Sewaktu membaca dan mempelajari referensi
kitab-kitab suci, aku menemukan beberapa hal yang berseberangan dengan
kenyataan hidup. Bahasa di dalamnya sarat akan makna yang dalam, akupun pada
awalnya tidak menikmati ketika membaca edisi dalam bahasa yang kumengerti.
Kebanyakan darinya mengutarakan sebuah idealisme yang seolah jauh dari
pemikiran orang banyak, jauh dari kenyataan. Too good to be true- terlalu
sempurna untuk menjadi nyata, mungkin begitu yang terbesit dalam benakku pada
awalnya.
Kisah-kisah orang terdahulu yang secara eksplisit (tersurat) penuh dengan
kejadian-kejadian ajaib. Membanting tongkat menjadi ular, membelah lautan
dengan pukulan tongkat, dibakar api tetapi merasa dingin, masuk ke perut ikan
raksasa malah tenang berdoa, semuanya menyisakan tandatanya besar bagiku.
Tetapi berulangkali pula aku menemukan pernyataan bahwa fenomena-fenomena itu
diungkapkan untuk direnungkan oleh manusia agar bisa mendapat pelajaran bagi
orang-orang yang berakal.
Di dalamnya banyak ancaman-ancaman; kalau tidak begini, akan dimasukan kobaran
api yang menyala (neraka). Berbuat itu, akan disiksa selamanya. Bahkan ada
sebuah hari yang diancamkan akan menjadi moment pembalasan Tuhan bagi
manusia-manusia yang melanggar larangan Nya dan melalaikan perintah Nya, hari
akhir dari semua kehidupan segala makhluk. Pada hari itu, yang berdosa akan
diceburkan ke dalam api yang membara. Yang pahalanya banyak akan duduk di sofa
teduh penuh pelayanan.
Lucunya lagi ketika ku baca referensi dari buku lain, ada pendapat yang mengatakan
bahwa semua umat manusia masuk neraka dahulu, tetapi yang pahalanya banyak maka
tidak berlama-lama di neraka. Sedangkan yang dosanya banyak maka akan
mengontrak di neraka berabad-abad. Pertanyaannya: Kalau begitu, buat apa
manusia melaksanakan perintah Nya kalau ujung-ujungnya masuk neraka? Pantas
begitu banyak koruptor yang merasa tenang mencuri hak rakyat, karena menurutnya
telah membuat sarana ibadah sebagai tabungan pahala ketika mati nanti, walaupun
itu dari uang hasil mencuri tadi. Langsung kumusiumkan buku lain itu sejajar
dengan buku lawakan yang hanya bisa menggelitik perut.
Dikala banyaknya benturan kisah di dalamnya dengan kenyataan, sempat aku
berfikir untuk memilah ayat yang masih mungkin diterapkan hari ini. Tiba-tiba
kutemukan ayat yang mengharuskan untuk berperang, memenggal kepala orang-orang
yang menolak ajaran Tuhan, membunuh orang-orang yang berkhianat pada ajaran
Tuhan. Wah-wah… mungkin ini yang ditelan oleh sekelompok orang yang melakukan
tindakan destruktif belakangan ini, fikirku. Karena orag-orang beriman yang
dikisahkan di dalamnya tidak pernah berbuat demikian. Lantas meniru siapa
mereka?
Disisi lain, banyak pula orang yang memilah-milah prinsip yang dinyatakan
secara moderat. Yang cocok dengan tuntutan zaman dan tidak destruktif itu
dipakai, bahkan dibesar-besarkan. Berbuat baik, saling menolong, bergotong
royong, berututur kata santun, dan segala perbuatan yang hari ini dianggap
diterima manusia kebanyakan, itu yang dipakai. Sedangkan ayat-ayat yang keras
dan tegas serta yang memusatkan pengaturan manusia secara
ekonomi-politik-sosial-budaya hanya oleh Tuhan, itu disimpan di atas lemari
sebagai penangkal gendoruwo dan kuntilanak. Tapi, bukankah ada ayat yang
mengatakan bahwa manusia harus masuk ke dalam prinsip-prinsip yang diajarkan
Nya secara menyeluruh?
Lebih unik, banyak orang yang berlomba-lomba melantunkan bunyi ayat-ayat dengan
syahdu, dengan harapan mendapat pahala yang banyak. Karena membunyikan 1 huruf
saja mendapat ganjaran 10 kali (entah satuannya apa), bagaimana kalau satu
surat didengungkan. Tapi, bukankah ayat-ayat itu adalah prinsip hidup yang
diturunkan Nya agar diterapkan oleh manusia? Kenapa dilempar lagi kepada yang
menurunkan? Jika ada majikan menyuruh seorang pembantunya: “Mas, tolong cuci
mobil.” Kemudian sang pembantu mengucapkan perintah yang sama kepada
majikannya: “Mas, tolong cuci mobil.” Saya yakin pembantu itu akan dimarahi
bahkan bisa ditempeleng karena berlaku tidak sopan kepada majikannya.
Kitab suci adalah kumpulan prinsip-prinsip hidup yang harus diberlakukan oleh
manusia sebagai petunjuk agar dapat menebarkan kebajikan kepada setiap makhluk
di hadapannya. Maka segala yang termaktub di dalamnya tidak akan berlawanan
dengan hukum-hukum alam, karena manusia hidup berwadahkan alam. Jika manusia
kelakuannya berlawanan dengan alam, maka ia akan seperti duri yang menyusup
dalam tubuh. Manusia akan dikeluarkan secara otomatis dari makro sistim ini.
Mengapa kitab itu disebut suci? Karena ia berasal bukan dari pemikiran manusia.
Buktinya adalah, prinsip yang diajarkan dapat diuji oleh setiap manusia dari
berbagai kalangan, dan harus dapat diterima kebenarannya oleh pemikiran
manusia, karena kitab suci itu diturunkan untuk dipergunakan oleh manusia,
bukan bagi “Casper” di pohon aren.
Kitab suci banyak menggunakan bahasa yang memerlukan pemikiran ekstra untuk
mendapatkan esensinya. Mengapa membutuhkan pemikiran ekstra? Karena otak
manusia memang dirancang untuk dapat masuk ke dalam alam bahasa Nya. Tetapi ada
pula manusia yang tidak mau meluangkan kesempatannya untuk berfikir tentang
ajaran di dalamnya. Prinsip yang dianggap layak diolah dalam kesadarannya
adalah hal yang tersurat saja (eksplisit). Padahal ayat-ayat dalam kitab suci
akrab dengan bahasa Tersirat (implisit), bahasa yang memiliki arti di balik
yang tersurat.
Banting tongkat jadi ular, dianggap tongkat layaknya dijual di Malioboro Yogya.
Dibakar tapi aman-aman saja, dianggap layak seperti debus dari banten.
Akibatnya, pemahaman yang didapat menjadi dangkal, tak dapat diterapkan pada kehidupan.
Padahal berkali-kali Tuhan menantang manusia untuk menggunakan akalnya dalam
memahami ayat-ayat Nya.
Karena yang ditangkap hanyalah yang tersurat, dan ayat yang tersirat tidak
dapat ditembus, ajaran-ajaran Nya berkuasa hanya di tempat-tempat ibadah saja.
Sedangkan ketika bergelut dalam dunia profesional, ia akan kembali menjadi
layaknya seekor singa yang menyibakkan keganasan rumbainya, dengan dalih bahwa
dunia dan akhirat itu harus seimbang. Dunia adalah sisi gelap yang menggoda,
sedang akhirat adalah sisi terang yang menyelamatkan manusia. Pertanyaannya,
kalau dunia itu dianggap sisi gelap, dan akhirat adalah sisi terang, apakah
Tuhan juga mengajak ke sisi gelap? Tuhan tidak pernah sedetikpun mengajak
manusia untuk menghempaskan diri ke sisi gelap, tetapi senantiasa menyelamatkan
manusia ke sisi terang dengan konsep hidup yang azasi. Itupun bagi manusia yang
mau diselamatkan.
Tuhan tidak pernah mengajarkan sebuah prinsip hidup yang saling bertentangan.
Satu sisi memerintahkan untuk melaksanakan kebajikan, satu sisi membolehkan
kemungkaran. Tuhan tidak pernah mengajarkan agar manusia sibuk hanya dengan
pujian-pujian bahkan ayat-ayat yang dikembalikan kepada Nya. Tuhan tidak pernah
mengajarkan untuk menganiaya manusia lain sementara visi dan misi nya belum
diketahui oleh umat manusia. Tuhan tidak pernah mengajarkan untuk melakukan
bunuh diri bagi munculnya sebuah visi spiritual dogmatis dikala prinsip-prinsip
yang diajarkannya hanya diperlakukan sebagai pemanis bibir dalam melakukan
ritualisme.
Tetapi Tuhan mengajarkan kepada manusia agar menggunakan ayat-ayatnya untuk
membaca alam semesta, termasuk tren psychologis manusia pada masa yang akan
datang dengan menggunakan kisah-kisah masa lalu yang diceritakan dalam kitab
suci. Manusia cenderung hendak mengambil hak Nya sebagai satu-satunya pengatur
bagi kehidupan manusia lain menurut caranya sendiri.
Walaupun mendapat cercaan, hinaan, bahkan siksaan badan, manusia harus tetap
teguh untuk menyampaikan apa yang menjadi visi dan misi Nya terhadap umat manusia,
tidak terbatas kepada orang-orang yang memiliki istilah penyebutan akan Dia.
Sehingga pertikaian dan penganiayaan yang berdasarkan perbedaan penyebutan akan
Tuhan, dapat diredam. Tak ada lagi istilah Tuhanmu bukan Tuhanku, tetapi Ia
adalah yang memiliki karakter integral (tauhid) dalam segala hal, apapun
penyebutan Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar