Pengorbanan kerap diartikan sebagai tindakan untuk
memberikan yang dicintai untuk sesuatu yang sia-sia, hilang tak berbekas.
Kata ini sering pula dimaknai dengan status merugikan disebabkan perbuatan yang
konotasinya negatif oleh pihak lain ataupun diri sendiri. Sehingga perbuatan
korban itu akan senantiasa dihindari agar tidak mengalami kerugian yang sama.
“Mereka menjadi korban keganasan preman.”
“Korbannya adalah murid-murid yang memakai baju putih.”
“Ku korbankan cintaku demi dirinya.”
Dilihat dari akar katanya, kata “Korban” berasal dari kata bahasa arab yaitu
“Qoroba”, yang artinya justru berlawanan dengan yang dipahami tadi. Karena
Qoroba itu artinya “Dekat”, dan maknanya pun bukan merugikan, tetapi justru
menguntungkan.
Makna Qoroba adalah usaha manusia untuk semakin dekat dengan Tuhan-nya, semakin
dekat dengan Sang Pencipta. Karena semakin dekat, maka manusia menjadi
mengetahui apa yang disukai Nya dan apa yang dibenci Nya, semakin mengenal
gelagat Penciptanya, sehingga manusia bisa menghindari ranjau-ranjau kehidupan
dan dapat menempatkan pijakannya pada tanah datar yang tepat untuk berlari
kencang.
Kehancuran dan kenistaan yang terjadi di muka bumi disebabkan banyak manusia
yang tidak mengetahui apa yang dilarang dan apa yang diperintah , tidak
mengenal akan Penciptanya. Padahal manusia diciptakan seyoganya menjadi
kepanjangan tangan Nya, menjadi “Echo” dari suara Nya.
Tuhan berkata “A”, maka manusia juga berkata “A..A..a..a..a..”.
Tuhan berkata “B” manusiapun memantulkan menjadi “B..B..b..b..b..”.
Tetapi yang terjadi hari ini Tuhan berkata “A”, tetapi manusia malah berbunyi
“O..O..o..o..o..”, bahkan suara “A” yang dikumandangkan Nya bisa berubah
menjadi “X” yang bukan vokal, tetapi konsonan yang mati. Sama matinya dengan
pemahaman yang menggiring kaidah spiritual ke dalam ranah ritual dogmatis saja,
ke dalam aktifitas simbolik saja.
Ritual memang diperlukan, karena di dalamnya terkandung cita-cita natural untuk
diwujudkan tentang apa yang diperintah. Cita-cita ini harus dicari dan
diusahakan untuk terwujud dalam kehidupan. Karena yang namanya cita-cita harus ada usaha nyata
dalam pencapaianya. Jika tidak, maka ritual itu hanyalah sebuah khayalan yang
me-ninabobokan kesadaran manusia untuk menjadi makhluk yang taat.
Bagaimana cara untuk mendekatkan diri dengan Tuhan sehingga segala aktifitas
manusia tidak berseberangan dengan Tuhan? Yaitu dengan menyembelih kecintaan
kepada hal-hal materialistik dan memberikan kecintaan itu hanya kepada
kepentingan Tuhan, bukan sebatas makna normatif saja, tetapi dengan perbuatan
yang nyata. Kehidupan menuju pencapaian materialistik yang sesungguhnya menjadi
pemicu segala kekacauan di dunia ini.
Menyembelih, maknanya bukan menghindari atau mendustakan materi, karena materi
itu adalah sesuatu yang fitrah bagi manusia. Tetapi menyembelih maknanya
adalah: tidak menjadikan materi sebagai satu-satunya yang bisa menghidupi
manusia, tetapi menjadikannya sebagai alat/sarana untuk mencintai Nya.
Hari ini banyak yang terjadi malah sebaliknya. Tuhan dijadikan alat untuk
mencapai materi. Tuhan dijadikan alat untuk menggapai ambisi. Tuhan dijadikan
sarana untuk berada pada level kehidupan yang lebih tinggi.
Jika manusia masih berpola seperti ini, maka Tuhan tidak akan memberikan kasih
dan sayang Nya kepada manusia. Segala prestasi dan paripurna kehidupan
materialistik yang dicapai, sesungguhnya adalah cara Tuhan dalam membentenginya
untuk mengetahui bagaimana skenario hidup dan kehidupan ini yang harus
diketahui dan diambil pelajarannya.
Maka biarkan suara Nya “A” tetap bergema menjadi
“A..A..a..a..a..” Suara “K” tetap bergaung menjadi “K..K..k..k..k..” Tidak kurang dan tidak lebih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar