengambil alih kekuasaan yang telah
dikangkangi dengan susah payah. Karena kisah kiamat di dunia seperti itu -dalam
benak mereka- hanya terjadi pada zaman para utusan. Padahal jika diteliti lebih
dalam, peristiwa ketidak percayaan itu sudah berulang kali terjadi, dan kiamat
yang dikabarkan pun telah berulangkali terjadi, sebagaimana yang dikisahkan
dalam kitab-kitab suci.
Sungguh sayang jika masih terganggu oleh fantasi para seniman film yang
sesungguhnya ingin memberikan kesadaran untuk introspeksi diri sebagai manusia
yang belum siap dalam menyambut kedatangan kiamat dalam makna tersurat, apalagi
yang tersirat.
Maka, wajarlah jika fatwa larangan menonton film bergenre kiamat seperti 2012
itu dikeluarkan. Baik dalam pemahaman eskatologi (akhir), apalagi pada kiamat
psycho-sosial. Padahal kiamat di dunia itu telah berulangkali dan terus akan terjadi,
sebagaimana pernah dilakoni oleh orang-orang yang mengimaninya dahulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar