“Sesungguhnya Shalatku, ibadahku, hidupku dan
matiku hanyalah untuk Allah Rabb semesta Alam”
Doa ini berulang kali diucapkan setiap hari; ketika pagi, siang,sore, senja dan
malam hari. Sejatinya kalimat ini adalah sebuah pengakuan manusia bahwa
aktifitas spiritualnya, pengabdiannya, dinamika hidupnya, hanya bagi
kepentingan Rabb Nya.
Kata Rabb sering dikenakan pada kata ganti Pengatur, Pemelihara, Pendidik,
Pengayom. Dari kata ganti tersebut, kata Rabb bisa digunakan untuk penyebutan
terhadap “Bapak”. Artinya Dia-lah yang berperan sebagai bapak dari umat
manusia. Sebagai bapak, Dia memberikan petunjuk agar umat manusia tidak salah
dalam memilih jalan hidup yang diperintahkan Nya.
Layaknya bapak, Dia lah yang berhak untuk mendidik, membesarkan, melindungi,
dan memandaikan umat manusia dari ketidaktahuannya. Maka manusia haruslah
mengandalkan Dia sebagai satu-satunya pelindung bagi keselamatan umat manusia,
sebagai satu-satunya penolong hidup manusia, dan menjadikannya sebagai
satu-satunya obyek pengabdian dalam hidup manusia.
Obyek pengabdian akan samar jika melihatnya dengan kacamata sekular. Ini hanya
akan menyempitkan fungsi Nya sebagai pengatur yang integral pada kehidupan
manusia. Kekuasaannya hanya dikaplingkan kepada hal-hal spiritual saja, padahal
Dia-lah yang berkuasa terhadap alam semesta dan kehidupan manusia.
Di tempat-tempat ibadah mengabdi kepada Tuhan, tetapi dalam keseharian mengabdi
kepada selain Dia. Dimulutnya sering mengucap puji-pujian kepada Tuhan, tetapi
ia tak segan menjilat status manusia lain guna menjaga kemapanan materialistik.
Ketika berdoa tak surut mulut mengucap klaim hanya Tuhan sebagai pengabdiannya,
tetapi prakteknya menjadikan hal lain yang menentukan hidup matinya.
Dikala umat manusia menjadikan hal lain sebagai obyek pengabdian, maka
disitulah umat manusia telah mengambil tuan lain selain Tuhan. Akibatnya
didalam mengatasi segala persoalan mengandalkan aturan-aturan buatan manusia
yang dianggap prima, sementara aturan-aturannya hanya diperlakukan layaknya
pembungus kacang goreng yang tak berarti apa-apa. Padahal manusia tidak bisa
mengatur manusia lain. Itu hanya akan menciptakan sebuah perbudakan baru yang
mengakibatkan taatnya manusia kepada manusia lain menurut kepentingan pribadi
maupun golongan.
Dalam hubungan antara Tuhan dengan umat manusia, Ia berperan sebagai pihak
laki-laki, sedangkan umat manusia melakoni peran sebagai pihak perempuan. Kedua
pihak ini harus menyatu dalam sebuah perkawinan. Ini bukan bicara masalah
gender, tetapi tentang sebuah tata kepemimpinan yang fitrah. Dimana Tuhan
berperan sebagai pemimpin, dan umat sebagai yang dipimpin. Sama halnya seperti
dalam sebuah rumah tangga, suami yang menjadi pemimpin, sedangkan istri yang
dipimpin. Dikala seorang istri memimpin dan menentukan arah kehidupan keluarga
itu, cepat atau lambat pasangan itu akan mengalami keretakan, bahkan bisa jadi
bercerai.
Umat harus melayani Tuhan sebagai suaminya dengan segenap potensi pengabdian
dan ketaatan. Tak ada celah bagi umat untuk melayani tuan-tuan lain sebagai
obyek pengabdian. Jika ya, itulah makna dari umat yang melakukan perzinahan.
Tentu sang Suami tidak akan senang melihat pasangannya berselingkuh dengan
lelaki lain. Ia akan menghukum istrinya itu dengan berbagai kesulitan dan
bencana yang menyengsarakan.
Pembunuhan, Pencurian, korupsi, kejahatan di berbagai bidang, bencana alam yang
berlarut-larut, merupakan hukuman sang Suami kepada istrinya yang selingkuh.
Jika ingin terhindar dari fenomena tersebut, maka sang istri harus bertaubat
kepada Sang Suami. Sang istri harus berusaha agar sang Suami mau rujuk kembali
kepadanya. Umat manusia harus menunjukan sikap penyesalan atas perbuatannya
dengan cara menjadikan Nya sebagai satu-satunya pemimpin yang berhak megatur
hajat hidup umat manusia.
Jika sang istri tidak sadar akan perzinahannya dan terus mengangkangkan pahanya
di depan laki-laki lain, maka bencana alam dan kebobrokan moral akan menjadi
nafas keseharian. Yang kaya semakin menjadi kaya lagi dengan menindas rakyat
jelata. Dan yang miskin semakin tertindas menjadi kelompok miskin pelengkap
penderita. Sementara puji-pujian menggaung dimana-mana tetapi pujian itu hanya
berlaku normatif saja, tanpa ada pembuktian nyata dalam mengangkat taraf hidup
umat yang menjadi pemikul sang kaya diatas singgasananya.
"Janganlah mendekati Zinah, karena itu adalah perbuatan yang keji"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar