Sekonyong-konyong datang
seseorang kumal bercampur bau tak sedap. Kibasan geraknya memancarkan aroma tak
bersahabat. Tatapan matanya nanar memandangi orang-orang sekitar serta
mengundang kecurigaan akan kemungkinan ancaman yang ditimbulkannya. Sambil menggaruk-garuk kepalanya yang penuh dengan
ketombe, ia mengorek sisa makanan yang ada di tempat sampah dengan rakus tanpa
memperdulikan kemaluannya yang dapat dilihat bebas oleh umum. Terkadang ia
menemukan nasi bungkus yang sudah terkena kotoran kucing, tapi dengan lahap
dimakannya tanpa ada rasa mual ataupun jijik dengan kotoran itu. Aroma tubuh
yang tidak sedap menandakan ia tidak pernah bersentuhan dengan air untuk mandi.
Tidak pernah ia merasa malu dengan keadaan bugil walau sering sekelompok
ibu-ibu lari sambil menjerit ketika berpapasan dengannya.
Kadang ia tertawa sendiri hingga terbahak-bahak,walaupun tidak ada pelawak yang
menghiburnya. Tersenyum manis sendiri dengan gaya yang genit bak seorang
entertainer menebar pesona. Ada kalanya ia termenung lama sekali dengan tatapan
kosong, walaupun panas terik menerpanya, walaupun hujan dan petir mengoyak
telinga. Kemudian ia suka menangis tersedu-sedan tanpa ada alasan jelas
penyebab tangisannya. Di pasar ia suka mengoceh sendiri layaknya seorang
komentator sepakbola yang piawai menganalisa sebuah pertandingan. Karena ia
adalah orang yang terganggu kejiwaannya, seorang yang mengalami gangguan
kesadaran untuk hidup sebagai manusia sosial normal, ia banyak diteriaki oleh
anak-anak kecil dan ibu-ibu sebagai orang gila.
Jika dianalisa, kesadaran untuk berperilaku normal terganggu disebabkan
kacaunya kordinasi fungsi otak sebagai sentral perintah dari gerak tubuh. Otak
memiliki daya untuk memproses dan merespon kejadian yang datang pada dirinya
-secara audio maupun visual- dalam kaitannya sebagai makhluk sosial. Ia akan
menyapa tetangganya dengan ramah dan sopan. Ia akan menghindarkan diri dari
segala ancaman. Ia akan mencari segala kebutuhan dirinya dengan kapasitas yang
sesuai dengan kemampuannya. Manusia akan mematuhi norma-norma yang berlaku
seiring dengan tumbuhnya kesadaran akan fungsinya sebagai makhluk sosial. Maka
ada sebuah kontrol bagi dirinya agar dapat diterima sebagai komponen penting
dalam komunitas manusia.
Orang yang dikatakan gila tidak memiliki kontrol itu. Orang gila akan mengambil
makanan apa saja ketika perutnya lapar tanpa memperdulikan kepatutan yang
diharuskan untuk mendapatkan makanan itu, seperti membayar atau meminta pada
orang yang memilikinya. Ia tidak memiliki kontrol rasa malu untuk buang hajat
di tengah keramaian. Ia kehilangan kontrol untuk menahan rasa sedih maupun
tertawa yang menusuk emosi. Ia tidak perduli mobil-mobil kencang yang
berseliweran ketika menyeberang di jalan raya. Begitu pula dengan perasaan
kantuk yang akan ditunaikannya dengan tidur dipinggir toko walau demikian ramai
kesibukan disekitarnya. Jadi yang namanya orang gila tidak memiliki kontrol
emosi dan kepatutan dalam hidup.
Orang yang kelihatannya normal, ternyata fungsi kontrol kepatutan tidak
sepenuhnya juga dimiliki. Ada orang yang menginginkan perbaikan taraf hidup
dengan cara-cara yang melanggar kepatutan. Pelanggaran kepatutan itu dilakukan
dengan tameng intelektual, kehormatan, dan spiritual. Ada pula orang yang
khawatir akan jaminan masa tua dan pemenuhan kebutuhan keluarganya tega mengais
uang dengan cara yang tidak benar walaupun itu disadari melabrak norma agama
maupun kemanusiaan.
Sudah tahu bahwa mencuri itu merugikan orang lain, tetapi karena jabatannya
memiliki akses untuk memakai uang rakyat yang kelihatannya menganggur, maka
terjadilah korupsi yang menggembosi uang negara. Bukankah uang itu milik
rakyat? Rakyat yang memberi kepercayaan padanya untuk mengurus penggunaannya?
Bukankah mereka sudah disumpah untuk melayani dan tidak mengkhianati rakyat?
Sudah tahu bahwa menipu akan mengakibatkan timbulnya kepalsuan dimata orang
lain dan memunculkan keuntungan sesaat bagi diri dan keluarganya, tetapi karena
punya kesempatan untuk menipu demi melanggengkan kekuasaan, maka dengan
entengnya ia menebar dusta pada rakyat yang bersimpati padanya. Dengan
lantangnya ia mengemukakan program-program yang kesannya berpihak pada
kepentingan rakyat. Padahal semua yang diungkapkannya adalah bualan palsu,
hanya mengambil simpati masa agar memilihnya sebagai penjabat pada periode
berikutnya.
Sudah memiliki istri yang cantik dan berbakti, memiliki keluarga yang baik dan
dididik dengan santun, tetapi karena ingin memiliki variasi sex yang lain dari
biasanya, maka dengan binalnya ia menggauli perempuan lain, ia melabrak pagar-pagar
yang telah dibinanya sendiri dalam keluarga. Padahal kalau di poling, 5 dari 7
orang akan mengatakan bahwa perbandingan istri dengan perempuan lain itu
bagaikan mercy dengan bajaj, tapi karena birahi telah membutakannya, tetap saja
sehabis turun dari mercy ia naik bajaj.
Kontrol kepatutan ini mulai hilang dalam kesadaran manusia. Ia tidak lagi
menjadi tolok ukur apakah sebuah perbuatan itu layak dilakukan atau tidak
sebagai makhluk sosial. Tetapi yang lebih menjadi pertimbangan adalah: puas
atau tidak. Hal ini karena tujuan hidup yang diasah hanyalah dahaga untuk
pemenuhan kebutuhan materialistik saja, bukan mengasah untuk mencapai nilai
sebagai tujuan paling mulia dalam kehidupan. Untuk apa memiliki harta yang
berlimpah jika itu adalah hasil dari mencuri jatah rakyat banyak yang
mempercayainya. Apa nilainya memiliki jabatan yang selangit jika didapat dari
hasil menipu rakyat dengan janji-janji pepesan kosong yang akan meledak pada
saatnya. Istri cantik tidak akan membawa kebahagiaan jika diperlakukan layaknya
seorang PSK yang hanya memberi kepuasan di tempat tidur saja.
Kontrol kepatutan ini amat penting untuk membedakan atau menyamakan antara
orang normal dengan orang gila. Anehnya jika diingatkan untuk menjaga kontrol
ini, tudingan gila justru akan menimpa orang-orang yang mengingatkannya.
Dianggap ortodok, tidak menyesuaikan dengan gaya hidup globalisme, dan tidak
memiliki mimpi untuk meraih cita-cita.
Jika sikap hidup seperti ini sudah banyak terjadi, maka akan mudah melihat
orang-orang gila yang berjas, bermobil mewah, dan intelek. Tak bisa membedakan
mana yang patut dan mana yang tidak. Walaupun sudah diingatkan oleh norma
kemanusiaan dan spiritual, tetapi tetap saja orang-orang gila itu dengan
tenangnya berjalan-jalan ditempat keramaian, hingga akan datang saatnya nanti
anak-anak kecil meneriaki mereka: ORANG GILAAA…ORANG GILAAA!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar