“Ini miliku, kesayanganku, tidak ada orang yang
boleh mengganggunya.”
“Anak itu adalah miliku, dia adalah darah dagingku, akan kuberikan segalanya
demi dia.”
“Rumah itu adalah miliku, hasil keringatku selama bertahun-tahun, aku akan
mempertahankannya jika ada yang ingin merampasnya.”
Rasa memiliki adalah sebuah rasa yang ada pada orang yang merasa telah berkarya
atau mengusahakan sesuatu yang dicintainya. Rasa memiliki akan berkembang
menjadi rasa mencintai dan menyayangi. Rasa itu terus tumbuh menjadi bentuk
perlindungan yang amat kuat terhadap sesuatu yg dicintai. Bahkan pada banyak
kasus, kecintaan itu bisa mengalahkan segala prioritas termasuk mengalahkan
prioritas untuk mematuhi perintah dan larangan sang Pencipta.
Ia berani menggelapkan dana yang tersedia demi kelangsungan sekolah dan
kemapanan ekonomi dari anak dan istrinya.
Ia rela menjatuhkan kapasitas intelektualnya demi mencapai paripurna kehidupan
materialistik.
Ia sanggup menipu orang-orang yang memilihnya menjadi pemimpin demi naiknya
taraf hidup terhormat yang amat diidamkannya, bahkan dengan kulit agamis.
Rasa memiliki yang tumbuh ini sesungguhnya adalah hasil cetakan hawa nafsu
manusia. Sebuah daya tarik yang bernilai rendah yang dampaknya merusak segala
sesuatu, sehingga manusia terjerembab ke dalam kubangan kehinaan. Tuhan tidak
pernah mengajarkan manusia untuk memupuk rasa memiliki sesuatu apapun, tetapi
yang diajarkan Nya adalah Prinsip Amanah, bagi kepentingan Nya. Sebuah
kepentingan yang akan membawa kedamaian dan keharmonisan bagi umat manusia.
Tanpa disadari, rasa kepemilikian ini telah berkembang menjadi sebuah sistim
hidup, yaitu sistim kepemilikan. Hal ini terjadi karena dimulai semenjak
sekolah, bekerja, menikah, yang diasah adalah bagaimana caranya memiliki
sesuatu. Baik itu kepandaian, harta, titel, kehormatan, maupun kemapanan dalam
mencari pasangan hidup. Walhasil tercetaklah figur-figur yang merasa gundah
jika tidak mencapainya. Merasa akan kiamat kalau tidak mendapatkannya. Bahkan
merasa bahwa materi menjadi yang dapat menghidupi diri dan keluarganya. Padahal
para pujanga pernah berpesan: Mengejar materi itu bagaikan meminum air laut.
Semakin diminum, maka semakin hauslah ia. Semakin mendapatinya, maka semakin
buaslah ia dalam menggalinya.
Semakin memilikinya, maka semakin tidak tenang hidupnya. Ini karena karena
kekhawatiran perniagaannya yang besar akan merugi, takut ditipu orang-orang
disekitarnya, takut jika hartanya habis maka akan menyengsarakan diri dan
keluarganya. Kehidupannya dihantui Paranoid akan kemapanan materialistik.
Apakah materi yang membuat manusia hidup? Apakah penghormatan yang membuat
seseorang menjadi mulia? Apakah banyaknya pengikut yang dapat mengangkat harkat
dan martabat?
Tidak, karena itu semua bukan yang menghidupi manusia, tetapi itu direka agar manusia
menjadikannya sebagai jembatan untuk mengabdi sesuai dengan cetakbiru Nya.
Setiap saat manusia bisa kehilangan apa yang dicintainya. Ketika nyawa dicabut,
akan lenyaplah semua yang dipeliharanya. Sedangkan tidak ada satu manusiapun
yang tahu kapan nyawanya akan dicabut.
Tetapi, betapa banyak orang hari ini yang memperlakukan itu semua dengan
polaritas yang terbalik. Betapa banyak orang yang menjadikan Tuhan untuk
mendapatkan materi. Tidak sedikit orang yang melakukan aktivitas spiritual agar
diberikan hal-hal materialistik. Dengan kata lain, betapa banyak orang yang
memperbudak Tuhan bagi kepentingan diri dan golongannya. Tentu sebagai majikan,
Ia akan murka terhadap manusia yang memperlakukan Nya demikian. Ia akan
mengutuk manusia yang durhaka. Sudah diciptakan, dirawat, dipandaikan, tetapi
malah mencoba menjadi pengatur manusia lain, bahkan mengatur Tuhan.
Sikap ini akan menjelma menjadi meremehkan prinsip-prinsip hidup naturalistik.
Ia akan merusak alam bagi kepentingannya. Ia akan memperalat orang lain demi
keteguhan posisinya. Ia akan menggunakan segala cara agar dapat bertengger
menjadi kusir bagi rakyat jelata.
Jika sikap hidup manusia yang ada tumbuh subur seperti itu, maka yakinlah,
bahwa alam akan marah terhadap keberadaan manusia. Ia akan mendatangkan
berbagai fenomena yang tidak terduga dan mengancam keselamatan manusia. Hewan
tidak rela ketika dipotong manusia dan mengeluarkan penyakit serta racun bagi
yang mengkonsumsinya, karena majikannya sudah tidak digubris manusia. Itu semua
terjadi karena manusia sudah melupakan fungsi dirinya sebagai pengabdi. Dan itu
semua karena Tuhan telah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar