08 April, 2013

Mengangkankan Paha

“Sesungguhnya Shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Rabb semesta Alam”

Doa ini berulang kali diucapkan setiap hari; ketika pagi, siang,sore, senja dan malam hari. Sejatinya kalimat ini adalah sebuah pengakuan manusia bahwa aktifitas spiritualnya, pengabdiannya, dinamika hidupnya, hanya bagi kepentingan Rabb Nya.

Kata Rabb sering dikenakan pada kata ganti Pengatur, Pemelihara, Pendidik, Pengayom. Dari kata ganti tersebut, kata Rabb bisa digunakan untuk penyebutan terhadap “Bapak”. Artinya Dia-lah yang berperan sebagai bapak dari umat manusia. Sebagai bapak, Dia memberikan petunjuk agar umat manusia tidak salah dalam memilih jalan hidup yang diperintahkan Nya.

Layaknya bapak, Dia lah yang berhak untuk mendidik, membesarkan, melindungi, dan memandaikan umat manusia dari ketidaktahuannya. Maka manusia haruslah mengandalkan Dia sebagai satu-satunya pelindung bagi keselamatan umat manusia, sebagai satu-satunya penolong hidup manusia, dan menjadikannya sebagai satu-satunya obyek pengabdian dalam hidup manusia.

Obyek pengabdian akan samar jika melihatnya dengan kacamata sekular. Ini hanya akan menyempitkan fungsi Nya sebagai pengatur yang integral pada kehidupan manusia. Kekuasaannya hanya dikaplingkan kepada hal-hal spiritual saja, padahal Dia-lah yang berkuasa terhadap alam semesta dan kehidupan manusia.

Di tempat-tempat ibadah mengabdi kepada Tuhan, tetapi dalam keseharian mengabdi kepada selain Dia. Dimulutnya sering mengucap puji-pujian kepada Tuhan, tetapi ia tak segan menjilat status manusia lain guna menjaga kemapanan materialistik. Ketika berdoa tak surut mulut mengucap klaim hanya Tuhan sebagai pengabdiannya, tetapi prakteknya menjadikan hal lain yang menentukan hidup matinya.

Dikala umat manusia menjadikan hal lain sebagai obyek pengabdian, maka disitulah umat manusia telah mengambil tuan lain selain Tuhan. Akibatnya didalam mengatasi segala persoalan mengandalkan aturan-aturan buatan manusia yang dianggap prima, sementara aturan-aturannya hanya diperlakukan layaknya pembungus kacang goreng yang tak berarti apa-apa. Padahal manusia tidak bisa mengatur manusia lain. Itu hanya akan menciptakan sebuah perbudakan baru yang mengakibatkan taatnya manusia kepada manusia lain menurut kepentingan pribadi maupun golongan.

Dalam hubungan antara Tuhan dengan umat manusia, Ia berperan sebagai pihak laki-laki, sedangkan umat manusia melakoni peran sebagai pihak perempuan. Kedua pihak ini harus menyatu dalam sebuah perkawinan. Ini bukan bicara masalah gender, tetapi tentang sebuah tata kepemimpinan yang fitrah. Dimana Tuhan berperan sebagai pemimpin, dan umat sebagai yang dipimpin. Sama halnya seperti dalam sebuah rumah tangga, suami yang menjadi pemimpin, sedangkan istri yang dipimpin. Dikala seorang istri memimpin dan menentukan arah kehidupan keluarga itu, cepat atau lambat pasangan itu akan mengalami keretakan, bahkan bisa jadi bercerai.

Umat harus melayani Tuhan sebagai suaminya dengan segenap potensi pengabdian dan ketaatan. Tak ada celah bagi umat untuk melayani tuan-tuan lain sebagai obyek pengabdian. Jika ya, itulah makna dari umat yang melakukan perzinahan. Tentu sang Suami tidak akan senang melihat pasangannya berselingkuh dengan lelaki lain. Ia akan menghukum istrinya itu dengan berbagai kesulitan dan bencana yang menyengsarakan.

Pembunuhan, Pencurian, korupsi, kejahatan di berbagai bidang, bencana alam yang berlarut-larut, merupakan hukuman sang Suami kepada istrinya yang selingkuh. Jika ingin terhindar dari fenomena tersebut, maka sang istri harus bertaubat kepada Sang Suami. Sang istri harus berusaha agar sang Suami mau rujuk kembali kepadanya. Umat manusia harus menunjukan sikap penyesalan atas perbuatannya dengan cara menjadikan Nya sebagai satu-satunya pemimpin yang berhak megatur hajat hidup umat manusia.

Jika sang istri tidak sadar akan perzinahannya dan terus mengangkangkan pahanya di depan laki-laki lain, maka bencana alam dan kebobrokan moral akan menjadi nafas keseharian. Yang kaya semakin menjadi kaya lagi dengan menindas rakyat jelata. Dan yang miskin semakin tertindas menjadi kelompok miskin pelengkap penderita. Sementara puji-pujian menggaung dimana-mana tetapi pujian itu hanya berlaku normatif saja, tanpa ada pembuktian nyata dalam mengangkat taraf hidup umat yang menjadi pemikul sang kaya diatas singgasananya.

"Janganlah mendekati Zinah, karena itu adalah perbuatan yang keji"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar