08 April, 2013

Orang Gila

Sekonyong-konyong datang seseorang kumal bercampur bau tak sedap. Kibasan geraknya memancarkan aroma tak bersahabat. Tatapan matanya nanar memandangi orang-orang sekitar serta mengundang kecurigaan akan kemungkinan ancaman yang ditimbulkannya. Sambil menggaruk-garuk kepalanya yang penuh dengan ketombe, ia mengorek sisa makanan yang ada di tempat sampah dengan rakus tanpa memperdulikan kemaluannya yang dapat dilihat bebas oleh umum. Terkadang ia menemukan nasi bungkus yang sudah terkena kotoran kucing, tapi dengan lahap dimakannya tanpa ada rasa mual ataupun jijik dengan kotoran itu. Aroma tubuh yang tidak sedap menandakan ia tidak pernah bersentuhan dengan air untuk mandi. Tidak pernah ia merasa malu dengan keadaan bugil walau sering sekelompok ibu-ibu lari sambil menjerit ketika berpapasan dengannya.

Kadang ia tertawa sendiri hingga terbahak-bahak,walaupun tidak ada pelawak yang menghiburnya. Tersenyum manis sendiri dengan gaya yang genit bak seorang entertainer menebar pesona. Ada kalanya ia termenung lama sekali dengan tatapan kosong, walaupun panas terik menerpanya, walaupun hujan dan petir mengoyak telinga. Kemudian ia suka menangis tersedu-sedan tanpa ada alasan jelas penyebab tangisannya. Di pasar ia suka mengoceh sendiri layaknya seorang komentator sepakbola yang piawai menganalisa sebuah pertandingan. Karena ia adalah orang yang terganggu kejiwaannya, seorang yang mengalami gangguan kesadaran untuk hidup sebagai manusia sosial normal, ia banyak diteriaki oleh anak-anak kecil dan ibu-ibu sebagai orang gila.

Jika dianalisa, kesadaran untuk berperilaku normal terganggu disebabkan kacaunya kordinasi fungsi otak sebagai sentral perintah dari gerak tubuh. Otak memiliki daya untuk memproses dan merespon kejadian yang datang pada dirinya -secara audio maupun visual- dalam kaitannya sebagai makhluk sosial. Ia akan menyapa tetangganya dengan ramah dan sopan. Ia akan menghindarkan diri dari segala ancaman. Ia akan mencari segala kebutuhan dirinya dengan kapasitas yang sesuai dengan kemampuannya. Manusia akan mematuhi norma-norma yang berlaku seiring dengan tumbuhnya kesadaran akan fungsinya sebagai makhluk sosial. Maka ada sebuah kontrol bagi dirinya agar dapat diterima sebagai komponen penting dalam komunitas manusia.

Orang yang dikatakan gila tidak memiliki kontrol itu. Orang gila akan mengambil makanan apa saja ketika perutnya lapar tanpa memperdulikan kepatutan yang diharuskan untuk mendapatkan makanan itu, seperti membayar atau meminta pada orang yang memilikinya. Ia tidak memiliki kontrol rasa malu untuk buang hajat di tengah keramaian. Ia kehilangan kontrol untuk menahan rasa sedih maupun tertawa yang menusuk emosi. Ia tidak perduli mobil-mobil kencang yang berseliweran ketika menyeberang di jalan raya. Begitu pula dengan perasaan kantuk yang akan ditunaikannya dengan tidur dipinggir toko walau demikian ramai kesibukan disekitarnya. Jadi yang namanya orang gila tidak memiliki kontrol emosi dan kepatutan dalam hidup.

Orang yang kelihatannya normal, ternyata fungsi kontrol kepatutan tidak sepenuhnya juga dimiliki. Ada orang yang menginginkan perbaikan taraf hidup dengan cara-cara yang melanggar kepatutan. Pelanggaran kepatutan itu dilakukan dengan tameng intelektual, kehormatan, dan spiritual. Ada pula orang yang khawatir akan jaminan masa tua dan pemenuhan kebutuhan keluarganya tega mengais uang dengan cara yang tidak benar walaupun itu disadari melabrak norma agama maupun kemanusiaan.

Sudah tahu bahwa mencuri itu merugikan orang lain, tetapi karena jabatannya memiliki akses untuk memakai uang rakyat yang kelihatannya menganggur, maka terjadilah korupsi yang menggembosi uang negara. Bukankah uang itu milik rakyat? Rakyat yang memberi kepercayaan padanya untuk mengurus penggunaannya? Bukankah mereka sudah disumpah untuk melayani dan tidak mengkhianati rakyat?

Sudah tahu bahwa menipu akan mengakibatkan timbulnya kepalsuan dimata orang lain dan memunculkan keuntungan sesaat bagi diri dan keluarganya, tetapi karena punya kesempatan untuk menipu demi melanggengkan kekuasaan, maka dengan entengnya ia menebar dusta pada rakyat yang bersimpati padanya. Dengan lantangnya ia mengemukakan program-program yang kesannya berpihak pada kepentingan rakyat. Padahal semua yang diungkapkannya adalah bualan palsu, hanya mengambil simpati masa agar memilihnya sebagai penjabat pada periode berikutnya.

Sudah memiliki istri yang cantik dan berbakti, memiliki keluarga yang baik dan dididik dengan santun, tetapi karena ingin memiliki variasi sex yang lain dari biasanya, maka dengan binalnya ia menggauli perempuan lain, ia melabrak pagar-pagar yang telah dibinanya sendiri dalam keluarga. Padahal kalau di poling, 5 dari 7 orang akan mengatakan bahwa perbandingan istri dengan perempuan lain itu bagaikan mercy dengan bajaj, tapi karena birahi telah membutakannya, tetap saja sehabis turun dari mercy ia naik bajaj.

Kontrol kepatutan ini mulai hilang dalam kesadaran manusia. Ia tidak lagi menjadi tolok ukur apakah sebuah perbuatan itu layak dilakukan atau tidak sebagai makhluk sosial. Tetapi yang lebih menjadi pertimbangan adalah: puas atau tidak. Hal ini karena tujuan hidup yang diasah hanyalah dahaga untuk pemenuhan kebutuhan materialistik saja, bukan mengasah untuk mencapai nilai sebagai tujuan paling mulia dalam kehidupan. Untuk apa memiliki harta yang berlimpah jika itu adalah hasil dari mencuri jatah rakyat banyak yang mempercayainya. Apa nilainya memiliki jabatan yang selangit jika didapat dari hasil menipu rakyat dengan janji-janji pepesan kosong yang akan meledak pada saatnya. Istri cantik tidak akan membawa kebahagiaan jika diperlakukan layaknya seorang PSK yang hanya memberi kepuasan di tempat tidur saja.

Kontrol kepatutan ini amat penting untuk membedakan atau menyamakan antara orang normal dengan orang gila. Anehnya jika diingatkan untuk menjaga kontrol ini, tudingan gila justru akan menimpa orang-orang yang mengingatkannya. Dianggap ortodok, tidak menyesuaikan dengan gaya hidup globalisme, dan tidak memiliki mimpi untuk meraih cita-cita.

Jika sikap hidup seperti ini sudah banyak terjadi, maka akan mudah melihat orang-orang gila yang berjas, bermobil mewah, dan intelek. Tak bisa membedakan mana yang patut dan mana yang tidak. Walaupun sudah diingatkan oleh norma kemanusiaan dan spiritual, tetapi tetap saja orang-orang gila itu dengan tenangnya berjalan-jalan ditempat keramaian, hingga akan datang saatnya nanti anak-anak kecil meneriaki mereka: ORANG GILAAA…ORANG GILAAA!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar